Konten dari Pengguna

Menjernihkan Permasalahan Muslim Uighur di China

Novi Basuki
Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo; Lulus dari Huaqiao University dan Xiamen University, Studi doktoral di Sun Yat-sen University, China; Penulis buku "Islam di China: Dulu dan Kini".
25 Desember 2018 15:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Novi Basuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga Uighur di Xinjiang, China (Foto: AFP/Johannes Eisele)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Uighur di Xinjiang, China (Foto: AFP/Johannes Eisele)
ADVERTISEMENT
Mengenai permasalahan etnis Uighur, ada beberapa hal yang perlu kita jernihkan supaya pembahasan tentangnya tidak meracau ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Pertama, tidak semua etnis Uighur menganut Islam. Islam awalnya memang bukan agama mereka. Islam baru menjadi agama yang dominan dianut Uighur, setelah abad ke-10 Masehi, Kekhaganan Kara-Khanid sebagai kerajaan berbasis Islam di Xinjiang selatan bertahun-tahun menginvasi kerajaan-kerajaan Buddhis yang lebih dulu mengakar di sana atas nama agama.
Maka mesti diakui, berbeda dengan ketersebaran Islam terhadap suku-suku lain di China yang berlangsung damai lewat perdagangan dan kawin campur antara orang lokal dengan saudagar Arab/Persia. Konversi Uighur dari yang sebelumnya beragama Buddha ke Islam, lekat dengan kepentingan politik yang menyebabkan konflik berdarah-darah dengan agama lain dalam kurun waktu lama.
Namun demikian, etnis Uighur yang memilih terus memeluk Buddha pun masih ada yang eksis sampai sekarang. Populasinya ditaksir belasan ribu. Mereka kini adem ayem bermukim di Kecamatan Sunan, Gansu, provinsi yang juga banyak muslimnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, kebijakan keagamaan China sudah cukup benderang tertuang dalam Undang-Undang Dasar China bab 2 pasal 36:
“Warganegara China mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warganegara untuk menganut agama atau tidak menganut agama. Tidak boleh mendiskriminasi warganegara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapa pun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warganegara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama.”
Artinya, pemerintah China melalui konstitusinya telah menjamin kebebasan semua warganya dari suku mana pun untuk menganut atau tidak menganut agama apa saja. Juga tak ada larangan bagi warganya yang ingin keluar atau masuk dari agama semula ke agama lainnya.
ADVERTISEMENT
Yang tidak dibolehkan adalah yang beragama mengafir-kafirkan yang tidak beragama lalu memaksanya untuk menganut agama. Yang tidak dibolehkan adalah yang tidak beragama mengolok-olok yang beragama lantas memaksanya untuk murtad meninggalkan keimanannya.
Intinya, mau beragama atau tidak, keputusan sepenuhnya berada pada individu masing-masing. Tidak ada yang diperkenankan untuk ikut campur dan memaksakan kehendaknya.
Tapi tetap ada rambu-rambu yang wajib dipatuhi. Yaitu, bagi yang beragama, aktivitas keagamaannya tidak boleh keluar dari koridor “normal”.
Warga Uighur di Xinjiang, China (Foto: AFP/Johannes Eisele)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Uighur di Xinjiang, China (Foto: AFP/Johannes Eisele)
Pertanyaannya, aktivitas keagaamaan apa saja yang dianggap tidak “normal” oleh pemerintah China? Penjelasannya bisa kita temukan, salah satunya, di dokumen yang terkenal dengan sebutan “Dokumen Nomor 11” (Shiyi Hao Wenjian) yang dikeluarkan Komite Partai Komunis Xinjiang dan Pemerintah Daerah Xinjiang pada 2013.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen tersebut disebutkan, di antara aktivitas keagamaan yang tidak “normal” adalah yang radikal (jiduan). Contohnya, khusus yang muslim, memprovokasi jemaahnya untuk melakukan aksi terorisme terhadap yang dicap kafir (yijiaotu) atau melakukan jihad (shengzhan) dengan memberontak terhadap pemerintahan yang dianggap thaghut demi mendirikan negara khilafah Islam.
Adapun melakukan sweeping terhadap warung-warung makan yang tetap buka pada siang hari di bulan puasa (ya, tidak hanya di Indonesia, di China juga ada kelompok-kelompok tertentu yang acap melakukannya), memaksa anak-anak sekolah dan yang belum akil balig untuk menjalankan syariat, sembarangan melaksanakan ibadah di fasilitas umum, memelihara jenggot berlebihan (janggut pendek tak masalah), mengenakan jilbab panjang atau burka (kerudung biasa tidak apa-apa), kelewatan mendikotomi halal-haram sampai pada benda-benda nonkonsumsi, menajamkan perbedaan sektarian sehingga menimbulkan permusuhan, dan semacamnya, dianggap sebagai tanda-tanda tumbuhnya benih-benih radikalisme agama yang harus pula dilarang keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, yang dilarang oleh pemerintah China bukan agamanya, melainkan perbuatan radikal atas nama agama yang dilakukan oleh penganut agama tersebut.
Karena itu, jika benar pemerintah China melarang warganya untuk beragama Islam seperti dituduhkan selama ini, maka semestinya tidak akan ada sekitar 30 juta warga China muslim dengan masjidnya yang berjumlah lebih dari 35 ribu di seluruh China itu. Salah-salah akan ada persekusi massal serta perusakan membabi buta terhadap rumah-rumah ibadah seperti pernah terjadi pada masa-masa kalut Revolusi Kebudayaan di bawah komando Ketua Mao.
Tetapi fakta mengatakan sebaliknya, bukan? Melalui dokumen bersejarah berjudul “Resolusi Tentang Beberapa Masalah Partai Setelah Berdirinya Negara China” (Guanyu Jianguo Yilai Dang de Ruogan Lishi Wenti de Jueyi) yang disepakati pada 27 Juni 1981, pemerintah komunis China justru bertobat mengakui pelbagai kekeliruannya yang diperbuat selama sepuluh tahun Revolusi Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Di Xinjiang, misalnya, masjid-masjid marak dibangun kembali. Menurut penelitian lapangan Profesor Yang Shengmin, dekan Fakultas Etnografi dan Sosiologi Minzu University of China yang dilahirkan dari keluarga muslim taat, jumlah masjid di Xinjiang pada 1984 cuma berkisar 9 ribu. Kini, angka itu melonjak menjadi 25 ribuan. Bahkan, masjid terbesar di China, ada di Xinjiang. Masjid Id Kah namanya.
“Di luar negeri, ada yang bilang (pemerintah) China menekan agama Islam (di Xinjiang). Bila demikian, kenapa jumlah masjid (di Xinjiang) masih (bisa) bertambah lebih dari satu kali lipat?” kata Shengmin yang pernah mengajukan pertanyaan retoris yang dikutip dari Kantor Berita Xinhua, untuk kita renungkan bersama, (16/7/2009).
Terakhir, permasalahan Uighur muslim di Xinjiang adalah permasalahan separatisme yang berkelindan dengan radikalisme agama.
ADVERTISEMENT
Beberapa Uighur muslim –terutama yang tinggal di Xinjiang selatan semacam Kashgar dan Hotan– memang sudah lama ingin memerdekakan diri dari China. Bahkan ketika China masih berada dalam kekuasaan Dinasti Qing yang kemudian ditumbangkan Revolusi Xinhai 1911. Alias sebelum China dikuasai Partai Nasionalis bentukan Dokter Sun Yat-sen yang sehabis kalah dalam perang saudara, didepak Partai Komunis sejak 1949 sampai hari ini.
Dari situ kita bisa melihat, permasalahan sebagian Uighur muslim yang ingin memerdekakan diri dari China itu, sebenarnya bukan murni karena persoalan agama di bawah pemerintah China yang berideologi komunis.
ADVERTISEMENT
Janganlah kita lupa, berdirinya Republik Turkestan Timur pada 1944 tatkala Partai Nasionalis masih berkuasa, justru berkat sokongan Uni Soviet yang merupakan dedengkotnya komunisme itu sendiri. Ingatlah juga, Ehmetjan Qasim, presiden kedua sekaligus terakhir Republik Turkestan Timur, adalah anggota Partai Komunis Uni Soviet.
Kelompok-kelompok separatis muslim Uighur –kata Guru Besar Kobe University Wang Ke dalam Dong Tujuesitan Duli Yundong: 1930 Niandai zhi 1940 Niandai (Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur: 1930an–1940an), mahakaryanya yang diterbitkan The Chinese University of Hong Kong pada 2013– hanya menggunakan Islam untuk menarik simpati suku-suku lain yang seagama dengannya di Xinjiang. Sebab, andai yang ditonjolkan adalah identitas kesukuan, niscaya muslim bersuku Kazakhs yang lumayan banyak populasinya di sana, akan sulit bersimpati kepada gerakan mereka.
Suku Uighur. (Foto: AFP/Johannes Eisele)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Uighur. (Foto: AFP/Johannes Eisele)
Cara-cara radikal pun dipakai oleh kelompok separatis muslim Uighur untuk mencapai tujuan politiknya. Mulai dari pembacokan sampai pengeboman. Baik terhadap yang nonmuslim, maupun terhadap muslim yang dianggap pro pemerintah China.
ADVERTISEMENT
Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM) sebagai kelompok separatis kawakan yang memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang, misalnya, dituding sebagai kelompok yang paling bertanggung jawab terhadap beragam aksi terorisme di Xinjiang. Tak sedikit militannya yang kabur ke Asia Tenggara. Densus 88 pernah menangkap beberapa kombatannya yang bergabung dengan gembong teroris Santoso di Poso.
Pemerintah China berkeyakinan, paham-paham radikal keagamaan akan makin mudah disusupkan oleh kelompok separatis muslim Uighur kepada yang tidak berpendidikan dan, karenanya, tidak mempunyai pendapatan. Barangkali mereka terinspirasi wejangan Lu Shaoheng, cendekiawan Dinasti Ming, dalam kitabnya, Xiao Chuang You Ji (Renungan di Balik Jendela Kecil) ini: “Wu shi ren hao sheng shi” (pengangguran akan gampang membikin keonaran).
Atas dasar itulah, pemerintah China mendirikan Pusat Reedukasi dan Pendidikan Vokasi (yang oleh banyak media dan pegiat HAM sebut “kamp konsentrasi”) sebagai tempat bagi mereka yang tercemar paham radikal keagamaan untuk kembali belajar pentingnya nasionalisme dan beragam keterampilan dasar yang dibutuhkan buat masuk dunia kerja.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya pastilah ada “murid” yang patuh dan yang bebal. Terhadap yang bebal, pemerintah China mungkin akan menggunakan cara-cara keras selayaknya yang dilakukan guru-guru zaman old kepada anak didiknya yang nakal. Tujuannya tak lain demi kebaikan mereka.
Boleh jadi itu adalah jalan tengah yang coba ditempuh pemerintah China ketimbang menjebloskan mereka langsung ke penjara.
*Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, yang setelah lulus dari Huaqiao University dan Xiamen University, melanjutkan studi doktoralnya di Sun Yat-sen University, China