Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Serba-serbi Ramadan di China
17 Mei 2019 15:54 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Novi Basuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ramadan tahun ini saya berpuasa di Anhui, salah satu provinsi di China bagian timur, tempat lahir petani miskin yang kelak menjadi kaisar pertama Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang (1328–1398).
ADVERTISEMENT
Sejak pendiriannya, Dinasti Ming boleh dikata cukup erat hubungannya dengan Islam. Bahkan, suatu hari saya pernah menemukan tautan warganet Indonesia dan China yang bilang Dinasti Ming merupakan “kekaisaran muslim”. Sesuatu yang agak berlebihan, menurut saya.
Namun, beberapa panglima perang yang bersama Zhu Yuanzhang, baku hantam dengan serdadu Dinasti Yuan (1271–1368), untuk menggulingkan rezim Mongol yang dianggap barbar itu tercatat sebagai orang Hui, suku pengikut Islam terbesar dan terluas persebarannya di China, adalah benar adanya. Sebut saja, di antaranya, Chang Yuchun, Lan Yu, Hu Dahai, dan Mu Ying.
Permaisuri Kaisar Zhu Yuanzhang pun bermarga Ma. Kita tahu, “Ma” yang jamak diakui merupakan perubahan kata (verbastering) dari “Muhammad”, adalah marga yang biasa dipakai etnis Hui.
ADVERTISEMENT
Ya, dari dulu, khususnya mulai zaman Dinasti Yuan yang kemudian berhasil ditumbangkan Dinasti Ming pada 1368.
“Pemeluk agama Islam yang bermastautin di Anhui sangatlah banyak,” demikian Fang Jianchang menulis dalam makalahnya.
“Sebuah analisis tentang Muslim dan Masjid di Anhui,” (Anhui de Musilin yu Qingzhensi Zakao) yang diterbitkan volume 1 jurnal Tribune Jianghuai (Jianghuai Luntan) keluaran tahun 1989.
Hingga China dipimpin Partai Komunis, merujuk data yang dirilis laman Muslim Daring (Musilin Zaixian) pada 10 Agustus 2017, Anhui masih menduduki peringkat kesembilan dari sepuluh provinsi dengan populasi muslim terbanyak di China. Sementara yang nomor satu, ditempati oleh Xinjiang, wilayah strategis nan kaya sumber daya alam yang isu keagamaannya belakangan acap digoreng sebagai komoditas politik di negara kita itu.
ADVERTISEMENT
Adapun jumlah penduduk Anhui yang memeluk Islam, masih menukil portal tersebut ialah sekitar 330 ribu dengan 121 masjid per tahun 2015.
***
Selama sebulan penuh tiap kali Ramadan tiba, layaknya masjid-masjid daerah lain di seluruh China yang menurut Buku Putih Kebijakan dan Praktik Jaminan Kebebasan Beragama di China (Zhongguo Baozhang Zongjiao Xinyang Ziyou de Zhengce he Shijian) berjumlah lebih dari 35 ribu pada 2018, masjid-masjid di Anhui juga menyediakan takjil –disebut “kaizhai fan” dalam bahasa China– secara cuma-cuma.
Kemarin, saya berkesempatan berbuka puasa di masjid Hefei, ibu kota Anhui. Letaknya tak jauh dari makam Bao Zheng (999–1062), hakim sekaligus negarawan era Dinasti Song Utara yang sangat masyhur keadilan dan kejujurannya.
ADVERTISEMENT
Oh ya, jadwal berbuka puasa di sini baru jatuh pada pukul 7 lewat beberapa menit. Sementara imsaknya, tepat jam 4. Maklum, China sedang musim panas. Matahari cepat terbit. Jadilah waktu berpuasa di China lebih lama ketimbang di Indonesia.
Walau begitu, noni-noni China yang pada musim panas suka berpakaian mini-mini untuk menghindari gerah, jelas memberikan kesegaran tersendiri meski azan magrib tak kunjung berkumandang. Barangkali ini menjadi yin-yang penyeimbang dari Tuhan karena tak ada 'sobat pentungan' yang men-sweeping toko-toko makanan dan minuman yang tetap buka siang-siang.
***
Sama dengan masjid-masjid di kota lain yang pernah saya singgahi sebelumnya, buka puasa di masjid Hefei juga diawali dengan minum teh tawar hangat, makan kurma, lalu diakhiri dengan semangka atau melon Hami (Hami gua).
ADVERTISEMENT
Saya menggandrungi melon Hami. Dagingnya yang berwarna jingga, sangatlah renyah. Ia, sesuai namanya, berasal dari Hami, kota strategis di Xinjiang utara yang berbatasan langsung dengan Gansu, provinsi yang muslimnya tak kalah bejibun.
Sebenarnya, kaum Uighur di Xinjiang sendiri lebih condong menamai (endonym) Hami sebagai Kumul. Pada 1930, orang-orang Uighur di Kumul pernah mengobarkan pemberontakan terhadap tirani Jin Shuren (1879–1941), Gubernur Xinjiang kala itu.
Sontak, pemberontakan tersebut menginspirasi orang-orang Uighur di Xinjiang Selatan untuk memerdekakan diri dari China dan pada 12 November 1933, mendirikan negara Islam bernama Republik Islam Turkestan Timur (Sherqiy Türkistan Islam Jumhuriyiti) yang berpusat di Khotan dan Kashgar.
Negara Islam ini tidak panjang umur. Bubar dalam usianya yang cuma sekitar lima bulan. Penyebabnya: petinggi-petingginya ribut sendiri-sendiri. Presidennya yang bernama Khoja Niyās Ḥājjī ingin Xinjiang tetap berada dalam naungan China; sedangkan perdana menterinya yang bernama Ṣābit Dāmullāh bersikeras, Xinjiang tidak boleh tidak merdeka.
ADVERTISEMENT
Pendek kata, tidak semua Uighur di Xinjiang mau lepas dari China seperti yang digembar-gemborkan kelompok-kelompok tertentu di negara kita.
***
Sesudah menyantap buah-buahan itu, kami bergegas menunaikan salat magrib berjemaah. Tumben, baru kali ini saya mendapati ada imam masjid China yang bacaan Alquran-nya –baik makhraj maupun tajwidnya– tidak terpengaruh oleh apa yang disebut sebagai “jingtang yu”, bahasa Arab/Persia yang menggunakan huruf China sebagai alat bantu pelafalannya.
“Jingtang yu” sengaja diciptakan oleh ulama-ulama China terdahulu sebagai bentuk kompromi terhadap lidah kebanyakan orang China yang sulit melafalkan bahasa Arab/Persia sesuai artikulasi penutur aslinya.
“Asalamualaikum" contohnya, diucapkan dengan delapan aksara China “An sai lia mu a lai ku mu”. Salat asar yang bahasa Persianya “namāz dīgar”, dibunyikan sebagai “na ma zi di gai er”. Pelafalan Alquran mayoritas muslim di China amat khas oleh aksen China-nya yang kental.
ADVERTISEMENT
Tapi, bagi salafus saleh penyebar Islam di China, tak sefasih orang Arab/Persia tak masalah. Yang terpenting adalah esensinya. Toh, Tuhan Maha Mengetahui segalanya.
Begitulah, sebagaimana Wali Songo di Indonesia, para dai Islam di China juga tidak suka memaksa-maksa dan menyalah-nyalahkan. Andai mubalig-nya ngotot dan demen mengafir-ngafirkan yang liyan, boleh jadi Islam akan sulit menyebar hingga diimani sedikitnya 30 juta jiwa masyarakat China seperti sekarang.
***
Selepas salat magrib, kami dipersilakan makan ke lantai dua gedung di sebelah masjid. Di sana sudah tersedia nasi, bakpao, sayuran, daging, dan kuah. Kalau kurang bisa menambah sampai kenyang.
Sembari makan, saya menanyakan perihal imam salat tadi ke orang yang duduk di sebelah saya. Kata dia, imam itu berasal dari Provinsi Yunnan dan seorang hafiz 30 juz Alquran.
ADVERTISEMENT
Dari dulu, Yunnan memang identik dengan Islam. Gubernur pertamanya bahkan dijabat oleh seorang habib bernama Sayid Ajal Syamsuddin Umar. Tak sedikit sejarawan yang memastikan bahwa beliau merupakan keturunan ke-30 Nabi Muhammad dari garis Husain, putra kedua dari pernikahan putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib.
Yunnan juga mencetak ahli-ahli Alquran. Muhammad Ma Jian (1906–1978) yang alumni Al-Azhar, Mesir, dan merupakan penerjemah Alquran paling otoritatif di China itu, adalah orang Yunnan –tepatnya Shadian, sebuah kecamatan yang penduduknya mayoritas muslim bersuku Hui.
Kita ingat, pada pertengahan tahun 1975 ketika China masih dalam masa-masa kalut Revolusi Kebudayaan, muslim-muslim bersuku Hui di Shadian pernah memberontak untuk memerdekakan diri dari pemerintahan komunis lantaran pengawal merah (hong weibing) telah melakukan vandalisme membabi buta terhadap masjid-masjid dan kitab suci mereka.
ADVERTISEMENT
Pemberontakan itu berhasil dipadamkan tentara. Ribuan muslim terbunuh. Namun akhirnya, setelah menjalankan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan (gaige kaifang), pemerintah China menempuh jalur rekonsiliasi. Muslim-muslim Hui di Shadian juga berlapang dada menerima.
Bagaimana dengan G30S? Atau benturan NU versus PKI?
***
Ternyata benar. Imam tadi memang hafal Alquran. Ini saya ketahui karena ketika salat tarawih, ia bukan membaca surat-surat pendek juz amma seperti saat mengimami salat magrib dan isya, melainkan surat Al-Māʼidah yang dibaca sekitar lima ayat setiap rakaat-nya. Bacaannya pun tartil, pelan.
Alhasil, salat tarawih jadi lama sekali. Apalagi salatnya baru dimulai sekitar setengah 9 malam sebab sehabis salat isya masih diisi ceramah seputar keislaman.
Untungnya, setiap selesai dua rakaat tarawih, ada jeda untuk membaca doa “subḥāna żī al-mulki wa al-malakūt…” yang dilantunkan bersama. Anggap saja itu waktu untuk beristirahat sebelum melanjutkan 18 rakaat sisanya.
Jemaat China terlihat santai-santai saja. Saya yang di Indonesia terbiasa salat tarawih dengan kecepatan bus patas lewat tol, justru mulai gundah melihat jarum jam yang sudah makin malam. Saya mengalkulasi, dengan kecepatan bacaan imam yang hafiz ini, salat tarawih plus witir mungkin baru akan rampung jam 11-an malam.
ADVERTISEMENT
Tak tahan, saya memilih turun duluan. Eh, di tengah perjalanan pulang, malah tiba-tiba hujan. Ini azab atau cobaan, sih?