Tentang Dokumen Rahasia Partai Komunis China yang akan Bungkam Islam

Novi Basuki
Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo; Lulus dari Huaqiao University dan Xiamen University, Studi doktoral di Sun Yat-sen University, China; Penulis buku "Islam di China: Dulu dan Kini".
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2019 15:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novi Basuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid yang di sebelah barat lautnya ada makam yang diyakini sebagai pamannya Nabi, Sa'ad bin Abi Waqqas. Foto: Dok: Novi Basuki.
zoom-in-whitePerbesar
Masjid yang di sebelah barat lautnya ada makam yang diyakini sebagai pamannya Nabi, Sa'ad bin Abi Waqqas. Foto: Dok: Novi Basuki.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepekan menjelang peringatan 54 tahun terjadinya peristiwa coup d'état G30S, tempo.co melansir artikel berjudul “Ada Arahan dari Partai Komunis Cina Bungkam Pengaruh Islam”. Mereka mengaku mendasarkan informasinya dari investigasi yang dilakukan The New York Times sehari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa banyak cincong, portal berita tersebut langsung tancap gas menulis bahwa pemerintah China, wabil khusus di wilayah barat laut (xibei) yang menjadi mastautin utama 10 etnis minoritas penganut Islam di negara yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis China (PKC) itu, telah “dengan sistematis ... mengekang Muslim untuk beribadah, mulai dari pembongkaran kubah masjid sampai melarang praktik Islam.”
Alasannya jelas. Kata tempo.co, PKC khawatir “kepatuhan terhadap kepercayaan Islam dapat berubah menjadi ekstremisme agama dan pembangkangan terbuka terhadap aturannya.”
Makanya, masih menurut tempo.co, mulai 2015 silam Xi Jinping sebagai sekjen PKC cum presiden China “mengangkat masalah tentang apa yang ia sebut ‘Sinoisasi Islam’ dengan mengatakan semua agama harus tunduk pada budaya Cina dan Partai Komunis [Cina].”
ADVERTISEMENT
Sebagai tindak lanjutnya, ungkap tempo.co, PKC pada April 2018 mengeluarkan arahan bertajuk “Memperkuat dan Meningkatkan Pekerjaan Islam dalam Situasi Baru” yang diklasifikasikan sebagai dokumen rahasia selama 20 warsa. Isinya berupa beragam larangan terkait Islam. Tapi, yang paling mencolok di sana adalah peringatan perlunya pencegahan wabah “Arabisasi” pada beragam aspek keislaman di China.
Namun pertanyaannya: benarkah dengan begitu PKC hendak membungkam pengaruh Islam yang sudah mengakar di negaranya sejak dinasti Tang berkuasa di abad ke-7 silam? Ada beberapa hal yang mesti kita diskusikan tanpa perlu bawa perasaan.
Pertama, akan sangat problematis jika kita tetap bersikukuh memandang permasalahan keagamaan di China pasca-kewafatan Mao Zedong memakai apa yang oleh Xi Jinping sebut sebagai “leng zhan siwei” (mentalitas perang dingin).
ADVERTISEMENT
“Mentalitas perang dingin” ini, gampangnya, ialah mentalitas yang menganggap negara yang berideologi komunisme sudah barang tentu selamanya akan berada dalam hubungan diametral dan antipati terhadap agama. Islam, khususnya. Fatwa masyhur Karl Marx “Die Religion ... ist das Opium des Volkes” (agama ... adalah candu masyarakat), senantiasa dijadikan dalil pembenar.
Secara historis, benar bahwa sepanjang satu dekade Revolusi Kebudayaan (wenhua da geming) di bawah komando Mao Zedong telah terjadi vandalisme dan persekusi massal membabi buta terhadap rumah-rumah ibadah dan tokoh-tokoh agama tanpa terkecuali di China.
Penyebabnya, tokoh-tokoh agama yang oleh D. N. Aidit cap sebagai “setan-setan desa”, dianggap sebagai salah satu representasi dari “hantu sapi dewa ular” (niu gui she shen) yang wajib disapu bersih sebab berpotensi melanggengkan feodalisme oleh pengawal merah (hong weibing) yang taklid buta pada pemikiran Mao Zedong (Mao Zedong sixiang).
ADVERTISEMENT
Walakin, sesudah kematian Mao Zedong pada September 1976 dan Deng Xiaoping yang berkali-kali digencetnya selama masa-masa kalut Revolusi Kebudayaan (1966–1976) kembali bisa memangku kekuasaan, PKC menggelar tobat nasuhah mengakui sekaligus menyesali pelbagai kesalahan keagamaan yang diperbuatnya di atas.
Untuk itu, dikeluarkanlah dokumen khusus yang sohor disebut Dokumen Nomor 19 (Shijiu Hao Wenjian) pada Maret 1982. Boleh dikata, dokumen ini tak ubahnya “surat pengakuan dosa” yang sekaligus berfungsi sebagai mercusuar pemandu kebijakan keagamaan yang diterapkan PKC sampai sekarang.
PKC menegaskan, sebagaimana termaktub di bagian 4 dokumen tersebut, “Menghormati dan melindungi kebebasan keagamaan [rakyat] adalah kebijakan fundamental partai. Ini adalah kebijakan jangka panjang, adalah kebijakan yang akan diejawantahkan dengan teguh dan sungguh-sungguh” sebab ini adalah “satu-satunya kebijakan keagamaan yang benar serta sesuai dengan kepentingan rakyat.”
ADVERTISEMENT
Karena itu, rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi pun dilakukan.
Tak heran, jumlah masjid di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang yang pada 1984 cuma berkisar 9 ribu, melonjak menjadi sekitar 24 ribu lengkap dengan 29 ribu imamnya, jika merujuk Buku Putih Kondisi Kebebasan Keagamaan Xinjiang (Xinjiang de Zongjiao Xinyang Ziyou Zhuangkuang) yang dirilis Dewan Negara China pada Juni 2016 silam. Terhitung selama sewindu dari 1982 sampai 1990, menurut makalah David A. Palmer yang terhimpun dalam buku Handbook of Contemporary China yang dieditori William S Tay dan Alvin Y So, muslim bersuku Hui juga menanjak 19 persen populasinya. Pemeluk Islam yang pada awal kemerdekaan China hanya 8 jutaan, meroket menjadi tak kurang dari 30 juta sekarang.
ADVERTISEMENT
PKC lantas menekankan, tetap di bagian dan dokumen yang sama, “perbuatan apa pun yang memaksa yang tidak beragama untuk beragama, adalah sama halnya dengan memaksa yang beragama untuk tidak beragama, [itu] semua melanggar kebebasan keagamaan orang lain, dan karenanya adalah kesalahan fatal sekaligus mutlak tidak diperbolehkan.”
Hingga kini, saya belum menemukan bukti valid bin sahih yang dapat menunjukkan PKC telah ingkar terhadap komitmennya yang akan menjamin kebebasaan keagamaan rakyatnya tersebut. Tentu lain soal kalau terhadap rakyatnya yang gampang mengkafir-kafirkan lantaran terpapar “Arabisasi”.
Kedua, “Arabisasi” berkedok pemurnian Islam itulah yang berusaha dibendung PKC. Sebenarnya, gerakan pemurnian Islam (al-ḥarakah al-Islāmiyah) atau yang kelak kita kenal dengan Wahabisme ini sudah merasuk ke China sejak akhir abad ke-19 melalui seorang yang baru datang menunaikan haji bernama Ma Wanfu.
ADVERTISEMENT
Dan sekarang, saya beroleh info dari esai Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo yang berjudul “Ta’ammalāt haul al-Taṭarruf al-Dīnī wa al-Islāmūfūbiyā fī al-Ṣīn” (Refleksi tentang Ekstremisme Agama dan Islamophobia di Cina) di harian Al-Hayat terbitan 30 Agustus 2017, muslim yang terpengaruh pemikiran fundamentalisme Sayyid Qutb (1906–1966) dan Abul A‘la Maududi (1903–1979) sehingga menolak kontekstualisasi dan sikap kritis terhadap teks-teks ilahi, jumlahnya tidaklah sedikit di China.
Sebagai akibatnya, pola pikir tak sedikit muslim China makin tidak fleksibel dan buntu pada dua pilihan dikotomis hitam-putih: halal atau haram, muslim atau kafir. “Walhasil,” sesal Xue Qingguo, “citra Islam [di mata kebanyakan masyarakat China] berubah dari agama yang terbuka ke yang tertutup, dari yang toleran ke yang intoleran, dari yang moderat ke yang ekstrem, dari yang memudahkan ke yang menyulitkan.”
ADVERTISEMENT
Muslim garis kaku macam itu yang ditengarai pemerintah komunis China sebagai salah satu tanda tumbuhnya benih-benih radikalisme dan ekstremisme agama. Sebaliknya, radikalisme dan ekstremisme agama dikhawatirkan menyuburkan Islamophobia di kalangan masyarakat China yang acap dicap kafir kafah karena hidup di negara tagut oleh mereka.
Jalan keluarnya? Xi Jinping bertitah dalam suatu kesempatan, “Jianchi wo guo zongjiao de Zhongguohua” (istikamahlah dalam melakukan Sinoisasi agama-agama di negeri kita).
Ketiga, “Sinoisasi agama” yang di dalamnya termasuk “Sinoisasi Islam” yang dicanangkan Xi Jinping sebagai panacea “Arabisasi” itu, sejatinya bukanlah barang baru. Bagi saya, Xi Jinping hanya mendaur ulang apa yang sudah digodok cendekiawan-cendekiawan muslim China sejak zaman dinasti Ming (1368–1644).
Ya, laiknya Wali Songo di Indonesia yang berusaha menyebarkan Islam dengan merangkul kearifan lokal, dai-dai Islam di China kala itu juga giat menyelaraskan ajaran Islam dengan kebudayaan China.
ADVERTISEMENT
Maklum, mubalig-mubalig China itu lebih mementingkan esensi ketimbang ngotot mempertahankan simbol dengan emosi. Mereka, misalnya, tak mempermasalahkan bentuk masjid dibikin lebih menyerupai kelenteng alih-alih berkubah lengkap dengan bintang dan bulan sabit seperti di Arab –yang notabene tempat lahir agama yang mereka imani.
Akan tetapi, mirip dengan di Indonesia, belakangan ini di China juga mewabah kaum-kaum tertentu yang menolak vernakularisasi –atau, meminjam istilah Gus Dur– “pribumisasi Islam” yang akomodatif, inklusif, dan toleran terhadap yang liyan. Mereka maunya apa-apa kudu seperti Arab karena itulah yang dianggap satu-satunya perwujudan Islam yang asli. PKC yang bangga dan percaya diri pada kebudayaan sendiri jelas melawannya. PKC mengamini petuah Bung Karno, “Kalau jadi Islam, tidak perlu jadi orang Arab.”
ADVERTISEMENT
Terakhir, perobohan-perobohan masjid di China adalah fakta yang tidak patut dan memang tidak pernah dinegasikan keberadaannya oleh pemerintah komunis China.
Tapi ya itu tadi, perobohan-perobohan itu utamanya dilakukan terhadap masjid-masjid yang bentuk bangunannya dianggap kelewat kearab-araban belaka. Sementara yang beraksitektur lokal, tetap akan dibiarkan atau bahkan dilindungi.
Terkait hal ini, andai tempo.co mendapatkan salinan dan tekun membaca dokumen rahasia yang disinggungnya itu, niscaya tak sulit bagi mereka untuk menemukan kalimat yang artinya kurang lebih begini di halaman 10 butir 15 baris keempat sampai kelima:
“... pembangunan rumah ibadah [Islam] baru ataupun yang hendak direnovasi, harus menonjolkan arsitektur China. Badan pelestarian peninggalan purbakala (wenwu bumen) harus memperkuat perlindungan terhadap masjid berarsitektur China yang mempunyai nilai historis.”
ADVERTISEMENT
Selebihnya, selain tampak mengulang-ulang atau menjabarkan isi Dokumen Nomor 19 yang saya nukil di muka, tak ada yang layak dibesar-besarkan dari dokumen rahasia berjudul asli “Guanyu Jiaqiang he Gaijin Xin Xingshi xia Yisilan Jiao Gongzuo de Yijian” yang disebut-sebut tempo.co itu.
Saya malah tak habis pikir kenapa PKC memutuskan menjadikan dokumen begitu sebagai dokumen yang terkategori “jimi” (rahasia). Padahal, yang main rahasia-rahasia begini yang gampang membikin orang jadi curiga. Coba tanyakan pacar Anda kalau enggak percaya.