Perjuangan Kesetaraan Gender dalam Novel Layar Terkembang

NOVIA FITRI ZAHROH
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konten dari Pengguna
30 April 2023 19:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NOVIA FITRI ZAHROH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar novel Layar Terkembang, karya St. Takdir Alisjahbana (Sumber: gambar pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Gambar novel Layar Terkembang, karya St. Takdir Alisjahbana (Sumber: gambar pribadi).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Karya sastra adalah hasil cipta seni pengarang yang membahas tentang permasalahan manusia. Permasalahan yang dibawa oleh pengarang merupakan permasalahan yang realitas dengan kehidupan sehari-hari. Lewat karya sastra, tentunya para pembaca bisa melihat keadaan sosial yang dihuni oleh penulis pada waktu itu, serta dapat membandingkan dengan keadaan sosial yang dihuni oleh pembaca pada saat ini. Balai Pustaka menerbitkan sebuah novel yang berjudul Layar Terkembang. Karya sastra ini ditulis oleh St. Takdir Alisjahbana, dan diterbitkan pada tahun 1937. Topik ketimpangan gender dibahas dalam novel Layar Terkembang. Tidak ada yang berbeda permasalahan saat ini maupun permasalahan yang terjadi pada masa dahulu. Ketimpangan gender tetap menjadi permasalahan sosial yang tak kunjung usai. Dunia memang kejam, memandang perempuan sebagai makluk yang selalu mengekori kaum laki-laki.
ADVERTISEMENT
Perjuangan perempuan untuk memperoleh kesetaraan ini banyak mengilhami kelahiran novel-novel Indonesia sejak tahun 1920. Para pengarang menggugat dominasi adat yang turut andil dalam pengekangan pada perempuan seperti tercermin pada Sitti Nurbaya, Belenggu. Salah Asuhan dan Azab Sengsara, dan Layar Terkembang. Seperti halnya dalam novel Layar Terkembang, tokoh Tuti digambarkan sebagai wanita pergerakan, usianya 25 tahun, dan ia adalah seorang guru di sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo. Ia memiliki seorang adik yang bernama Maria. Maria berusia 20 tahun, murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting. Tuti dan Maria merupakan anak dari Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunannya di Jakarta.
Layaknya seorang adik dan kakak pada umunya, Tuti dan Maria tidak memiliki pribadi yang sama. Pribadi mereka sangatlah bertolak belakang. Tuti adalah perempuan yang tidak mudah mengungkapkan rasa kagum pada sesuatu hal. Ia mempunyai pemikiran dan pemandangan sendiri dan segala buah pikirannya yang sangat tetep berdasarkan pertimbangan dirinya sendiri. Tuti memiliki sikap yang pendiam dan tertutup, tetapi segala yang diucapkannya selalu saja teliti. Sedangkan adiknya Maria, ia adalah seorang wanaita yang mudah kagum, mudah memuji dan memuja, serta kurang minat mengikuti organisasi pergerakan wanita. Dalam novel Layar Terkembang kedua tokoh ini menggambarkan keadaan sosok wanita dengan sudut pandang yang sangat berbeda. Sosok Tuti yang menjadi wanita dengan pola pikir rasional. Ia selalu mengedepankan nalar dan logika dalam melakukan sesuatu. Sedangkan Maria adalah perempuan yang memiliki pola pikir emosional. Maria selalu menyatakan perasannya secara langsung dalam kondisi kebahagiaan maupun kesedihan.
ADVERTISEMENT
Novel ini juga membahas tentang roman antara Maria dengan Yusuf. Yusuf adalah putra Demang Munaf di Martapura di Sumatra Selatan. Sudah 5 tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi. Layaknya percintaan pada umunya, tidak semua percintaan akan berjalan mulus seperti khayalan roman dalam novel picisan. Tuti dan Yusuf adalah adalah pemuda dan pemudi penggerak yang memperjuangkan hak-hak yang tidak didapatkan pada saat itu. Tuti adalah seorang pemimpin dari Kongres Putri Sedar. Ia curahkan sebagian kehidupannya untuk mengikuti organisai pergerakan wanita. Hari-hari ia selalu membaca buku serta menulis tentang hak-hak wanita yang akan ia sampaikan dalam Kongres Putri Sedar di Jakarta. Tuti menganggap bahwa keadaan perempuan bangsanya sangatlah buruk. Berapa banyak mimpi wanita terkubur hanya untuk kepentingan dan kepuasan para lelaki. Ia berpegang teguh untuk meraih kesetaraan gender yang nyatanya sangat sulit digapai akibat pemikiran pribumi yang selalu terikat dengan adat yang ada.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya permasalahan kesetaraan gender, pada saat itu pendidikan lingkungan keluarga tidak lah sebebas seperti saat ini. Seorang anak selalu dikekang oleh orang tuanya, mereka selalu menuruti kemauan orangtuanya, meskipun itu semua tidak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri. Tidak ada kebebasan seorang anak untuk memilih sesuatu sesuai keinginannya, semua harus berlandaskan keinginan orangtua dan hukum adat. Tak ada yang salah memang, tetapi bukankah pekerjaan akan lancar jika dilakukan dengan keiinginan dan bakat yang ada dalam diri. Semua didikan itu berbeda dalam keluarga Tuti dan Maria. Raden Wiriaatmaja selaku Ayah tidak mengekang mereka berdua, mereka berdua dibebaskan melakukan ataupun memilih sesuatu sesuai kehendaknya. Pola pikir dan didikan seperti inilah yang sangat sulit diterapkan oleh orangtua pada saat itu. Meski bertujuan baik, bukankah kesenangan dan kebahagiaan akan selalu menang dari segala hal. Pendapat itu bertolak belakang dengan pola pikir orangtua pada saat itu, adat mengikat seorang anak agar selalu menuruti kemauan orangtuanya. Bahkan kebiasannya menurut adat, orang yang tidak menurut dengan orangtua, maka ia akan terjerumus dan akan menyesal kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Berbagai tuntun sepertinya sudah menjadi santapan bagi para wanita setiap harinya. Tuti berkata, bahwa penghidupan perempuan bangsa kita dimasa silam sangatlah hitam, kelam, dan lebih kelam dari malam yang gelap. Perempuan tidak sama seperti laki-laki yang mempunya pikiran dan pandangan sendiri, dan mempunyai hidupnya sendiri. Hidupnya selalu dituntut untuk memuaskan para lelaki, dan harus memutuskan mimpi-mimpi yang telah terukir sejak lahir. Perempuan hanyalah hamba sahaya, seakan budak yang selalu bekerja dan melahirkan anak bagi penerus laki-laki. Dilukiskan sebutan yang indah untuk perempuan, perempuan layaknya perhiasan. Tetapi setinggi-tingginya perempuan menjadi perhiasan, ia tetap menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, dan dibuang, lalu ditukar apabila telah kabur cahayanya dan telah hilang serinya.
ADVERTISEMENT
Perempuan sama seperti laki-laki, mereka mendapat sebutan manusia. Dalam hukum yang ada di Indonesia terdapat HAM (Hak Asasi Manusia) yang beralaku universal untuk semua orang. Artinya, semua orang berhak atas perlindungan hak asasi dan kebebasannya. Pemenuhan setiap hak juga harus setara untuk semua orang, dan bebas dari diskriminasi. Nyatanya pada saat itu, kebebasan itu hanyalah untuk laki-laki saja. Perempuan bangsa kita tidak boleh mempunyai kemauan sendiri yang sesuai dengan kata hati. Sebaik-baiknya perempuan adalah perempuan yang paling sedikit kemauannya, perempuan yang segala hal menurut saja tanpa adanya bantahan. Maksudnya hidup perempuan hanyalah untuk mengabdi menjadi sahaya. Selayaknya budak atau sahaya, ia tidak miliki kemauan sendiri, tetapi selalu menurut dengan kemauan yang diabdinya.
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya Tuti mengemukakan tentang ‘Mangkunegara IV, raja dan penyair yang sudah termasyhur itu, memberi nasihat kepada perempuan untuk mengikat hati suaminya sebagai berikut, Bukanlah guna-guna, bukanlah mantera, bukanlah yang gaib-gaib, yang dapat dipakai untuk melayani laki-laki. Tetapi perempuan yang menurut selalu akan dicintai oleh suaminya. Sifat penurut pada perempuan membangkitkan kasihan laki-laki. Sifat penurut itu ialah jalan menuju cinta, kesungguhan hati menuju kasih sayang dan setia membangkitkan kepercayaan. Bukan keturunan, bukan kekayaan dan kecantikan yang menjadi tiang perkawinan. Hanyalah semata-mata sifat penurut, menyesuaikan diri akan kemauan suami, kepandaian menjaga dan merahasiakan segala yang tak usah diketahui orang lain, hanya itulah yang harus engkau pelajari (Layar Terkembang, 2009:43).’
Tuntutan akan perkawinan selalu dilemparkan pada muka wanita. Layaknya Tuti yang selalu dituntut untuk menikah, dikarenakan umurnya sudah 25 tahun. Tuti berpendapat bahwa, perkawinan bukan menjadi tujuan hidupnya. Perempuan akan menyerbukkan dirinya dalam dunia pengetahuan, perempuan akan turut menyusun, dan mengemudikan negeri, perempuan akan menjelmakan ke pintu jiwanya dalam seni, perempuan akan turut bekerja dan memimpin dalam bermacam-macam pekerjaan dan perusahaan. Demikianlah perempuan yang dicita-citakan oleh Putri Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata hatinya, malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu baginya berarti melepaskan hak-haknya sebagai manusia yang mempunyai hidup sendiri dan berupaya mencari perlindungan dan meminta belaskasihan.
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya sebagai pemimpin Putri Sedar, dengan semangat berapi-api Tuti mengatakan, ‘Sesungguhnyalah hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah. Jadi, perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat itu bukanlah semata-mata kepentingan perempuan. Kaum laki-laki yang insaf akan kepentingan yang lebih mulia dari kepentingan hatinya yang loba sendiri tentu akan harus mengakui itu.’ Banyaknya tuntutan itu akan hilang dengan sendirinya, bukan atas pergerakan wanita. Tetapi kesadaran para wanita yang harus terbebas dari rantai yang mengharuskan wanita menjadi sahaya lelaki.
Perempuan yang baru adalah perempuan yang bebas menghadapi dunia. Perempuan yang berani membentangkan matanya melihat keberanian menantang dunia. Wanita yang percaya akan tenaga dirinya dalam berdiri sendiri dan berpikir sendiri. Wanita yang berani menanggung jawab atas segala perbuatan dan buah pikirnya. Akhirnya Tuti menutup pidatonya dengan berkata, ‘tiadalah mungkin lagi wanita terkurung dalam lingkungan rumah, seluruh dunia yang lebar menjadi gelanggangnya. Kini tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari bahagianya dengan menghidupkan sukmanya.’ Riuh suara tepuk tangan para anggota Kongres Putri Sedar, mereka bangga akan ketuanya Tuti, pemimpin Putri Sedar, penggerak untuk meraih hak para wanita menjemput kebebasan.
ADVERTISEMENT