Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Budaya Minangkabau dalam Novel Merantau ke Deli Karya Hamka
20 Agustus 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Novia Fitri Zahroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya didefinisikan sebagai kumpulan nilai-nilai, norma, kepercayaan, tradisi, adat istiadat, bahasa suatu kelompok masyarakat tertentu. Budaya ini adalah sesuatu yang sangat menarik untuk dipelajari, dipraktikkan, diwariskan dari geenrasi ke generai lainnya dalam satu komunitas yang ada. Satra menjadi sarana dalam mempelajari budaya, tanpa harus berkunjung ke daerah tersebut untuk melihat ciri khas budayanya itu sendiri. Dalam novel Merantau ke Deli, penulisnya yaitu Abdul malik Karim Amrullah, atau biasa disebut dengan Hamka. Novel ini merupakan novel yang membahas isu kebudayaan Minangkabau di dalam karyanya, dengan tergambarkan tokoh Leman dan Mariatun kental sekali dengan kebudayaan Minangkabau. Novel ini terbit pada tahun 1939 sebagai cerita bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat.
ADVERTISEMENT
Karya sastra menjadi cemin dalam nilai-nilai, norma-norma, dan pola-pola budaya tertentu yang dpat mempengaruhi dan merefleksikan budaya di sekitarnya. Budaya Minangkabau memiliki ciri khas yang unik dan menarik untuk dikaji dan dipelajari oleh sebagain masyarakat. Adat istiadat peradaban Minangkabau yang sangat kompleks dan beraneka segi, seperti ritual pernikahan, hubungan antaretnis, urusan keluarga, kepercayaan masyarakat, gaya hidup yang saling berkesinambungan satu sama lain. Pada novel ini digambarkan tokoh Leman menentang kebudayaan Minangkabau dnegan menikahi perempuan dengan suku Jawa, yaitu Poniem. Pernikahannya ini tentunya bersebrangan dengan kebudayaan Minangkabau yang ada, hingga menimbulkan berbagai kebudayaan menarik yang pelu dikaji dengan seksama.
1. Kebudayaan garis keturunan
Menurut adat orang Minangkabau di dalam negeri sendiri, yang memegang rumah tangga ialah si istri. Suminya hanya sumanda, artinya orang laian yang datang ke rumah lantaran dijemput menurut adat. Anak-anak yang lahir dari kedua pasangan suami istri itu, tidaklah masuk ke dalam suku (garis keturunan) ayahnya tetapi masuk suku ibu. (Merantau ke Deli halaman 30)
ADVERTISEMENT
Dalam novel Merantau ke Deli dijelaskan bahwa dalam budaya Minangkabau biasanya garis keturunan ibu digunakan untuk memegang dan melacak garis keturunan Minangkabau. Artinya ibu seseorang menentukan statusnya sebagai anggota suku Minangkabau. Anak dianggap sebagai anggota keluarga ibunya dan mewarisi garis keturunannya berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau. Kebudayaan Minangkabau adalah suatu bentuk kebudayaan yang strukturnya unik. Apabila kebanyakan kebudayaan menganut sistem patrilineal dalam kekerabatannya, maka kebudayaan Minang kabau menganut sistem matrilineal. Nenek moyang orang Minang sudah berketetapan hati untuk menghitung garis keturunannya berda sarkan garis keturunan ibu. Sistem kekerabatan itu sulit dibantah karena sistem ini merupakan dalil yang sudah hidup, tumbuh dan berkembang di Minangkabau (Misnal Munir, 2015).
Dalam sistem kekerabatan Minangkabau hal yang paling medasar adalah struktur sosial, yang dapat menentukaan warian harta benda dan organisasi mayarakat. Dalam ritual pernikahan dan pengaturan keluarga, budaya Minangkabau juga dipengaruhi oleh garis keturunan ibu. Oleh karena itu, garis keturunan ibu sering kali menentukan keanggotaan seseorang dalam hubungan masyarakat Minangkabau, dan sistem ini telah berkembang menjadi komponen penting dalam struktur sosial dan identitas budaya masyarakat Minangkabau sejak zaman dahulu.
ADVERTISEMENT
2. Budaya merantau perempuan Minangkabau
Meskipun bagaimana lama pergaulan dan ke mana pun mereka pergi merantau, sang istri tidaklah jatuh ke dalam kuasa suami sepenuhnya. Kekuasaan itu tetapi masuk suku ibu. (Merantau ke Deli halaman 30)
Namun, kalau istri itu dibawa merantau, si suami merasa bahwa istrinya cuma menumpang saja, dan istri pun merasa bahwa dia hanya ikut orang lain. Karena harta benda suami itu menurut pandangan mereka, bukanlah kepunyaan rumah tangga mereka, tetapi di bawah kuasa kaum kerabat suaminya juga. (Merantau ke Deli halaman 30)
Dalam novel Merantau ke Deli dijelaskan bahwa perempuan memegang posisi yang kuat dan signifikan dalam sistem kekerabatan matrilineal dalam budaya Minangkabau. Walaupun perempuan Minangkabau boleh mengikuti suaminya ke tempat lain, mereka tetap mempunyai hak dan tanggung jawab tertentu dalam keluarga dan masyarakat. Perempuan Minangkabau sering terlibat dalam pekerjaan dan usaha keluarga. Mereka dapat membantu dalam pengelolaan rumah tangga, pertanian, atau usaha dagang keluarga. Meskipun suami mungkin menjadi kepala keluarga dalam formalitas yang ada, tetapi perembuan Minangkabau sering memiliki pengaruh signifikasn dalam pengambilan keputusan keluarga, termuk dalam pengambilan keputusa persoalan keungan, pendidikan anak, dan masalah lainnya.
ADVERTISEMENT
3. Budaya buah tangan dalam adat Minangkabau
Poniem sejak saat itu, terus bekerja keras untuk menyediakan buah tangan dan tanda mata yang akan diberikan kepada sanak famili di kampung, sehelai baju untuk Uncu, sehelai sarung untuk Kakak, selendang untuk adik dan beberapa pekaian salin untuk yang kecil-kecil . leman tercengang dan merasa kagum melihat usaha istrinya. (Merantau ke Deli halaman 50).
Dalam novel Merantau ke Deli, digambarkan bahwa tokoh Poniem menyiapkan oleh-oleh atau buah tangan untuk diberikannya kepada kerabat Leman yang tinggal di Minangkabau. Dalam hal ini, membawa oleh-oleh dari tempat perantauan menjadi hal penting dalam budaya Minangkabau untuk menunjukkan rasa hormat, kasih sayang, dan kepedulian terhadp anggota keluarga dan kerabat yang tinggal di kampung halaman. Hal ini menunjukkan bahwa mereka terus memikirkan orang-orang yang mereka tinggalkan di rumah, saat mereka berada di tempat perantauan.
ADVERTISEMENT
4. Budaya tempat tinggal setelah menikah
Mereka sepasang suami istri, sudah lebih setengah bulan tinggal di kampung, tetapi tidak leluasa di dalam pergaulan. Rumah kerabat Leman, didiami oleh kerabat-kerabatnya yang perempuan. mereka hidup dengan suami masing-masing di dalam bilik masing-masing. Rumah-rumah di Minangkabau tidak tersedia untuk saudara laki-laki yang hendak membawa istrinya tinggal di sana. Di mana Poniem hendak tinggal sementara? (Merantau ke Deli halaman 55)
Kalau Poniem orang Minangkabau, tentu dia naik ke atas rumahnya sendiri. Sekarang Poniem bukan orang Minangkabau, kaum kerabatnya tidak ada, tentu dia dibawa ke rumah kaum kerabat Leman. Padahal rumah itu telah terbagi untuk saudara-saudara dan kemenakan-kemenakan yang perempuan dengan suaminya masing-masing. Tidak adat dan bukan lembaga, seorang laki-laki membawa istrinya ke rumah saudara perempuannya. (Merantau Ke Deli halaman 55)
ADVERTISEMENT
Dalam novel Merantau ke Deli digambarkan bahwa Poniem yang merupakan perempuan jawa menikah dengan Leman yang memegang adat Minangkabau. Pada budaya Miangkabau, perempuan memiliki kedudukan yang sangat unik dalam tempat tinggal mereka setalah menikah dengan suaminya. Sistem kekerabatan matrilineal dalam budaya Minangkabau menyebabkan perempuan memiliki peran kuat dalam struktur sosial, juga termasuk dalam hal kepemilikan tanah dan rumah. Dalam tradisi Minangkabau, perempuan tidak meninggalkan rumah orangtuanya setelah menikah, melainkan suami yang akan pindah dan tinggal bersama kelaurga istri. Jika di dalam novel ini digambarkan Poneime bukan merupakan perempuan Minangkabau, membuat Poniem dan leman harus tinggal di rumah kerabat Leman, dikarenakan leman sudah tidak memiliki keluarga. Hal ini tentunya menjadi kekagagaln dalam pernikahan Poniem dan leman karena perbedaan budaya Jawa yang dipegang Poniem berbeda jauh dengan kebudaaayn Minangkabau yang dipegang Leman.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Misnal Munir. (2015). Sistem Kekerabatan Dalam Kebudayaan Minangkabau : Perspektif Aliran Filsafat Strukturalisme. Jurnal Filsafat, 25(No. 1), 1–31.