Konten dari Pengguna

Paternalisme Tokoh Ibu pada Anak Perempuannya dalam Novel Kejatuhan dan Hati

Novia Fitri Zahroh
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29 Juli 2024 9:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novia Fitri Zahroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar novel Kejatuhan dan Hati. (sumber gambar: pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Gambar novel Kejatuhan dan Hati. (sumber gambar: pribadi).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Novel Kejatuhan dan Hati merupakan karya sastra dari tangan sastawan wanita yaitu Siti Rukiah Kertapati, pada tahun 1950. Novel ini menghadirkan tentang kompleksitas persoalan generasi muda yang tidak semata soal atas melawan modernitas seperti yang sebelumnya banyak hadir dalam karya sastra sebelum perang. Penulis S. Rukiah menghadirkan gambaran didikan paternalisme tokoh ibu kepada tiga anaknya, yaitu Dina, Lina, dan Susi. Dengan watak ketiganya yang berbeda satu sama lain, membuat ketiganya mendapat didikan yang berbeda pula dari tokoh ibu. Hidup ketiga anak perempuan itu dibelenggu oleh sistem patriarki oleh tokoh ibu dengan adanya pergulatan generasi muda melawan nilai-nilai generasi tua yang sudah di tata menjadi nilai-nilai masyarakat yang secara tidak langsung membuat ketiganya terbelenggu oleh harapan dan mimpi yang ada.
ADVERTISEMENT
Didikan paternalisme menggambarkan gaya mengajar di mana orang tua mengambil peran otoriter dan melakukan kontrol penuh atas kehidupan anak-anak mereka, sehingga memberikan sedikit kesempatan bagi anak-anak untuk mandiri atau terlibat aktif dalam pendidikan mereka. Didikan ini didasarkan pada pemikiran bahwa orang tua mempunyai hak untuk mengontrol setiap aspek kehidupan anak-anaknya dan mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Tentunya hal ini dapat mendobrak hak generasi muda yang seharusnya masih mendapar arahan atau tanggung jawab dari orang tuanya, menjadikan keluarga sebagai wadah untuk mengembangkan karakternya secara mendasar. Cara orang tua dalam membesarkan anak-anaknya akan mempengaruhi bagaimana anak-anak tersebut akan berperilaku.
1. Didikan paternalisme pada anak pertama
Pada novel Kejatuhan dan Hati terdapat tokoh Dini, yang merupakan anak pertama dari tiga saudaranya yang lain. Dini memiliki sikap layaknya keras kepala seorang laki-laki, ia ceroboh, dan juga keras akan ambisinya terhadap cita-cita yang ia idam-idamkan. Ibu selalu menuntut agar Dini menjadi sosok perempuan biasanya, dengan penampilan yang cantik dan tutur laku yang lembut. Dengan harapan dapat memikat hati laki-laki, dan memiliki cita-cita memiliki suami yang kaya, dengan tujuan untuk membalas budi kebaikan ibunya dengan benda-benda yang dibeli oleh kekayaan yang ada.
ADVERTISEMENT
Tapi sifat-sifat yang demikiaan ini tidak ada pada Dini. Sebab itu ibu tidak menyenangi dia. Sering ibu marah-marah kepada Dini, karena melihat Dini terlalu keras hatinya, etrlalu ceroboh pakaiannya, dan sering pula ia mengejek Dini karena Dini tak menyerupaki perempuan gerak-gerakannya: Alangkah buruk tubuhnya, Dini. Cobalah engkau belajar tirakat jangan makan garam atau makan gula, supaya tubuhmu langsing seperti tubuh Lina. Begini sering-sering ibu berkata setengah mengejek dengan kerlingan benci kepada Dini. Dan Dini memalingkan mukanya ke pinggir dindig, entah malu, entah sakit, sedang di mtanya terkumpul cahaya dendam yang meudian turun di hati jadi mengeras seperti batu. (Kejatuhan dan Hati, halaman 5)
Adanya didikan paternalisme yang didapatkan Dini dari ibunya membuat dirinya menjadi perempuan sudah tidak mengharapkan kawin dengan seorang suami yang akan menyenangkan dirinya nanti. Dini tidak sanggup untuk menjadi layaknya perempuan biasanya yang bisa memikat hatidan menguasai laki-laki. Ia betekad untuk tidak memiliki cita-cita untuk kawin.
ADVERTISEMENT
Dini sudah lulus darisekolah lanjutannya. Tapi bulan itu dia keluar dari sekolahnya, bulan itu pula ia pamit kepada ibu dan ayah buat pergi dan bekerja di sebuah rumah sakit di Semarang, ikut dengan Dr. Wagio, seorang kenalan ayah. Kepergiannya ini kulepas dengan air mata. Aku akan kerja seumur hidupku, Sus. Begitu katanya. (Kejatuhan dan Hati, halaman11)
2. Didikan paternalisme pada anak kedua
Pada novel Kejatuhan dan Hati terdapat tokoh Lina, yang merupakan anak kedua dari tiga saudaranya yang lain. Ia memiliki paras yang cantik dan langsing, sesaui dengan konsepan perempuan harus seperti itu, kata ibunya. Lina memiliki sikap yang sombong dan juga galak dengan merasa paling dicintai dan disayangi oleh ibu yang berkuasa di rumah. Saat Lina lulus dari sekolah Rumah Tangga, banyak pemuda-pemuda yang sayang padanya, membuat ibu memaksa Lina untuk segera memilih pilihannya.
ADVERTISEMENT
Tapi Lina rupanya masih mau memilih; ketika kutanya, kepada siapa dia kasih, dia menggelang; Entahlah, tak ada seorang pun yang kukasihi, katanya. Tapi karema ibu menyuruh lekas-lekas memilih, aku akan mengambil Jono saja, karena dialah yang paling disenangi ibu. (Kejatuhan dan hati, halaman 11)
Lina ingin segera menyenangkan ibunya, supaya ibu akan teteap cinta kepadanya, dan telinga miliknya bisa dingin tidak bosan dan cape tiap hari meladeni sindiran ibunya. Setelah enam bulan proklamasi kemerdekaan, Lina kawin dengan ukuran benda dan ukuran unttuk menyenangkan ibu, bukan kawin dengan ukurran pertanggungan jawab kasih sayang. Tak lama kemudian, Lina pindah ke rumah barunya, dibawa Jono suaminya. Karena ia lemah dan gampang dipengaruhi, membuat Lina kacau pandangan hatinya terhadap suami, rumah tangga, kasih sayang, dan cita-cita.
ADVERTISEMENT
3. Didikan paternalisme pada anak ketiga
Pada novel Kejatuhan dan Hati terdapat tokoh Susi, yang merupakan anak ketiga dari tiga saudaranya yang lain. Tokoh ibu sayang benar pada anak ketiganya, tapi karennya sikap Susi yang pendiam, dan lembut membuat lama-lama sikap sayangnya ibu tak tampak keluar. Dalam pembagian tugas, Susi menyapu halaman belakang yang dekat kandang ayam dan memberi makan ayamnya sekali, serta menggosrek kamar mandi.
Saat usianya menginjak umur 20 tahun, Ibu sudah mulai menyuruh untuk mulai memikirkann menikah. Ibu sedang mendesak Susi untuk segera membuat putusan memilih Par, salah satu lelaki yang ibu senangi. Tapi menurut Susi, Par adalah sosok yang biasa dengan sedikit usang dalam memecahkan pikiran dan mempunyai pandangan hati tidak mendalam. Par juga tidak selembut Rustam. Tapi, Ibu kuat dengan ucapannya bahwa Par adalah sosok Lelaki yang baik, alim, ahli agama, dan ahli tirakat.
ADVERTISEMENT
Ada keputusan satu hari yang tak bisa lagi kusimpan di hati, dan keputusan itu kuucapkan pada ibu: Aku tak mau dikawinkan dengan Par begitu saja, sekalipun dulu aku sudah janji, bahwa aku mau meluluskan keinginan Ibu. Aku tidak punya kasih sayang buat Par. Jika aku paksakan, aku takut, kalau-kalau hidupku seoerti Lina dan sperti ibu tidak punya kepaduan rasa itu. kembalikan saja segala uang dan benda-benda yang sudah ibu simpan itu. jika ibu malu punya anak seperti aku aku sudah tua tak kawin-kawin, biar aku pergi dari sini seperti Dini. (Pertemuan dan Hati, halaman 19).