Adanya Standar Kecantikan Membuat Perempuan Indonesia Kehilangan Jati Diri

Novia Herawati
Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Konten dari Pengguna
11 Januari 2022 14:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novia Herawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi standar kecantikan, dok: shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi standar kecantikan, dok: shutterstock
ADVERTISEMENT
Sadarkah kamu bahwa ketika mencari kata kunci “cantik” di berbagai media sosial dan berbagai situs pencarian, hasil yang akan didapat memiliki kesamaan. Ya, kita akan mendapatkan hasil gambar yang memperlihatkan perempuan tinggi, berkulit putih, hidung mancung, pipi tirus, dan body goals. Masyarakat pun membenarkan hasil tersebut. Persepsi itu terjadi akibat adanya sebuah acuan yang biasa disebut “standar kecantikan”.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan adalah sebuah konstruksi sosial. Konstruksi sosial merupakan sebuah pandangan kepada kita bahwa semua nilai, ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia. Menurut Berger dan Luckman, asumsi dasarnya, realitas adalah konstruksi sosial (Ngangi, 2011). Standar kecantikan dianggap sebagai standar atau acuan bagi perempuan agar bisa dianggap cantik. Menurut Bungin (2008: 221) bahwa kecantikan direpresentasikan dalam rupa kulit whiteness (menjadi putih), rambut hitam, tebal dan lurus, bertubuh slim, memiliki kesegaran tubuh, adanya kebersihan, kemewahan, keanggunan dan berparas menawan (Windasari et al., 2017).
Konstruksi akan standar kecantikan makin diperkuat dengan keterlibatan media. Media sebagai alat kontrol dapat memperkuat konstruksi standar kecantikan menjadi hal yang lumrah dan dianggap benar oleh masyarakat. Media merepresentasikannya dengan senantiasa menampilkan model yang sesuai kriteria standar kecantikan. Tentu saja media menyebarkan konstruksi ini bukan tanpa alasan, mengingat media sudah bukan menjadi institusi yang netral. Media dikontrol oleh pemilik kepentingan akan hal tersebut. Ditambah lagi keberpihakan media yang tentu saja menguntungkan bagi para kaum kapitalis.
ADVERTISEMENT
Dengan campur tangan media, membuat standar kecantikan merupakan hal yang benar dan menimbulkan obsesi pada diri masyarakat terutama perempuan. Mereka menjadi terobsesi untuk tampil cantik seperti yang diharapkan masyarakat dan yang ditampilkan di media, baik itu media elektronik, new media, maupun media sosial. Bahkan, standar kecantikan yang begitu sempurna seringkali menjadikan perempuan yang sesuai standar sebagai tipe ideal bagi kaum pria. Adanya ajang kontes kecantikan makin membuat perempuan tidak percaya diri dan tidak puas dengan apa yang dimilikinya.
Padahal, konsep cantik dan standar kecantikan di tiap negara itu berbeda dan terus mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Di romawi, perempuan zaman dahulu dianggap cantik ketika memiliki tubuh yang besar. Berbeda dengan di China, perempuan dianggap cantik apabila memiliki ukuran kaki yang kecil. Masyarakat suku Kayan, Thailand juga memiliki standar kecantikan yang berbeda, perempuan dianggap cantik ketika memiliki leher yang panjang, sehingga di sana terdapat tradisi pasang kumparan besi pada leher perempuan sejak umur 5 tahun (Sari, 2019).
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, obsesi perempuan agar dapat tampil sesuai dengan standar kecantikan bukan hanya untuk memikat lawan jenis saja. Melainkan mendapat pengakuan dari masyarakat bahwa dirinya 'cantik'. Dengan adanya media sosial yang menjadi ruang bebas dalam berekspresi berubah menjadi ajang pamer bagi semua orang tidak terkecuali para perempuan. Maka dari itu, sering ditemukan akun-akun media sosial berisikan kumpulan perempuan cantik, seperti akun instagram @ugm.cantik, @cantik.its, dan akun-akun berisi kumpulan perempuan cantik lainnya. Pengakuan orang lain dan haus pujian akan kata “cantik” membuat mereka rela melakukan perawatan dengan biaya mahal, make up berjam-jam, memanfaatkan filter beauty, hingga melakukan operasi agar bisa posting tampil cantik di media sosialnya. Fenomena tersebut sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh Foucault (1990) bahwa keberadaan tubuh diproduksi oleh wacana (Sari, 2019).
ADVERTISEMENT
Dunia memang kejam. Perempuan harus siap menerima risiko ketika tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ada. Mulai dari dicaci maki, direndahkan, dikucilkan, dibanding-bandingkan, hingga dipandang berbeda dan sebelah mata. Film Indonesia seperti Imperfect pun turut menggambarkan tentang fenomena atas konstruksi standar kecantikan ini. Rara sebagai pemeran utama yang memiliki kulit hitam dan berbadan besar selalu menjadi objek cacian terutama mengenai tubuhnya (body shaming). Bahkan, rara hampir tidak bisa naik jabatan karena penampilannya yang tidak 'good looking' dan dibandingkan oleh bosnya dengan Marsha, rekan kerja rara (Khotimah et al., 2021). Bosnya rara kemudian berkata “isi kepala saja tidak cukup, penampilan juga penting”.
Akibatnya dari sebuah standar akan kecantikan yang dibenarkan oleh media, membuat perempuan menjadi kehilangan jati dirinya. Perempuan tidak diberi kebebasan bagi dirinya karena tuntutan sosial, stereotip, serta risiko yang akan diterima bila tidak sesuai standar yang ada. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bahwa tubuh sudah mengalami fakta sosial di mana tubuh bukan lagi sepenuhnya milik seorang individu tetapi tubuh sudah menjadi bagian dari kelompok masyarakat (Sari, 2019).
ADVERTISEMENT
Semua fenomena-fenomena di atas terjadi akibat adanya konstruksi atas standar kecantikan yang dibenarkan oleh media. Tanpa disadari, konstruksi ini merupakan problematika yang begitu kompleks. Patokan kecantikan yang diidam-idamkan oleh mayoritas perempuan ini nyatanya memberi dampak yang luar biasa. Bahkan, membayangkannya saja sudah mengerikan!