Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Etika Budaya Jepang “Wa” / 和 (Harmoni) dalam Kehidupan Bermasyarakat
18 Juni 2021 12:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Novita Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya kita sebagai individu di dalam masyarakat dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya. Meskipun saat ini kita hidup dan menghabiskan waktu dalam dunia digital, hal ini tentu saja bukan hanya sekadar “menyesuaikan diri” lagi tetapi lebih “memperhatikan diri” untuk lebih sadar dan menghargai adanya keberadaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, teknologi digital tidak lagi hanya membicarakan tentang dampak positif dan negatif saja yang perlu diketahui, tetapi juga tanggung jawab kita dalam menggunakannya, tidak terkecuali mengenai etika. Baik berkomunikasi di dunia nyata ataupun dunia digital dengan orang lain, tetap saja kita juga harus memperhatikan apa yang akan kita katakan.
Pentingnya kesadaran kita dalam mengendalikan diri dalam berkomunikasi menjadi kunci dasar agar tidak menimbulkan gesekan dengan orang lain yang berawal dari tidak adanya sikap menghargai satu sama lain. Sikap yang menjadi budaya negatif inilah yang akhirnya memunculkan adanya ujaran kebencian (hate speech) hingga mengganggu keharmonisan dalam masyarakat. Sejalan dengan Filsuf dan ahli psikolog Jerman mengatakan “Man’s biological weakness is the condition of human culture” artinya kelemahan biologis manusia adalah kondisi dari budaya manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan alasan tersebut, etika menjadi karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap generasi muda untuk menguatkan pondasi bangsa. Pembentukan karakter inilah yang menjadi tugas pendidikan di Indonesia, salah satunya Pendidikan Generasi Muda (PGM) di mana mungkin kita masih terasa asing karena memang hal yang baru saja kita dengar.
Perlu kita ketahui bahwa Pendidikan Generasi Muda merupakan pendidikan karakter yang diberikan kepada mereka sebagai generasi muda yang termasuk dalam usia produktif dari umur 15-35 tahun. Pendidikan Generasi Muda (PGM) membuktikan bahwa kita sebagai generasi muda yang memasuki usia dewasa juga masih membutuhkan pendidikan karakter yang tidak hanya berhenti pada usia anak sekolah pada umumnya.
Perbedaan mendasar dalam Pendidikan Generasi Muda (PGM) tidak hanya mengadopsi dan mempelajari nilai-nilai positif dari masyarakat lokal yang ada di Indonesia tetapi juga negara-negara lain. Salah satunya adalah negara Jepang yang dikenal oleh banyak orang di dunia sebagai negara yang memiliki karakter yang kuat.
Jepang atau yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai “negeri sakura” merupakan salah satu negara maju di kawasan Asia yang mampu bersaing dengan Korea Selatan dan China. Jepang terbukti mampu melahirkan perusahaan besar yang dikenal oleh dunia seperti Toyota, Sony, Fujifilm, dan Panasonic. Membicarakan Jepang tidak hanya pada kemajuan teknologinya saja, melainkan dikenal sebagai negara yang dinilai sukses menanamkan budaya mereka kepada para generasi mudanya untuk memiliki karakter yang tidak hanya pada kedisiplinan saja, tetapi juga kesopanan yang tinggi kepada orang lain. Tentu saja keunggulan masyarakatnya membuat Jepang dikenal dengan negara yang ramah dan memiliki etika yang membawa nama baiknya semakin positif di dunia Internasional.
ADVERTISEMENT
Etika kuat ini yang berasal dari penanaman karakter budaya sejak dini yang dilakukan di Jepang dengan mengajarkan para siswanya untuk memiliki rasa takut untuk melakukan sesuatu tindakan yang berbeda dari orang lain dan bersikap hati-hati untuk menghindari konflik satu sama lain. Kita tahu bahwa orang-orang di negara Jepang selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan individu.
Adanya istilah “wa” / (和) yang memiliki arti “harmoni” dalam karakter kanji Jepang yang berbeda dengan makna kanji yang digunakan di China. Istilah “wa” dalam budaya Jepang menjadi budaya yang sangat dipegang teguh oleh setiap orang di sana. Utamanya dijadikan kunci dasar kehidupan bagi masyarakat Jepang. Atas dasar inilah yang membuat budaya Jepang tidak mengizinkan kegagalan dalam bersikap atau bertindak pada masyarakatnya. Budaya Jepang “wa” masuk di semua aspek kehidupan sehari-hari termasuk dalam berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam berkomunikasi, pastinya kita akan melihat bagaimana masyarakat Jepang selalu memberikan prioritasnya kepada orang lain sehingga terlihat baik di depan umum. Ini bukti dari masyarakat Jepang yang berusaha tidak menyinggung perasaan orang lain melalui tindakan dan sikap. Budaya Jepang “wa” atau “harmoni” menjadi pengendali masyarakat untuk selalu menghormati dan menghargai satu sama lain.
Masyarakat Jepang memiliki sifat “honne” atau “perasaan dalam diri” dan sifat “tatemae” atau “perasaan menyesuaikan norma”. Adanya anggapan masyarakat Jepang memiliki sikap komunikasi yang kontradiktif, saat mereka berkomunikasi terlihat menyembunyikan perasaan mereka dengan mengutamakan perasaan orang lain untuk berusaha tidak menyinggungnya. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari budaya Jepang yang menanamkan rasa malu dan menghormati orang lain sejak kecil hingga dewasa.
ADVERTISEMENT
Seperti contohnya, saat kita mengundang atau meminta bantuan pada orang Jepang pastinya tidak akan bisa menolak permintaan kita. Mereka hampir tidak mau mengatakan kata “tidak”, baik itu saat “honne” atau perasaan mereka tidak senang, mereka akan langsung sadar dengan “tatemae” yang mereka miliki dengan menyembunyikan perasaan mereka untuk lebih menghargai orang lain. Tentu saja budaya Jepang “wa” mampu memberikan keseimbangan masyarakat Jepang untuk memegang teguh karakternya mewujudkan keharmonanisan dan kerukunan. Kita bisa menyadari bahwa menyembunyikan perasaan diri di depan umum memang sangat penting karena dengan begitu kita sadar adanya orang lain.
Menurut T. Morimoto yang ada di dalam bukunya yang berjudul “Nihongo omote to ura” yang mengenai kepura-puraan dan kebenaran dalam Bahasa Jepang menjelaskan bahwa masyarakat Jepang selalu menganggap keterusterangan merupakan bentuk ketidaksopanan. Tentunya ini menandakan adanya upaya menutupi keinginan dengan sopan untuk berhati-hati tidak menyinggung orang lain.
ADVERTISEMENT
Menghubungkannya dengan dunia digital sekarang ini yang sering dipertanyakan mengenai etikanya harusnya membuat kita sadar akan tanggung jawab kita untuk tetap menghargai keberadaan orang lain. Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya dikenal dengan budaya timurnya harus bisa mencontoh bagaimana Jepang yang lingkupnya masih di Asia masih kuat memegang budayanya. Jawaharlal Nehru sebagai negarawan India mengatakan budaya yang dimiliki akan memperluas pikiran dan semangat kita. Tentunya dukungan budaya Jepang ini menjadi contoh untuk menguatkan pondasi kita khususnya generasi muda dalam menghadapi gelombang budaya lainnya.