Kenapa Manusia Punya 2 Mata, 2 Telinga, dan 1 Mulut?

Novita Tandry
Psikolog Anak dan Remaja, NTO Nurture Teach Observe, Childcare and Early Education
Konten dari Pengguna
2 Juli 2020 6:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novita Tandry tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendekatkan orang tua dan anak Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Mendekatkan orang tua dan anak Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kata Om Epictetus, the Greek Stoic philosopher, yang pertama perkenalkan "We have two ears and one mouth so that we can listen twice as much as we speak".
ADVERTISEMENT
Kira-kira mungkin seperti ini artinya... kita diciptakan untuk melihat dan mendengar lebih banyak dua kali lipat dalam hidup kita daripada berbicara. Terkadang memang kita lebih suka didengar dan dilihat daripada mendengar, makanya 25 tahun terakhir ini banyak sekali bermunculan orang yang menyebut dirinya sebagai: Motivator, Inspirator, Influencer, Pelatih, Coach, dan sebagainya. Modal public speaking, kursus seminggu untuk berbicara supaya bisa tampil memengaruhi orang lain dengan intonasi yang tepat, ekspresi wajah, gestur tubuh yang pas, dan membuat mereka kelihatannya mirip karena datang dari sumber tempat kursus yang sama.
Saya tidak katakan bahwa anak tidak usah dibawa ke kursus-kursus tersebut atau itu salah tapi sebaiknya dilakukan setelah anak-anak dan remaja sudah cukup mendengar, melihat dengan contoh teladan yang ada di rumah sehingga rasa percaya diri datang dari dalam diri, bukan dari hasil polesan kursus yang dibayar mahal karena orang tua ingin anaknya cepat jadi tanpa perlu harus repot.
ADVERTISEMENT
Karena para motivator, coach, influencer, pelatih, atau apa pun namanya juga belum tentu mampu memotivasi, memengaruhi, dan melatih dirinya sendiri apalagi keluarga dan anak-anaknya seperti yang dipromosikan selama ini, terkadang mereka pun butuh bantuan Psikolog dan Psikiater karena tidak mampu menyelesaikan masalah hidupnya.
Polesan luar boleh seperti terlihat pede dan fasih lidah dengan kalimat-kalimat fantastis secara persuasif tetapi kosong dan rapuh di otak dan hatinya karena semua hanya hafalan untuk sekadar tampil demi terlihat keren.
Kecemasan, depresi, percobaan bunuh diri, pengendalian amarah, kesulitan fokus, kehilangan ketertarikan akan sesuatu yang disukai dan ditekuni selama ini mewarnai ruang konseling saya selama 4 bulan masa pandemi ini. Orang tua tidak mengenal anaknya, anak tidak mengenal orang tuanya menjadi seperti lingkaran setan dan membuat frustrasi kedua pihak.
ADVERTISEMENT
Orang tua lupa bahwa Parenting is Shifting! Mereka tidak mengenal cara berpikir anak Grown Up Digital ini, masih pakai cara lama bagaimana mereka dibesarkan. Hasilnya? Rumah seperti kuburan atau neraka. Sepi karena semua ada di kamar atau neraka karena terus bertengkar bahkan berkelahi tanpa habisnya seperti drakor.
Saya sedih dan miris, hidup ini perjuangan, tidak ada jalan instant, apabila jiwa dan mental, semua ada prosesnya yah. Saya akan bicara dalam seminar besok dan bulan Juli nanti tentang Parenting is Shifting. Bagaimana teknologi menggantikan peran orang tua. Semoga bisa bermanfaat yah untuk para orang tua dan guru untuk mengenal cara berpikir anak2 digital ini, karena cara otak mereka berpikir juga berubah!
ADVERTISEMENT
Nantikan yaah...
Happy Parenting!
The hardest job you will ever love ❤️
Novita Tandry
Psikolog Anak & Remaja
NTO Nurture Teach Observe
Childcare and Early Education