Konten dari Pengguna

Belajar Kejujuran dari Negeri Ginseng

Noviyanti Nurmala
PNS Kemlu yang hobi masak dan berwisata
23 Februari 2018 12:36 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviyanti Nurmala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gyeongbokgung Palace, Korea Selatan (Foto: AFP/KIM JAE-HWAN)
zoom-in-whitePerbesar
Gyeongbokgung Palace, Korea Selatan (Foto: AFP/KIM JAE-HWAN)
ADVERTISEMENT
Drama Korea (drakor) ataupun Korean Pop sudah pasti bukan hal yang asing bagi publik Indonesia. Begitu juga dengan saya. Sejak pertama kali menonton drama Korea (drakor) di TV pada tahun 2000, saya sudah mulai jatuh hati dengan negara gingseng ini.
ADVERTISEMENT
Saya ingat betapa drama berjudul “Hotelier” mencuri hati saya dengan pemandangan yang ciamik, kehidupan modern dan aktor yang rupawan. Saya pun sampai bergumam, “Kapan ya bisa berkunjung ke Korea Selatan?” Saat itu sebagai anak pensiunan PNS, impian saya ke luar negeri apalagi ke Korea masih sulit untuk diwujudkan.
Alhamdulillah 16 tahun kemudian keinginan ke negeri Samsung ini terwujud. Saya mendapatkan beasiswa S2 dari Korean International Cooperation Agency (KOICA) dari Agustus 2016-Desember 2017 di EWHA Womans University di Seoul, Korea Selatan. Sebelum berangkat ke Seoul, saya sempat ‘meneliti’ ibukota Korea Selatan ini.
Sebagai orang Indonesia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wanita berhijab merupakan pemandangan yang lumrah. Mengingat semakin meningkatnya islamophobia dan mayoritas penduduk Korea Selatan merupakan non-muslim, saya pun fokus mencari tahu kehidupan pelajar berhijab di sana.
ADVERTISEMENT
Dari hasil browsing di internet saya temukan beberapa cerita dari pelajar-pelajar muslim di Korea Selatan. Sebagian besar menceritakan kisah mereka dengan antusiasme tinggi dan merekomendasikan bagi siapapun termasuk yang berhijab untuk menimba ilmu di sana. Dari situlah saya semakin optimis untuk bersekolah di kampus EWHA.
Dan ternyata kehidupan sehari-hari selama tinggal 16 bulan di asrama mahasiswa S2 di kampus EWHA berjalan normal seperti di Indonesia, tak jauh beda dengan kisah pelajar muslim yang saya baca di internet.
Meskipun selalu menjadi satu-satunya siswi yang berhijab di kelas, para Profesor maupun teman kelas bersikap sewajarnya. Kalaupun ada yang bertanya langsung, hanyalah sebatas cara bagaimana memakai hijab dan trend hijab di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Begitu juga saat di luar kampus. Saya tidak pernah mengalami perlakuan diskriminasi dari orang Korea karena memakai hijab.
Tapi ada satu pengalaman selama tinggal di Seoul yang memberikan pelajaran hidup dan selalu membekas di hati saya yakni kejujuran orang Korea.
Dari kecil saya ditanamkan pentingnya prinsip jujur kepada orang lain. “Jangan pernah mengambil barang milik orang lain," begitu wejangan almarhumah Ibu saya. Dari pengamatan saya selama di Seoul, orang Korea benar-benar menerapkan prinsip jujur tersebut. Baik dalam lingkungan akademisi maupun masyarakat awam.
Jujur dalam studi
Pemerintah Korea Selatan terkenal dengan pendidikan yang berkualitas tinggi. Salah satu aspek yang mendukung adalah peraturan yang mewajibkan semua karya ilmiah atau makalah para mahasiswa untuk diunggah pada aplikasi Turnitin.
ADVERTISEMENT
Aplikasi ini merupakan aplikasi online yang dapat menghasilkan penilaian presentase kemiripan sebuah makalah atau karya ilmiah mahasiswa dengan paper atau karya ilmiah yang pernah di- ke Turnitin.
Menurut peraturan tersebut, para mahasiswa baru dapat menyerahkan tugas makalah atau karya ilmiah mereka apabila presentase Turnitin mereka hanya berkisar 10-15 persen, tergantung kebijakan para profesor.
Dengan maraknya kasus penjiplakan yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini, menurut pandangan saya peraturan Korea Selatan tersebut dapat ditiru guna mengajarkan para mahasiswa untuk belajar jujur dalam membuat karya ilmiah.
Belajar Kejujuran dari Negeri Ginseng (1)
zoom-in-whitePerbesar
Jujur dalam Bermasyarakat
Di sisi lain, dalam kehidupan bermasyarakat orang Korea saya pun belajar jujur. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya terbiasa untuk berhati-hati dan waspada dengan barang saya mengingat banyaknya ancaman copet dan penjambret. Saat naik bus atau angkutan umum, tas selalu ditaruh di depan. Begitu juga kalau pakai tas ransel. Semua harus dijaga karena jika lengah, barang kita bisa berpindah tangan.
ADVERTISEMENT
Pada satu ketika saya pertama kali mencoba naik kereta bawah tanah (subway). Seperti orang Jakarta pada umumnya, saya pakai tas ransel di depan. Beberapa penumpang Korea dengan santainya memakai tas ransel mereka di belakang. Bahkan beberapa diantara mereka membiarkan resleting tas terbuka.
Pemandangan tersebut tersebut sejalan dengan reputasi Korea Selatan sebagai negara dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Tidak hanya di transportasi umum, barang-barang pun aman di tempat publik seperti kafe, restoran maupun rumah sakit.
Saya pernah ketinggalan handphone di toilet tapi sejam kemudian saat kembali ke sana, handphone saya masih ada. Coba bayangkan kalau kejadian itu di Jakarta, pastilah hilang dalam lima menit. Di Jakarta, jangankan handphone, motor yang diparkir di depan rumah pun bisa lenyap dalam seketika.
Korea Selatan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Korea Selatan. (Foto: Pixabay)
Dari pengalaman-pengalaman itulah saya belajar kejujuran dari masyarakat Korea Selatan. Jadi bukan hanya drakor atau K-Pop yang terbersit di benak saya jika mendengar nama Korea Selatan. Ada yang lebih penting yakni kejujuran.
ADVERTISEMENT
Saya berdoa semoga masyarakat Indonesia dapat belajar kejujuran masyarakat Korea tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada kata terlambat!