Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menelusuri Sejarah Hitam Wanita Korea Selatan di House of Sharing
25 Maret 2018 19:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Noviyanti Nurmala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Patung lima orang halmoni (wanita Korea yang dipaksa menjadi wanita penghibur di masa penjajahan Jepang) dan patung seorang gadis kecil Korea sebagai simbol perjuangan (Sumber: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Di balik kesuksesan Korea Selatan sebagai salah satu negara maju dan modern di dunia, tersimpan satu penggalan sejarah hitam yang masih jelas terpatri di ingatan masyarakatnya. Seperti halnya Indonesia, Korea Selatan pernah mengalami masa-masa pahit dibawah penjajahan bangsa asing yakni Jepang. Di bawah rezim militer Jepang, banyak wanita Korea Selatan dipaksa menjadi wanita penghibur tentara Jepang (comfort women).
Tak banyak yang tahu jika sejarah kelam masa tersebut dapat ditelusuri di suatu kompleks bernama House of Sharing yang terletak di Gwangju, provinsi Gyeonggi (sekitar 50,6 km dari Seoul). Dikelilingi oleh lingkungan yang asri, tempat ini menjadi pusat penyimpanan dokumentasi sekaligus rumah bagi para wanita Korea Selatan yang menjadi korban sebagai wanita penghibur di masa penjajahan Jepang.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya House of Sharing didirikan di Seoul di bulan Juni 1992 sebagai panti werdha bagi para korban wanita dengan dana yang dikumpulkan oleh organisasi Buddha dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Kemudian pada tahun 1998 House of Sharing dipindahkan ke Gwangju untuk menempati bangunan yang baru, lebih luas dan modern. Tak hanya itu, Museum Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (Museum of Sexual Slavery by Japanese Military) juga dibangun sebagai edukasi sejarah bagi masyarakat umum.
Mayoritas pengunjung House of Sharing adalah murid, mahasiswa serta wisatawan lokal. Jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi tempat ini pun cukup banyak dan umumnya datang secara berkelompok. Khusus pada waktu-waktu tertentu, pengunjung berkesempatan untuk dapat langsung mendengar kesaksian dari beberapa korban yang tinggal di dalam kompleks tersebut sebagai bentuk penghormatan. Para korban yang masih hidup di usia senja disebut dengan istilah halmoni yang berarti nenek dalam bahasa Korea.
ADVERTISEMENT
Bagi para wisatawan mancanegara yang ingin memahami kisah para halmoni yang dituturkan dalam Bahasa Korea, House of Sharing menyediakan jasa penerjemah sekaligus pemandu secara cuma-cuma dari para relawan asing yang berasal dari berbagai negara.
Penuh dengan Simbol
Tepat di tengah kompleks House of Sharing terdapat patung lima orang halmoni dan satu patung gadis kecil yang memakai baju tradisional Korea. Salah satu dari lima patung tersebut adalah Kim Hak-Soon, halmoni pertama yang bersaksi di depan publik atas kekejaman militer Jepang terhadap para wanita penghibur pada masa perang.
Saat memasuki pintu masuk Museum Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang, pengunjung akan disambut dengan sebuah hiasan dinding berukuran besar yang cukup mencolok. Pada hiasan tersebut, tampak seorang wanita dengan dada dan kepala yang ditusuk bayonet dari berbagai arah. Hal ini menggambarkan kondisi memilukan wanita Korea setelah dibawa ke stasiun penghiburan tentara (comfort station) di kamp militer Jepang.
ADVERTISEMENT
Persis di seberangnya yakni di dinding pintu keluar museum, pengunjung akan melihat hiasan dinding dengan kondisi yang berbeda 180 derajat. Ilustrasinya adalah seorang wanita Korea sebelum dibawa ke comfort station. Wajahnya terlihat anggun dan dikelilingi oleh simbol-simbol yang melambangkan pasangan, keluarga, anak-anak dan kehidupan yang damai. Dari kedua hiasan tersebut, pengunjung dapat merasakan betapa besarnya peranan comfort station terhadap penderitaan wanita Korea Selatan di masa itu.
Hiasan dinding yang dipajang di pintu masuk dan pintu keluar Museum Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (Sumber: Dok. Pribadi)
Mayoritas Wanita Korea
Di bagian dalam, museum terbagi atas dua lantai dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Di lantai dua pengunjung akan melihat jejeran foto-foto para korban, berbagai dokumentasi dan barang-barang otentik yang melukiskan kisah pilu yang dialami oleh para wanita penghibur. Sebagian besar keterangan tertulis mengenai barang-barang tersebut tersedia dalam bahasa Korea, bahasa Inggris, dan bahasa Jepang.
ADVERTISEMENT
Salah satu dokumentasi yang menarik perhatian di lantai ini adalah peta lokasi comfort station di seluruh Asia. Menurut keterangan di peta tersebut, diperkirakan lebih dari 200.000 wanita Asia dari China, Korea, Indonesia, Filipina dan Taiwan dipaksa melakukan perbudakan seksual oleh rezim militer Jepang. Sebagian besar dari jumlah tersebut yaitu sekitar 80% merupakan wanita Korea.
Salah satu dokumentasi foto yang menampilkan wanita asal Korea sebagai wanita penghibur tentara Jepang di perbatasan China dan Myanmar (Sumber: Dok. Pribadi)
Ruang Kecil dan Gelap Sebagai Saksi Bisu
Di lantai bawah, pengunjung akan menyusuri lorong berukuran kecil yang dipenuhi dengan bingkai foto-foto lokasi comfort station di berbagai negara. Setiap wanita yang dibujuk maupun yang dibawa paksa ke tempat itu akan menjalani serangkaian pemeriksaan medis. Fungsi dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah wanita tersebut perawan atau memiliki penyakit.
ADVERTISEMENT
Setelah pemeriksaan medis, para wanita tersebut akan dikirim ke kantor militer Jepang. Identitas mereka berubah ketika diberi nama bunga Jepang oleh orang pertama yang memperkosanya. Nama-nama wanita tersebut ditulis di balok kayu dan digantung di kamar-kamar yang ada di comfort station seperti layaknya menu di rumah makan Jepang.
Untuk dapat merasakan kondisi suram comfort station pada masa itu, pengunjung dapat masuk ke satu ruangan yang dibuat sebagai replika. Pada ruangan kecil dan gelap ini, para korban wanita penghibur yang kebanyakan berusia remaja dipaksa untuk melayani tentara Jepang. Mereka diperkosa oleh 20 hingga 40 tentara setiap harinya. Bahkan sebagian besar dari wanita ini harus mengalami kondisi memilukan tersebut sampai tujuh tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Karya Seni Sebagai Alat Terapi
Di bagian akhir museum terdapat galeri kecil yang memajang beragam lukisan yang dibuat oleh para halmoni selama bertahun-tahun. Karya seni ini berfungsi sebagai alat terapi untuk menyalurkan emosi dan rasa trauma para halmoni yang sekian lama hidup menderita di comfort station. Pada setiap lukisan yang dipajang, tampak jelas guratan kesedihan mendalam di setiap goresan warna. Tak mengherankan jika hasil karya seni mereka juga dipamerkan di sejumlah galeri seni di berbagai negara dan mendapatkan apresiasi tinggi dari para kritikus seni.
Hingga saat ini Pemerintah Jepang masih belum mengakui secara resmi atas kejahatan yang dilakukan oleh aparat militernya kepada para halmoni dan wanita Asia lainnya di masa penjajahan dulu. Meski demikian, terlepas dari aspek politik, keberadaan House of Sharing dan Museum Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang ini sangat penting sebagai pembelajaran bagi generasi masa depan. Seperti semboyan terkenal yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (jas merah)”.
ADVERTISEMENT