Konten dari Pengguna

Kesetaraan Gender dalam Novel "Belenggu" Karya Armijn Pane

Noviyanti Urfah
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Jakarta.
10 Desember 2021 13:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noviyanti Urfah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. “Belenggu” hal. 16
Novel "Belenggu" karya Armijn Pane yang dipotret dengan kamera HP.
zoom-in-whitePerbesar
Novel "Belenggu" karya Armijn Pane yang dipotret dengan kamera HP.
kutipan di atas sering dijumpai hingga masa kini. Laki-laki menganggap bahwa urusan rumah tangga adalah hak istri, hal ini membuat laki-laki “ogah” memegang sapu. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan?
ADVERTISEMENT
Kita mulai pada pengertian gender terlebih dahulu. Kata “gender” merujuk pada segala bentuk peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, yang dijelaskan juga dalam Jurnal Komunikasi Massa yang ditulis oleh Tanti Hermawati berjudul “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”, dituliskan bahwa gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut. Gender ini dibentuk dari keadaan sosial, kebudayaan, dan adat istiadat. Setiap peran laki-laki maupun perempuan akan berbeda di setiap budaya maupun adat istiadat yang berlaku. Hal ini dijelaskan juga oleh Sugeng Satoto dalam artikel “Konsep Gender”, gender merupakan pengertian yang dibentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan, adat istiadat, dan perilaku sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perbedaan gender sebenarnya bukan masalah selama semua itu berjalan dengan adil. Namun, sistem patriarki yang mengakar pada budaya di Indonesia mengakibatkan adanya laki-laki yang bersifat superior dan perempuan yang bersifat inferior.
Novel “Belenggu” karya Armijn Pane, ditulis pada tahun 1940 membahas tentang kehidupan rumah tangga. Yang mana saat itu pemahaman masyarakatnya ialah perempuan hanya bertugas menuruti keinginan suami dan tidak boleh keluar rumah tanpa suami. Maka jika ada perempuan yang melanggar aturan tersebut, ia akan disebut sebagai perempuan yang tidak patuh dan tidak baik untuk dijadikan istri.
Tokoh utamanya yaitu Sukartono (Tono) yang berprofesi sebagai dokter, Sukartini (Tini), istri dari Sukartono, dan Siti Rohayah (Yah) teman masa kecil Tono dan hadir sebagai orang ketiga dalam rumah tangga Tono dan Tini. Ketiga tokoh terjebak dengan konstruk pikirannya masing-masing sehingga terbelenggu dan tidak dapat bergerak bebas.
ADVERTISEMENT
Tono sehari-hari bekerja sebagai seorang dokter—pekerjaan yang sangat disegani oleh masyarakat. Tono dengan kesibukannya sebagai seorang dokter, menjadikan dirinya sibuk di luar rumah dan lupa dengan kewajibannya untuk menyenangkan istrinya. Berdasarkan kutipan dalam novel “Belenggu” berikut:
Seperti biasa, setibanya di rumah lagi, dokter Sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, di bawah tempat telepon.
Narasi tersebut menunjukkan bahwa Tono sangat fokus dengan pekerjaannya sampai-sampai tidak ada waktu untuk keluarga. Sikap Tono tersebut membuat Tini memilih untuk aktif dalam kongres perempuan dan sibuk di luar rumah. Tokoh Tono yang memiliki pemikiran yang kolot, menilai bahwa perempuan tidak sepatutnya berada di luar rumah, tugas perempuan itu cukup melayani anak dan suami di dalam rumah, contohnya melepaskan sepatu ketika suaminya pulang.
ADVERTISEMENT
Perempuan sekarang hendak sama haknya dengan kaum laki-laki. Apa yang hendak disamakan. Hak perempuan ialah mengurus anak suaminya, mengurus rumah tangga. Perempuan sekarang cuma meminta hak saja pandai.
Kalau suaminya pulang kerja, benar dia suka menyambutnya, tetapi ia lupa mengajak suaminya duduk, biar ditanggalkannya sepatunya. Tak tahukah perempuan sekarang, kalau dia bersimpuh dihadapan suaminya akan menanggalkan sepatunya, bukankah itu tanda kasih, tanda setia? Apa lagi hak perempuan lain dari memberi hati pada laki-laki? Hal. 16
Mari kita bahas pernyataan yang diungkapkan oleh Tono dalam novel tersebut. Tono sebagai seorang suami menginginkan istri yang patuh dan melayani dirinya dengan baik. Ia menganggap bahwa itulah hak atau tugas seorang istri yang seharusnya dilakukan, bukan malah meminta disamakan dan sibuk di luar rumah. Ia menganggap bahwa semakin tunduk seorang istri, itu menandakan rasa cinta, kasih, dan bukti kesetiaan seorang istri.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan gender tergambarkan pada kutipan di atas, bahwa perempuan tidak berhak untuk setara dengan laki-laki. Sikap tersebut diakibatkan karena adanya adat istiadat setempat yang menganggap bahwa perempuan hanya berurusan pada kasur, sumur, dapur, dan segala hal yang menyangkut urusan rumah. Sebetulnya adat tersebut dapat dikatakan baik, namun jika menimbulkan sikap “ogah angkat sapu” pada kaum lelaki dan larangan perempuan untuk keluar rumah tentu akan menjadi masalah.
Membangun rumah tangga bukan soal pembagian tugas, tetapi soal bagaimana menciptakan keadilan dan kenyamanan di dalam rumah. Rasa adil dan nyaman ini sudah hilang dalam rumah tangga Tono dan Tini. Adanya jarak antara Tono dengan Tini membuat keduanya gagal memahami perasaan satu sama lain. Kesenjangan antara keduanya menyebabkan masuknya orang ketiga dalam hubungan rumah tangga. Siti Rohayah (Yah) masuk ke dalam kehidupan Tono dan berusaha membuat Tono nyaman dengannya. Yah melakukan hal-hal yang diinginkan oleh Tono, seperti melepaskan sepatu, mendengarkan Tono berbicara, patuh, dan segala hal yang membuat Tono senang. Maka cara itu berhasil membuat Tono berpaling dari istrinya.
ADVERTISEMENT
Dipandangnya muka Nyonya Eni yang membungkuk dihadapannya memegang anak korek api menyala.
“Dokter, tidakah panas hari ini? bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?”
Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.
Sikap-sikap seperti itulah yang diinginkan oleh Tono sebagai seorang lelaki. Dalam novel ini dijelaskan bahwa Tono merasa cita-citanya telah tercapai dan hatinya merasa dipelihara dengan baik. Ia merasa senang dan puas.
Jika kita lihat dari perilaku Yah yang berusaha masuk ke dalam kehidupan Tono dengan menuruti keinginan Tono menunjukkan bahwa Yah merupakan perempuan yang mengonstruksikan pikirannnya seperti adat istiadat yang sedang terjadi. Lain halnya dengan Tini yang berpikiran modern dan tidak mau hanya tunduk kepada kemauan lelaki. Hal ini membuktikan peran gender bukan perihal laki-laki harus bertugas “A” dan perempuan harus bertugas “B”, tetapi peran ini betul-betul dijalankan atas dasar konsep mau dan bersedia. Bukan tuntutan tapi kesenangan yang ingin dijalankan.
ADVERTISEMENT
Penulis pernah menyimak video dari kanal youtube seorang yogi dan mistikus asal India, Jaggi Vasudev atau dikenal dengan Sadhguru yang membahas tentang “How to Deal With a Lazy Family”. Sadhguru mengatakan bahwa pekerjaan wanita bukan membersihkan rumah, tetapi karena wanita suka dengan kebersihan, maka ia membersihkan semuanya. Sedangkan pria tidak keberatan akan hal itu. Maka penulis berpikir mengapa budaya mendorong untuk perempuan berada di dapur dan laki-laki di luar rumah, itu dikarenakan umumnya wanita menyukai sesuatu yang indah, bersih, dan rapih, sedangkan kebanyakan lelaki tidak mempermasalahkan kondisi di sekitarnya, entah itu bersih atau tidak. Namun generalisasi tersebut mengakibatkan setiap wanita harus mampu bersih-bersih dan menjadi tugas pokok untuk mengurus rumah, sedangkan laki-laki tidak ada kewajiban akan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Inilah problem kesetaraan gender. Ada bias antara adat dengan kodrat.
Kembali pada novel, Tini merupakan contoh perempuan yang berpikiran modern dan suka dengan kegiatan sosial. Oleh karena kesukaannya itulah ia melanggar aturan yang membelenggu dirinya.
Dia akan diutus ke Kongres Perempuan seumumnya di Solo. Hal. 94
Untuk melepas belenggu pikirannya tentang perilaku Tono, Tini menerima tawaran untuk pergi ke luar kota. Menyemangati dirinya kembali dan tenggelam dengan kesibukan sosial.
Maka bukan menjadi penghalang bagi perempuan untuk aktif berkegiatan di luar rumah. Perempuan tidak hanya berurusan dengan pekerjaan domestik, tetapi juga bisa mengambil peran dalam kegiatan masyarakat, terjun ke dalam politik, bahkan bisa menjadi presiden.
Namun lagi-lagi hal ini banyak pertentangan, baik dari laki-laki maupun dari perempuan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Selalu saja menyindir dia, modern, gila-gila barat. Hal. 95
Ucapan itu diungkapkan oleh paman Tini, tetapi Tini tidak menghiraukan ucapan tersebut dan tetap fokus pada tujuannya.
Perempuan idealnya seperti itu, berani mengambil sikap, tidak mudah termakan omongan orang. Pikiran yang terbuka akan mudah menerima dan menyaring informasi yang didapat. Itulah bekal yang harus dimiliki oleh setiap orang, pikiran terbuka.
Haru biru yang selama ini dalam hatinya sudah hilang sama sekali.
Belenggu yang sebagai mengikat semangatnya sudah terlepas. Dihadapan mata semangatnya dengan terang memanjang jalan yang akan ditempuhnya. Hal. 136
Maka kesetaraan gender dapat diraih jika pikiran setiap orang terbuka menerima saran dan menangkap fenomena sosial yang terjadi. Di Zaman modern ini, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama, seimbang, dan adil. Perempuan bukan berarti lemah dan laki-laki tidak mesti terus menerus untuk kuat. Adakalanya perempuan mampu mengangkat galon dan laki-laki boleh menangis untuk mengungkapkan perasaannya. Inilah yang dinamakan kesetaraan gender. Semua berhak mendapat peran yang sama, menjalankan fungsi dengan seimbang, dan adil dalam menjalankan semua hal.
ADVERTISEMENT