Konten dari Pengguna

Ambang Batas Partai: Hambatan bagi Demokrasi di Indonesia

Nur sila
Saya adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta dari Program Studi Hukum Tata Negara
13 Mei 2025 19:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur sila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pekerja melakukan penyortiran surat suara untuk Pilpres 2024 di gedung logistik Pemilu 2024 KPU Kota Tangerang Selatan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/1/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan penyortiran surat suara untuk Pilpres 2024 di gedung logistik Pemilu 2024 KPU Kota Tangerang Selatan di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (11/1/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang kontestasi politik nasional, perdebatan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold kembali mengemuka. Kebijakan yang mewajibkan partai politik atau koalisi untuk memperoleh minimal 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional dalam pemilu legislatif ini, menurut sejumlah kalangan, dianggap sebagai penghalang bagi sistem demokrasi yang sehat.
ADVERTISEMENT
Awalnya, ambang batas ini dirancang untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan mencegah keretakan dalam sistem presidensial. Dengan membatasi jumlah calon presiden, diharapkan stabilitas pemerintahan dapat terjaga dan proses politik dapat berlangsung dengan lebih efisien.
Namun, kenyataannya, mekanisme ini justru mempersempit kesempatan bagi kontestasi politik. Hanya sejumlah partai besar yang mampu mencalonkan presiden, yang menyebabkan dominasi elit politik dan minimnya alternatif bagi para pemilih. “Threshold telah menghambat regenerasi kepemimpinan dan mempersempit pilihan yang tersedia bagi rakyat,” ungkap Prof. Susi Dwi Harijanti, pakar hukum tata negara, dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat (3/5).
Dampak lain yang mencolok adalah meningkatnya polarisasi politik. Ketika hanya ada dua kandidat utama yang bersaing, ruang publik sering kali terbelah antara dua kubu ekstrem. Polarisasi ini sering kali dimanfaatkan oleh elit politik untuk menggalang dukungan emosional, alih-alih membangun diskusi yang berbasis program.
ADVERTISEMENT
Rafiqa Sari, peneliti hukum tata negara, menambahkan bahwa sistem ambang batas ini juga cenderung mempersempit makna sejati demokrasi dengan melemahkan hak partisipasi warga negara. Ia menekankan bahwa di banyak negara demokratis dengan sistem presidensial, syarat ambang batas tidak seketat Indonesia.
Meski Mahkamah Konstitusi telah menerima beberapa permohonan uji materi terkait aturan ini, hingga saat ini belum terdapat perubahan signifikan. Para pengkritik berpendapat bahwa tanpa adanya perubahan pada mekanisme ambang batas, sistem demokrasi Indonesia berisiko terus didikte oleh kekuatan politik besar, sehingga mengabaikan suara-suara alternatif.
Reformasi terhadap aturan presidential threshold dianggap sangat mendesak, bukan hanya untuk kepentingan partai kecil, tetapi juga demi memastikan demokrasi di Indonesia benar-benar terbuka, representatif, dan bebas dari batasan yang tidak proporsional.
ADVERTISEMENT