Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pentingnya Data untuk Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan
8 Februari 2021 9:55 WIB
Tulisan dari Nufransa Wira Sakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan sistem self-assessment yang dianut dalam rezim perpajakan di Indonesia, maka warga negara yang sudah menjadi subyek pajak berkewajiban untuk mendaftar, menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya. Melalui sistem ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan kepercayaan yang besar kepada Wajib Pajak dalam melakukan kewajibannya. Tentu saja hal ini juga disebabkan jumlah populasi penduduk Indonesia yang sangat besar, sehingga tidak memungkinkan bagi petugas pajak yang jumlahnya sekitar 45 ribu untuk mengawasi semua penduduk yang jumlahnya saat ini mencapai kurang lebih 270 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Dalam pelaksanaannya, semua kewajiban yang disampaikan oleh Wajib Pajak akan dianggap benar sampai DJP menemukan adanya data atau informasi yang menyatakan bahwa tersebut tidak benar. Data ini dapat dikumpulkan dari mana saja. Tentang pengumpulan data ini diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) dalam Pasal 35A yang disebutkan bahwa setiap Instansi pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain (ILAP), wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP, dan apabila tidak mencukupi, DJP berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara. Ketentuan dalam UU KUP ini kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Melalui regulasi tersebut, Kementerian Keuangan khususnya DJP mendapatkan data dari berbagai pihak misalnya seperti data kependudukan (Kemendagri), data kendaraan bermotor (Polri), data ekspor impor (Ditjen Bea Cukai) dan lain-lain. Semua data dari ILAP inilah yag nantinya digunakan untuk memvalidasi kebenaran data yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari pengalaman negara lain dalam pengumpulan data, terdapat data yang cukup penting dan dapat dimanfaatkan oleh DJP. Data tersebut adalah data transaksi pembayaran. Penggunaan data ini sudah dilaksanakan oleh IRS (Internal Revenue Service) yang merupakan otoritas perpajakan di negara Amerika Serikat. Melalui aturan IRS dengan Code Section 6050W penyelenggara jasa pembayaran (payment settlement entities) diwajibkan untuk melaporkan pembayaran yang dilakukan oleh pihak yang menerima pembayaran melalui kartu kredit/debit atas nama konsumen atau pembeli (participating payee). Untuk participating payee ini juga dapat berbentuk third party network atau pihak yang menerima pembayaran atas nama pembeli dengan karakteristik adanya persetujuan antara penyelenggara jasa dengan penyedia barang dan jasa untuk menyelesaikan transaksi antara penyedia barang dana jasa dengan pembeli. Contoh
ADVERTISEMENT
Berdasarkan regulasi dari IRS, bank atau organisasi lainnya yang memproses transaksi kartu kredit atas nama penjual (merchant) dan mentransfer dana yang diterima dari bank yang digunakan konsumen kepada rekening penjual (merchant) wajib melaporkan setiap transaksi dari participating payee yang total transaksinya telah melebihi $20,000 dengan jumlah transaksi yang telah melampaui $200. Data yang dilaporkan adalah nama, alamat, NPWP dari transaksi pembayaran, serta jumlah transaksi pembayarannya. Setelah informasi tersebut diperoleh oleh IRS, maka IRS akan mengirimkan formulir salinan kepada Wajib Pajak yang kemudian Wajib Pajak mengembalikan formulir tersebut kepada IRS sebagai bentuk pelaporan atas transaksi ekonomi yang dilakukan. Melalui proses ini, IRS, dalam batasan tertentu, IRS dapat mengetahui transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
ADVERTISEMENT
Tidak sama dengan di Amerika Serikat, kewajiban pelaporan transaksi seperti ini ini tidak berlaku di Indonesia. Baik bank, penyelenggara jasa kartu kredit (Master Card, Visa, dll) maupun jasa pembayaran lainnya (OVO, GoPay, dll) tidak diwajibkan melaporkan transaksi yang dilakukan Wajib Pajak. Kewajiban pelaporan lembaga keuangan seperti: perbankan, asuransi, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan terbatas pada data rekening saldo dengan nilai di atas Rp 1 miliar. Data yang disampaikan berupa identitas pemegang rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan pelapor, saldo rekening, dan penghasilan terkait rekening keuangan.
Sedangkan dalam transaksi e-commerce/Perdagangan Melalui Sistem elektronik, hanya dalam kasus tertentu tentang tindak pidana terdapat kewajiban untuk melaporkan transaksinya kepada pemerintah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal 33 PP 71 Tahun 2019 tersebut diatur bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memberikan informasi/data elektronik atas permintaan yang sah dari penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, pemerintah melalui melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 pernah mengatur agar pihak penyelenggara jasa online marketplace untuk melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform. Namun PMK ini akhirnya dibatalkan sebelum diberlakukan pada bulan Maret 2019. Pada prinsipnya PMK ini bukan untuk memenuhi target penerimaan pajak, namun untuk menjangkau lebih banyak informasi guna membangun ekosistem dan database e-commerce yang komprehensif. Bahkan, aturan operasional dari PMK tersebut akan memastikan perlindungan terhadap UMKM dan kelompok masyarakat yang baru memulai bisnis e-commerce. Namun demikian, karena situasi saat itu yang tidak memungkinkan maka aturan tersebut dibatalkan.
Secara keseluruhan, Ditjen Pajak sejatinya membutuhkan data dan informasi terkait kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini penting karena dengan sistem self-assessment, hanya data dari pihak ketigalah yang dapat memvalidasi penghitungan dan pelaporan pajak oleh Wajib Pajak. Apabila data transaksi pembayaran dengan jumlah tertentu dapat dihimpun oleh Ditjen Pajak sebagaimana yang telah diberlakukan oleh IRS di Ameriak Serikat, maka akan semakin banyak masyarakat yang dapat patuh dengan kewajiban perpajakannya. Namun, dalam pelaksanaannya, diperlukan banyak komunikasi ke berbagai pihak yang terlibat juga harus melihat kondisi perkembangan dari kegiatan ekonomi masyarakat yang terkini.
ADVERTISEMENT