Konten dari Pengguna

Suara yang Tak Terdengar: Fenomena Tenggelamnya Suara Aspirasi Publik

Nuha Afifah Rubihalia
Nuha merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila yang aktif berperan dalam berbagai kegiatan organisasi di lingkungan kampus. Nuha juga memiliki minat yang tinggi dalam jurnalistik media.
30 April 2025 11:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuha Afifah Rubihalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
Fenomena "Suara yang Tak Terdengar" mencerminkan realitas pahit yang sedang dirasakan oleh masyarakat. Tenggelamnya suara rakyat, terutama mereka yang berani menyuarakan kritik dan memperjuangkan hak-hak mereka, menciptakan kesenjangan yang mendalam pada sistem politik Indonesia. Dalam kondisi ini, suara-suara yang seharusnya menjadi bagian penting dari proses demokrasi justru terabaikan, dan menjadi tanda menurunnya nilai keadilan yang ada. Suasana semacam ini menimbulkan kecaman akibat aspirasi dan hak-hak yang seharusnya bersuara, diredupkan oleh kekuasaan. Para aktivis, demonstran, pekerja, dan mereka yang berani bersuara sering kali harus membayar harga yang tak terhingga, terjebak dalam jebakan kriminalisasi, dan pembungkaman.
ADVERTISEMENT
Keadaan memprihatinkan politik Indonesia dapat dirasakan dengan sangat jelas pada kasus-kasus di mana aktivis dan demonstran yang menuntut perubahan terabaikan atau bahkan diintimidasi. Aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah atau mengorganisir demonstrasi untuk menuntut keadilan, sering kali menghadapi berbagai bentuk pembungkaman, mulai dari ancaman kekerasan fisik hingga kriminalisasi aktivitas mereka. Dalam beberapa kasus, aksi demonstrasi sering kali dibubarkan secara paksa dengan alasan menjaga ketertiban umum. Sementara di sisi lain, isu-isu yang diangkat oleh para demonstran seperti ketidakadilan sosial dan kebijakan yang merugikan masyarakat tidak mendapat perhatian yang layak dari pemerintah. Hal ini menjadi cerminan nyata dari kemunduran demokrasi, di mana partisipasi publik yang seharusnya menjadi fondasi utama justru dibatasi oleh kekuasaan elit politik.
Foto Pribadi
Selain itu, pembungkaman terhadap suara aktivis dan demonstran juga diperburuk dengan adanya pembatasan terhadap ruang dialog publik, baik itu melalui sensor media atau pengawasan ketat terhadap kegiatan yang berpotensi mengkritik pemerintah. Media massa yang seharusnya menjadi saluran untuk menampung berbagai suara masyarakat sering kali dikuasai oleh kepentingan politik tertentu, sehingga banyak isu terkesan "tak terdengar" oleh kelompok elit berkepentingan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam era digital, meskipun media sosial memberi ruang bagi masyarakat untuk berbicara, namun platform ini juga tidak luput dari pengawasan dan sensor suara-suara yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Hal ini menyebabkan banyak rakyat yang menyuarakan hak dan kewajibannya dalam demokrasi, justru terpinggirkan atau terbungkam demi kepentingan politik yang lebih besar. di sisi lain, masyarakat yang seharusnya bersuara, justru memilih untuk diam demi terhindar dari kecaman penguasa kepentingan politik yang lebih besar. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Muted Group Theory, yang dikembangkan oleh Cheris Kramarae, yang menjelaskan bahwa kelompok dominan dalam masyarakat mengendalikan bahasa dan komunikasi, sehingga secara efektif membungkam atau merendahkan suara dan pengalaman kelompok lain. Dalam konteks ini, rakyat yang mencoba menyuarakan aspirasi politiknya melalui media sosial sering kali tidak memiliki akses terhadap saluran komunikasi yang sama efektifnya seperti kelompok berkuasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa kontrol terhadap narasi masih berada di tangan segelintir elit politik, sehingga kelompok masyarakat yang kurang berdaya secara politik cenderung menjadi "kelompok bisu" dalam diskursus publik.
ADVERTISEMENT