Marginalisasi Perempuan Adat: Memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional

Nukila Evanty
Executive Director Women Working Group (WWG)
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2021 15:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Marginalisasi Perempuan Adat: Memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
'Leaving no one behind Indigenous peoples and the call for a new social contract", demikian judul tema besar untuk memperingati "The International Day of the World's Indigenous Peoples" atau hari Masyarakat Adat Internasional yang disiarkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 9 Agustus 2021. Menurut PBB, sampai saat ini ada lebih dari 476 juta masyarakat adat yang berada di 90 negara di seluruh dunia, atau sekitar 6,2 persen dari populasi global.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang masih melestarikan keragaman budaya, tradisi, bahasa dan sistem pengetahuan yang unik dibanding masyarakat lainnya. Masyarakat Adat juga memiliki hubungan khusus dengan tanah mereka.Tidak dapat dipungkiri banyak masyarakat adat diseluruh dunia mengalami kesulitan dan tekanan karena dalam proses pembangunan telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat sehingga masyarakat adat menderita kemiskinan, rentan terhadap penyakit dan mengalami berbagai bentuk diskriminasi.
Perempuan dan anak perempuan dari masyarakat adat (disebut Perempuan Adat) termasuk yang paling rentan menjadi korban dari bentuk-bentuk diskriminasi berdasarkan gender, etnis, dan status sosial ekonomi.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang artinya konvensi ini harus diimplementasikan dan dipertanggungjawabkan oleh pemerintah terhadap warga negaranya.
ADVERTISEMENT
Komite CEDAW yaitu komite yang dibentuk untuk mengkaji pelaksanaan konvensi CEDAW, serta beranggotakan 23 orang ahli di bidang hak asasi manusia (HAM) dan gender dari berbagai negara, mereka bekerja dalam kapasitas pribadi dan independen.
Telah menggarisbawahi tingginya tingkat kemiskinan; rendahnya tingkat pendidikan bahkan buta huruf; keterbatasan akses terhadap kesehatan, termasuk sanitasi , kesulitan mendapatkan kredit pinjaman dan pekerjaan; partisipasi terbatas dalam kehidupan politik; dan prevalensi kekerasan dalam rumah tangga dan seksual sebagai beberapa masalah utama yang dihadapi perempuan dalam masyarakat adat.
Di satu sisi, perempuan adat merupakan tulang punggung masyarakat adat karena merekalah yang memainkan peran penting dalam melestarikan ketahanan pangan juga mempunyai tugas sebagai penjaga pengetahuan leluhur adat, yang secara tradisional sumber daya alam seperti kelestarian hutan, sungai, pesisir serta mengelola tanaman obat-obatan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, Suku Akit di Rupat Utara, Bengkalis Riau, perempuan adat sangat berperan membuat atap rumah tradisional dari daun Rumbia yaitu sejenis pohon palma, sementara laki-lakinya berburu binatang di hutan. Selain itu, Perempuan adat adalah menjadi unsur penting dalam melakukan dialog, memimpin serta membela tanah ulayat serta wilayah adat serta mengadvokasi hak-hak masyarakat adat.
Dalam perjalanan mengadvokasi masyarakat adat, banyak ditemui program atau proyek pembangunan yang tidak sensitif terhadap perempuan adat. Program infrastruktur misalnya untuk menghubungkan satu kabupaten atau desa dengan pembangunan jalan dan jembatan kerap tidak memperhatikan kebutuhan perempuan adat, bagaimana dengan air sungai yang akan tergerus oleh proyek infrastruktur? Padahal perempuan adat rutin melakukan kegiatan seperti mengambil air bersih untuk minuman, air untuk mandi dari sumber sungai tersebut.
ADVERTISEMENT
Perlu terus diingatkan agar pemerintah konsisten mempromosikan kesetaraan gender, lebih melindungi hak-hak perempuan, dan pemberdayaan perempuan adat sebagai kunci untuk memberantas kelaparan dan kemiskinan dan masa depan bagi pendidikan anak-anak.
*Nukila Evanty adalah Masyarakat Adat Rokan Hilir Riau, Direktur Eksekutif Amcolabora Institute dan Women Working Grou