Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengapa Mereka Memanggil dengan Sebutan yang Merendahkan Perempuan?
28 Januari 2020 11:00 WIB
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa media online dan sosial media heboh baru-baru ini dengan kasus yang menimpa pramugari Garuda Indonesia, Siwi Sidi. Disebutkan bahwa Siwi melaporkan akun twitter @digeeembok atas dugaan pidana pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Tetapi kasus Siwi Sidi lebih dikenal karena pemberitaan terkait dengan sebutan kasus 'Gundik Garuda' (media online Januari 2020). Kemudian kasus seorang siswi SMKN 1 Anambas di Kepulauan Riau yang sedang berboncengan motor dengan teman laki-lakinya, kemudian guru agama siswi tersebut berteriak memanggilnya dengan sebutan "lonte" di depan umum. Ucapan guru agama itu membuat siswi tersebut sedih berkepanjangan dan memutuskan untuk tidak bersekolah lagi (media online Januari 2020).
Sebutan dan Istilah yang Merendahkan Perempuan
Memanggil seorang perempuan dengan sebutan gundik, lonte, pelacur, pelakor (perebut lelaki orang) adalah perbuatan yang merendahkan. Ingin menghukum perempuan atau ingin mempermalukan perempuan karena telah dianggap melakukan perbuatan yang hina dan tidak sesuai norma di masyarakat, misalnya menjadi simpanan laki-laki, label pelacur bagi perempuan yang menjual badannya, label pelakor bagi perempuan yang merebut suami orang, serta dengan sebutan-sebutan yang lain dapat digambarkan sebagai sebuah usaha untuk menciptakan standar tersendiri antara "perempuan baik-baik" dan "perempuan yang tidak baik " di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Leora Tanenbaum, penulis buku "I Am Not a Slut: Slut-Shaming in the Internet" menggambarkan dikotomi dengan menyebut label negatif perempuan tersebut sebagai bagian arogansi laki-laki, yaitu laki-laki adalah kuat, dominan, dan secara seksual aktif, sedangkan perempuan hanya bersifat pasif dalam seksual.
Sehingga jika perempuan aktif secara seksual, maka wajar diberikan hukuman. Sedangkan laki-laki yang secara seksual aktif akan dihargai. Ini yang disebut dengan seksisme, tidak adil dan standar ganda seksual seperti ini membatasi perempuan dengan menolak "segala sesuatu" yang membuat seorang perempuan menjadi dirinya sendiri.
Tanenbaum menjelaskan bahwa "begitu banyak ketidaknyamanan dan kecemasan" dari laki-laki atas gagasan bahwa perempuan-perempuan memegang kendali, menjadi agen perubahan, memiliki kekuatan" sehingga dengan memberikan label atau menghina mereka adalah suatu "cara untuk mengontrol perempuan".
ADVERTISEMENT
Sebutan pelacur kalau ditelusuri adalah warisan perbudakan, di mana perempuan di seluruh wilayah dunia, terutama di Asia dan di Afrika, ditolak kepemilikannya atas tubuh mereka sendiri dan tubuh mereka disediakan untuk dikuasai.
Sedangkan gundik , seperti yang pernah dimuat dalam kumparan (8 Desember 2019) mempunyai kecenderungan untuk merendahkan dan menghina perempuan yang telah dimulai dari abad ke-17.
Bahkan kehidupan menjadi seorang gundik pada saat itu sangatlah menyengsarakan seperti diangkat dalam buku karya Tineke Hellwig, yaitu Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gundik adalah istri tidak resmi; selir, perempuan piaraan, dan bini gelap.
Menghambat Perempuan untuk Setara
Label sebutan seperti gundik, lonte, pelacur, dan pelakor semuanya mempunyai konotasi dan label negatif, mengesankan yang salah adalah perempuan dan sangat berdampak bagi perempuan-perempuan yang melekat dengan label tersebut.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi kebiasaan masyarakat kita yang heboh membuat istilah dan malah menstigma perempuan. Masyarakat juga terbiasa melakukan pembiaran dan media framing (membingkai berita di media) untuk mempermalukan perempuan-perempuan yang ditempeli label-label negatif tersebut.
Hal ini mencerminkan masih terpeliharanya sistem patriarki (laki-laki memegang kekuasaan dominan dalam otoritas moral, politik, hak sosial, dan penguasaan properti) yang terus merendahkan, membenci, dan merugikan perempuan. Dan, tentunya mencegah kita semua mencapai kesetaraan gender.
*Direktur Eksekutif Women Working Group ( WWG)