Tonic Immobility, Penyebab Banyaknya Korban Pemerkosaan Tak Melawan

Nukila Evanty
Executive Director Women Working Group (WWG)
Konten dari Pengguna
6 Januari 2020 10:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nukila Evanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemerkosaan Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemerkosaan Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswi Telkom University (Tel-U) inisial G (19) diduga menjadi korban pelecehan seksual seniornya berinisial FGS (21). Kejadian itu dilakukan November 2018.
ADVERTISEMENT
Dalam keterangan dari beberapa media online , pendamping korban, United Voice Bahrul Bangsawan menjelaskan hubungan antara korban dan pelaku mulai terjalin ketika pelaku hendak mengembalikan lampu tumblr yang dipinjamnya dari korban. Sejak itu, pelaku terus mendekati korban sampai terjalin hubungan yang intens. Korban diketahui disetubuhi lebih dari sekali. Persetubuhan tersebut dilakukan dengan intimidasi.
Pihak kampus sedang melaksanakan beberapa proses penyelidikan untuk mengungkap kebenaran dari perkara tersebut. Menurut pendamping, korban mengalami kondisi yang dinamakan tonic immobility.
Tonic Immobility
Dari beberapa literature disebutkan bahwa tonic immobility (TI) yaitu kondisi tubuh mengalami kelumpuhan yang tidak disengaja, di mana tubuh tidak dapat bergerak atau dalam banyak kasus tidak bisa mengeluarkan suara atau berbicara. Pada hewan, reaksi ini dianggap sebagai pertahanan adaptif evolusioner terhadap serangan predator, ketika bentuk pertahanan lainnya tidak memungkinkan.
ADVERTISEMENT
Fenomena tonic immobility ini tentunya lebih sedikit diketahui terjadi pada manusia.
Penelitian terbaru dari klinik korban perkosaan di kota Stockholm, Swedia terhadap korban yang mengalami kekerasan seksual dan perkosaan ditemukan bahwa para korban ditanyai umumnya menjawab "Tidak melakukan perlawanan, terhadap pelaku, tidak minta tolong bahkan tidak berteriak". Selama terjadi perkosaan atau kekerasan seksual tersebut mereka mengalami "kelumpuhan sementara" atau tonic immobility (TI).
Menurut penelitian tersebut, kalau di antara para korban ada yang menderita TI yang sifatnya ekstrem maka dua kali kemungkinan setelah kejadian kekerasan seksual dan perkosaan mereka akan menderita post traumatic stress disorder atau gangguan stres paska-trauma (PTSD) dan kemungkinan tiga kali setelah akan menderita depresi berat.
ADVERTISEMENT
Korban umumnya telat melapor dan enggan bertemu dengan polisi karena mereka sensitif dan menyakitkan mendengar pertanyaan -pertanyaan dalam investigasi seperti "Apakah waktu kamu mengalami kekerasan seksual, kamu melakukan perlawanan terhadap pelaku?" "Mengapa kamu enggak menjerit atau berteriak minta tolong?"
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dihindari nanti oleh pihak kampus atau pihak lainnya. Pertanyaan tersebut bukan malah akan membongkar kejadian kekerasan seksual tersebut, tetapi akan membuat si G merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri, dan merasa malu. Korban seperti G selalu akan diliputi rasa bersalah.
Penelitian terbaru yang telah diterbitkan Acta Obstetrecia et Gynecologica Scandinavica (Jurnal No.96, issue No 8 , 2017), menyebutkan bahwa hampir 300 perempuan yang dirawat di klinik korban pemerkosaan, sebanyak 70 persen korban telah mengalami tonic immobility (TI) dan 48 persen korban mengalami TI “ekstrem” pada saat kejadian pemerkosaan (tingkat keparahan kondisi korban dengan indikasi perasaan beku, bisu, mati rasa, dan sebagainya).
ADVERTISEMENT
Jika Terbukti
Nah, jika terbukti, pasal berapa pelaku bisa didakwa? Mungkin masuk hanya pada pasal "perbuatan cabul" yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 289-296.
Pasal 290 KUHP menyebutkan: Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun (7 tahun) yaitu :
ADVERTISEMENT
Sedangkan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan menyebutkan: "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam melakukan perkosaan dengan pidana penjara, paling lama dua belas tahun (12 tahun)".
Sehingga sebenarnya mendesak agar pasal dalam RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang berbunyi: "Kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual" dapat segera dipertimbangkan oleh DPR baru untuk menjadi bagian materi dalam RUU KUHP jika alot dalam pembahasan RUU PKS.
Sehingga pelaku bisa dijerat segera dalam pasal tersebut yang telah memanfaatkan korban yang tidak bisa melawan dan dalam keadaan TI.
ADVERTISEMENT
Penting untuk tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah atau "presumption of innocent" dan mendesak agar kekerasan seksual ini harus segera dibuktikan. Justice delayed is justice denied.
Penting juga agar ada mekanisme memulihkan korban tonic immobility (TI) yang telah mengalami kekerasan seksual agar mereka bebas dari rasa malu, rasa bersalah, trauma, dan sebagainya.
*Direktur Eksekutif Women Working Group ( WWG)