Konten dari Pengguna

Dampak Psikologis dan Kesehatan Reproduksi Dalam Pernikahan di Bawah Umur

nur aini
Bidan homecare baby massage, perawatan ibu nifas Serta BBL dan Tenaga Kependidikan Laboran di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya
15 Oktober 2024 17:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nur aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan dini. foto: by pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan dini. foto: by pixabay.com
ADVERTISEMENT
Pernikahan di bawah umur masih menjadi masalah serius di Indonesia. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan batas minimal usia menikah bagi perempuan adalah 19 tahun, kasus-kasus pernikahan dini masih banyak terjadi, terutama di daerah pedesaan. Meskipun pernikahan dini, atau pernikahan di bawah umur, masih menjadi isu yang relevan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Salah satu alasan yang kerap diungkapkan dalam praktik pernikahan dini adalah untuk menghindari zina, yang dalam norma sosial dan agama dipandang sebagai tindakan tercela. Namun, meskipun alasan ini dipegang teguh oleh sebagian masyarakat, pernikahan dini membawa konsekuensi serius, baik bagi kesehatan mental maupun kesehatan reproduksi pasangan muda tersebut, selain itu juga berdampak pada hak pendidikan anak, kesehatan fisik.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral, keinginan untuk menghindari zina sering menjadi pendorong utama bagi beberapa keluarga untuk menikahkan anak-anak mereka di usia muda. Mereka percaya bahwa dengan menikah, anak-anak akan berada dalam ikatan yang sah, sehingga terhindar dari perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran moral. Selain itu, pernikahan dini juga dianggap sebagai cara untuk melindungi anak-anak dari pengaruh pergaulan bebas yang dapat berujung pada perilaku yang tidak diinginkan.
Namun, penting untuk diingat bahwa pernikahan dini bukanlah satu-satunya cara untuk menghindari zina. Pendidikan yang baik dan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai moral dan tanggung jawab juga dapat menjadi alternatif yang efektif. Dalam hal ini, peran keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting dalam membentuk sikap dan perilaku anak remaja agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral tanpa harus menikah di usia yang masih terlalu muda.
ADVERTISEMENT
Dampak Psikologis
Pernikahan dini sering kali membawa tekanan emosional yang besar bagi pasangan muda. Anak-anak yang menikah di usia dini umumnya belum siap secara emosional untuk menghadapi tuntutan pernikahan dan keluarga. Mereka sering mengalami tekanan dan stres yang lebih tinggi karena tanggung jawab yang besar, seperti mengurus rumah tangga, menjadi istri, atau bahkan menjadi orang tua. Kondisi ini bisa memicu berbagai masalah psikologis, seperti kecemasan, depresi, dan rasa putus asa. Menurut penelitian UNICEF, perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan kesehatan mental dibandingkan mereka yang menikah di usia yang lebih matang.
Pernikahan dini juga menghambat proses perkembangan sosial. Remaja yang menikah muda cenderung tidak mendapatkan kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya, membangun jaringan pertemanan, atau mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Hal ini dapat menyebabkan perasaan isolasi dan rendah diri, serta mengurangi rasa percaya diri mereka di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Dampak pada Kesehatan Reproduksi
Secara medis, tubuh remaja perempuan belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kehamilan dan persalinan. Kehamilan di usia muda meningkatkan risiko komplikasi seperti preeklamsia, kelahiran prematur, dan bahkan kematian ibu dan bayi. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak perempuan yang hamil di bawah usia 20 tahun berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi saat melahirkan dibandingkan dengan perempuan yang hamil di usia 20-30 tahun.
Pernikahan di usia dini juga meningkatkan risiko tertular infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS. Kurangnya pemahaman mengenai kesehatan reproduksi dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan menjadi salah satu penyebab utama kondisi ini. Pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting bagi remaja untuk melindungi diri mereka dari risiko-risiko tersebut, namun sayangnya, hal ini sering kali diabaikan dalam pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Dampak pada Pendidikan dan Masa Depan
Anak-anak yang menikah di usia dini umumnya putus sekolah, yang menghambat mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Putus sekolah ini berdampak besar pada masa depan mereka, terutama dalam hal ekonomi dan kemandirian finansial. Tanpa pendidikan yang memadai, peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka di masa depan.
Solusi dan Upaya Pencegahan
Untuk mengatasi masalah pernikahan dini, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menyediakan edukasi dan advokasi yang efektif. Penyuluhan mengenai dampak negatif pernikahan dini harus ditingkatkan, khususnya di daerah-daerah yang rentan. Peran keluarga, terutama orang tua, juga sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada anak mengenai pentingnya pendidikan dan masa depan yang lebih baik sebelum memasuki pernikahan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan, termasuk pendidikan kesehatan reproduksi dan mental, perlu ditingkatkan. Lembaga pendidikan, layanan kesehatan, dan organisasi masyarakat harus bersama-sama menyusun program yang mendukung remaja dalam mengenal hak-hak mereka dan menjaga kesehatan mereka secara optimal.
Pernikahan di usia dini adalah isu yang kompleks dan memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak. Dengan meningkatkan kesadaran akan dampaknya, diharapkan kasus-kasus pernikahan dini dapat dikurangi, sehingga anak-anak Indonesia dapat meraih masa depan yang lebih cerah dan sehat.
Dengan cara ini, remaja tidak hanya dapat terhindar dari risiko pernikahan dini, tetapi juga memiliki masa depan yang lebih sehat dan produktif. Menghindari zina adalah tujuan yang baik, tetapi hal ini tidak harus dilakukan dengan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak muda.
ADVERTISEMENT