Konten dari Pengguna

Berselimut Kain Keranda

Nur Apriani Jamil
Mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
10 Juli 2021 7:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Apriani Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Covid-19 itu tidak nyata”
“Covid-19 itu hanya permainan kaum elite global”,
ADVERTISEMENT
“media membesar-besarkan berita ”, ujar mereka di luar sana.
Jangan sakit, nanti kamu bakal dicovidkan oleh rumah sakit”, tulisnya dalam akun media sosial itu. Aku tersenyum kecil, kemudian aku berdoa dalam hati, semoga Anda beserta keluarga selalu diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Aku menutup layar ponselku dan kembali menenangkan pikiranku. Semua lantunan doa dan zikir keluar dari mulut sosok perempuan di sampingku, Ibu. Kakakku sendiri sudah terlelap tidur. Malam begitu sunyi, hanya ada bunyi satu—dua motor yang lewat di depan rumah sakit.
Dua jam telah berlalu sejak pengambilan test swab, dan kini waktu menunjukkan pukul 23.30. Aku menatap nanar atap mobil ambulans, mobil yang disopiri omku sendiri untuk membawa kami bertiga kesini. Mataku lagi-lagi tidak menunjukkan tanda-tanda mengantuk.
ADVERTISEMENT
“Atas nama Bu Juju, Neneng, dan Nur”. Terdengar samar-samar suara teriakan suster dari pintu IGD, om ku segera berlari untuk mengetahui hasilnya. Jika hasil swab kami negatif, kami akan dirawat inapkan, namun jika positif, kami harus mencari rumah sakit lain.
Om ku berjalan ke arah mobil, aku dan Ibu bangun dari posisi tidur kami. Jantungku berdetak kencang, perasaan ini sama seperti sedang menunggu hasil pengumuman PTN waktu itu.
“Gimana, Ron?”tanya ibuku buru-buru
“Positif tiga-tiganya, Mpo” ujar omku, setelahnya omku langsung keluar dan berjalan menjauhi mobil. Ibuku berulang kali mengucap kalimat istighfar.
Ya Allah, hatiku mencelos. Aku kembali meringkuk kemudian menangis.
“Semua bakal baik-baik aja” yakinku dalam hati.
Omku kembali dan langsung minta ambilkan APD yang ada dibelakang. Tak lama kemudian muncul sekelompok pengendara motor dengan jaket yang sama, ternyata om ku ini menelepon teman-teman di komunitas relawan untuk kembali mengawal ambulansnya.
ADVERTISEMENT
Ninu Ninu Ninu
Illustrasi Ambulance. Photo: shutterstock
Sirine ambulans mulai dinyalakan, padahal jalanan di Kelapa Dua terlihat sepi. Ia kemudian perlahan-lahan memacu kencang laju mobil, berencana membawa kami ke RS UI. Sesampainya di UI, kami bertiga tidak langsung mendapat perawatan, kami harus melakukan pemeriksaan kesehatan seperti tensi, kadar oksigen, dan menunjukkan hasil pemeriksaan kami di rumah sakit sebelumnya.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan barusan. Ibu, dan mbak-mbaknya sehat dan tidak membutuhkan perawatan rawat inap. Kadar oksigennya justru sangat bagus", jelas sang suster.
Aku mulai lelah dan ingin cepat-cepat pulang saja jika memang tidak ada ruang untuk kami. Dengan keadaan belum makan sedari pagi, aku mulai merasakan sakit di perutku.
"Tapi bisa tidak, Sus, kalau dia duluan saja yang di rawat di sini?", omku menunjukku, ia masih berusaha agar aku dirawat inapkan karena trombosit darah yang tiap harinya turun seribu.
ADVERTISEMENT
Mendengar jawaban suster, Ibuku langsung menolaknya tanpa pikir panjang. Bagaimana bisa aku dirawat di sini, sendiri, sementara ibu dan yang lain tidak bersamaku? Suster juga bilang, di dalam itu tidak ada sekatan yang membedakan pasien covid, bahkan rata-rata pasien di dalam adalah pasien yang bergejala berat. Selain itu, jika ingin buang air kecil harus menggunakan pispot. Membayangkannya saja aku sudah ingin menangis.
Akhirnya kami meninggalkan RS UI dan mulai mencari rumah sakit lain. Jujur, sekembalinya dari UI keadaanku semakin lemas. Aku tahu bukan hanya aku yang kelaparan dan kehausan di sini.
Aku meringis sakit, semakin lama perjalanan aku juga merasakan dingin. Tak sadar aku menangis karena ku kira awalnya kami semua akan dirawati napkan di rumah sakit pertama, sehingga dengan yakin aku tidak membawa selimut dan baju hangat untuk kami bertiga.
ADVERTISEMENT
"Bu, dingin",kataku lirih.
"Itu di lemari samping kamu ada plastik isinya kain, kamu selimutan aja pake itu" ucap omku. Lalu aku mengambil apa yang ia maksud, sebuah kain yang awalnya terlihat normal.
"Itu kain kurung batang, tapi khusus jenazah yang bukan muslim, gapapa ya?"
Seketika badan ini membeku dalam posisi sudah berselimut dari pundak hingga ujung kaki. Karena dipaksa keadaan, aku pasrah saja,"Iya, Om gapapa", balasku. Aliran darahku berdesir dan aku mulai membaca lantunan-lantunan doa.
Salah satunya, "Ya Allah, panjangkan umurku, ampunilah segala dosaku" ucapku dalam hati terus menerus. Akhirnya, perlahan mata ini menutup dan terlelap ke alam mimpi.
Ninu Ninu Ninu
Ilustrasi merenung melihat langit. Photo: flickr.com/UnikoN
Memiliki rumah tepat di samping jalan tol dan jalan raya membuatku semakin sedih dengan bunyi dari kendaraan ini. Bahkan sirine ini bisa terdengar beberapa kali sehari di telingaku dengan bunyi yang berbeda-beda. Sirine ini juga membawa kembali ingatanku akan selimut keranda itu.
ADVERTISEMENT
Walaupun dahulu ketika belum adanya pandemi ini, setiap melihat ambulans menjadi kengerian tersendiri karena membayangkan sosok hantu berkain kafan. Sekarang, rasa kengerian itu berubah menjadi rasa duka kehilangan dan pengingat akan dosa-dosa diri ini. Turut berduka cita bagi kalian semua yang ditinggalkan keluarga,teman, saudara dan semuanya, semoga diberi ketabahan. Untuk almarhum/almarhumah, semoga amal serta ibadahnya diterima disisi-Nya.