Ingin ke Mana dan Jadi Apa Habis Ini? Sebuah Motivasi yang Selalu Ada

Nur Apriani Jamil
Mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Juli 2021 10:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Apriani Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Siang itu, seorang dosen dari mata kuliah pendidikan grafik di kelasku memberikan sebuah motivasi dalam menentukan ‘mau ke mana’ setelah lulus dari kampus. Awalnya aku mengantuk sekali mendengar dosenku berbicara, hingga pada akhirnya aku terdiam dan merenungkan perkataannya setelah ia melontarkan kalimat, "Kalian harus sudah punya planning dari sekarang. Jangan sampai hingga saat ini kalian semester 4 belum tau mau ‘ke mana’ dan jadi ‘seorang’ apa’?”.
Illustrasi batu yang menandakan keberanian, mimpi, insoirasi, dan keselarasan. Foto: pixabay.com
Biasanya aku tidak menghiraukan kalimat motivasi tersebut, motivasi yang membosankan sekali, di mana-mana selalu ada.
ADVERTISEMENT
Tapi entah mengapa, hatiku terenyuh dan muncul perasaan takut, aku sama sekali belum punya rencana sedangkan saat ini aku sudah duduk di semester 4. Apakah aku akan gagal at—
‘Ding’ suara itu muncul dari notifikasi WhatsAppku.
“Liputan yuk” begitulah isi pesannya. Ketika membacanya, aku sedikit tertawa dan aku tahu mengapa temanku ini tiba-tiba mengajakku untuk melakukan liputan, biasalah. Ia pasti ikut tergerak hati dan pikirannya akibat perkataan dosenku barusan. Aku berpikir, kenapa tidak ku coba saja dulu, dari pada hanya melakukan rebahan di rumah saja.
Setelah chit-chat dan segala macam, kami berunding mau liputan seperti apa dan di mana. Akhirnya kami sepakat untuk berganti-gantian dalam menentukan jadwal liputan. Awal liputan kami mulai dari konsepnya, liputan kedua aku yang menentukan konsepnya.
ADVERTISEMENT
Liputan pertama kami mengambil tema human interest dengan narasumber yang sudah ditentukan oleh temanku ini. Sebelumnya aku pernah melakukan liputan untuk majalah kampus dengan temanku ini, dengan narasumber seorang Mahasiswa Baru Politeknik Negeri Jakarta yang viral di Tik-Tok, di mana ia merupakan seorang anak sopir ojek online yang mendapat beasiswa penuh.
Berbeda dengan narasumber liputan tersebut, narasumber kami kali ini adalah sepasang suami istri penjual kerupuk, yang kedua-duanya adalah seorang tunanetra. Sebelum liputan, banyak pikiran yang melintas di kepalaku, mengingat aku adalah orang yang suka overthinking duluan. Isi kepalaku sangat berisik “Bagaimana jika penjual itu tersinggung?”, “Bagaimana nanti awalnya memulai percakapan?”, atau “Keliatan banget ngga sih kalo aku emang ngga niat beli kerupuk, tapi emang ada maunya aja”.
ADVERTISEMENT
Sesampai di sana, semua yang ada di kepalaku ini tidak ada satu pun yang terjadi. Ketika sampai, dengan pelan-pelan aku berjalan dan duduk mendekati mereka. Jujur saat itu aku sangat bingung memulai percakapan dari mana, aku bukanlah orang yang pandai berbasa-basi, tapi kan tidak mungkin juga jika aku langsung menembak pertanyaan begitu saja. Untungnya, temanku datang dan memulai pembicaraan lebih awal.
Mereka adalah Pak Ngalimin dan Ibu Sutilah, sepasang suami istri tunanetra yang sudah berjualan kerupuk dari tempat satu ke tempat lain selama bertahun-tahun. Jenis kerupuk yang mereka jual pun beragam, ada kemplang, kerupuk udang, kerupuk bawang, dan kerupuk kulit. Selain itu, Pak Ngalimin juga membuka usaha pijat dirumahnya.
Percakapan mengalir di antara kami berempat, rasanya tidak seperti kami sedang melakukan wawancara. Pak Ngalimin dan Ibu Sutilah banyak bercerita mengenai suka dukanya selama berjualan kerupuk. Dulu, mereka pernah berjualan di perempatan jalan menuju Kelapa Dua, Depok. Hingga akhirnya menetapkan hanya berjualan dekat rumah mereka di Taman Duta, Kelurahan Tugu, Depok, karena suatu insiden pengusiran atas keduanya. Bahkan, mereka juga pernah merasakan ditipu dengan uang palsu, bayangkan saja.
ADVERTISEMENT
Pak Ngalimin sebelumnya meminta maaf kepada kami karena hanya ia sendiri yang duduk di atas bangku, ia berkata bahwa ia mengalami pengapuran tulang sejak lama, namun belum bisa ia bawa ke pengobatan karena terhalang dana.
Penghasilan yang diperoleh dari penjualan tidaklah banyak, apalagi ditambah dengan pandemi yang entah sampai kapan. Mereka bercerita, dulu sebelum pandemi, mereka bisa mendapat uang di atas 100 ribu rupiah, sehingga mereka bisa membayar kontrakan, makan, hingga, membeli kerupuk kembali dari distributor untuk dijual lagi. Namun, sejak adanya pandemi, mereka hanya mendapat 50-100 ribu rupiah, bahkan kerupuk yang hari ini mereka jual belum tentu terjual habis. Itu semua belum bisa menutup utang-utang mereka, seperti bayar kontrakan yang menunggak.
ADVERTISEMENT
Aku bertanya pada mereka, apakah mereka mendapat bansos selama pandemi sebelum bansos itu dikorupsi sang menteri sosial. Mereka menjawab tidak. Aku sangat terkejut, bagaimana mungkin mereka tidak mendapat bansos!? Justru orang yang seperti Ibu dan Bapak bukan, yang lebih membutuhkan? Ingin sekali ku berteriak pada sang koruptor itu, pantas saja.
“Mba dan masnya tinggal di mana?”tanya mereka seketika menyadarkanku dari keheranan akan bansos tadi. “Saya di deket sini, Bu” ujar temanku. “Kalau saya di Gas Alam, Bu. Ibu tahu?” jawabku dan balik bertanya.
“Oh.. tahu itu mah saya. Kemarin itu kita arisan di Ciherang. Mba Gas Alam mana? Rekan organisasi kami juga ada yang rumahnya di sana”
“Oh, saya tahu nih Bu, mungkin orang yang ibu dan saya maksud adalah sama. Saya lupa namanya, tapi dia punya anak namanya Galuh, dulu dia rumahnya dekat saya” ujarku menceritakan.
ADVERTISEMENT
“Iya benar Mba, itu Mas Tio” kata Pak Ngalimin.
“—Sebenarnya kami mendapat bansos, tapi dari organisasi kami ini Mba. Jadi organisasi kami ada suatu PT yang suka berdonasi”, sambung Bu Sutilah atas pertanyaanku tadi. Aku kemudian bertanya mengenai organisasi apa yang dimaksud. “Kami ini punya organisasi perkumpulan tunanetra mba. Rata-rata dari kami ini berjualan kerupuk. Kemarin kami habis arisan juga loh Mba, termasuk dari bapaknya si Galuh” kali ini Pak Ngaliman yang gantian berbicara.
“Kapan-kapan kalau ada waktu, Mba boleh ikut kami ke sana. Mba boleh tanya-tanya juga kalau ada tugas” kata Bu Sutilah. Aku sedikit lega saat mengetahui setidaknya Ibu dan Bapak mendapat bantuan saat pandemi.
Tak terasa percakapan ini memakan waktu yang cukup lama. Aku dan Pak Ngalimin memutuskan untuk bertukar nomor WhatsApp jika sewaktu-waktu kami mau bertemu teman-teman organisasinya ini. Setelah pamit, tentunya kami pulang tidak dengan tangan kosong, kami membeli kerupuk udang dari Bapak dan Ibu. Rasanya enak dan rasa udangnya pun sangat terasa, serta tidak amis. Siapa sangka, liputan yang awalnya coba-coba, berakhir dengan pengalaman dan pengetahuan baru. Sayang, akibat pandemi ini aku belum bisa bertemu lagi dengan mereka. Terima kasih untuk dosenku atas motivasinya, saat ini aku tahu ‘mau ke mana dan jadi apa’.
ADVERTISEMENT