Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Ngadiukeun dalam Adat Perkawinan Sunda: Telaah Hukum dan Syariat Islam
7 April 2025 14:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nur Cholilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah masyarakat Sunda yang kaya akan tradisi dan tata nilai, upacara perkawinan bukan hanya sebuah peristiwa sakral antara dua insan, melainkan juga menjadi titik temu antara norma adat, syariat agama, dan hukum negara. Salah satu tradisi yang cukup dikenal namun jarang dikaji secara serius adalah Ngadiukeun. Sebuah praktik "penitipan calon pengantin wanita" ke rumah keluarga pria sebelum resmi dinikahkan, yang dalam praktiknya menjadi polemik antara budaya dan hukum.
ADVERTISEMENT
Artikel ini mencoba mengurai tradisi Ngadiukeun dari perspektif hukum adat dan hukum Islam, serta menyoroti bagaimana praktik ini mencerminkan dinamika masyarakat Sunda dalam mempertahankan kearifan lokal di tengah tuntutan modernitas dan sistem hukum nasional.
Memahami Tradisi Ngadiukeun
Secara harfiah, ngadiukeun berasal dari kata dasar adiukeun, yang berarti "menitipkan" atau "menempatkan". Dalam konteks adat Sunda, tradisi ini dilakukan saat pihak keluarga laki-laki membawa calon pengantin wanita untuk tinggal sementara di rumahnya, sebelum dilangsungkan pernikahan secara resmi baik secara adat maupun agama.
Biasanya, kondisi ekonomi, kendala administratif (misalnya belum lengkap dokumen untuk KUA), atau alasan kedekatan emosional menjadi latar belakang utama dilaksanakannya ngadiukeun. Dalam banyak kasus, calon mempelai wanita sudah "diboyong" ke rumah mempelai pria, dianggap bagian dari keluarga, bahkan menjalani hidup selayaknya pasangan suami istri tanpa akad nikah yang sah.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat Sunda melihat praktik ini sebagai bentuk kepercayaan dan kesepakatan keluarga. Dalam sudut pandang mereka, tradisi ini sah secara sosial dan adat karena dilandasi rasa saling percaya, gotong royong, serta musyawarah.
Namun, bagaimana dengan hukum?
Perspektif Hukum Adat: Tradisi sebagai Norma Sosial yang Mengikat
Hukum adat di Indonesia, seperti dikemukakan oleh Van Vollenhoven, berpijak pada asas kebersamaan, musyawarah, dan keadilan komunal. Dalam hal ini, praktik ngadiukeun termasuk sebagai bagian dari "hukum tidak tertulis" yang hidup dan mengikat dalam masyarakat adat.
Menurut para tokoh adat Sunda, selama praktik ini dilakukan dengan dasar kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan atau penipuan, maka tradisi ini dianggap sah. Bahkan dalam beberapa kasus, bila terjadi permasalahan akibat ngadiukeun, penyelesaiannya tidak dibawa ke ranah hukum negara, tetapi diselesaikan melalui lembaga musyawarah adat seperti lembaga tokoh kampung atau sesepuh.
ADVERTISEMENT
Namun perlu dicatat, hukum adat bersifat lokal dan partikular. Artinya, yang berlaku dan diterima di satu daerah bisa ditolak di daerah lain. Dalam era modern ini, ketika masyarakat mulai berpindah dari pola komunal ke individual dan negara semakin dominan dalam sistem hukum, kekuatan hukum adat juga mulai terpinggirkan, termasuk dalam kasus seperti ngadiukeun.
Perspektif Hukum Islam: Tegas terhadap Status dan Hubungan
Berbeda dengan hukum adat yang fleksibel, hukum Islam bersifat tegas dan memiliki ketentuan baku tentang pernikahan. Islam memandang bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya bisa sah jika didasarkan pada akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat nikah.
Tanpa akad, maka segala bentuk relasi, apalagi tinggal serumah, akan dianggap sebagai bentuk pelanggaran, bahkan bisa dikategorikan sebagai zina jika terjadi hubungan suami istri tanpa pernikahan sah. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan, “Tidak halal bagi seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk berdua-duaan (berkhalwat)” (HR. Bukhari dan Muslim).
ADVERTISEMENT
Praktik ngadiukeun, meskipun dianggap sah secara adat, menjadi permasalahan serius dari segi hukum Islam. Karena dapat menimbulkan fitnah, membuka pintu perzinaan, dan tidak memberikan perlindungan hukum dan moral terhadap perempuan.
Problematika Sosial: Siapa yang Dirugikan?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit kasus ngadiukeun berakhir dengan kerugian pada pihak perempuan. Misalnya, ketika pernikahan yang dijanjikan tidak kunjung dilaksanakan, dan pihak laki-laki "membatalkan sepihak", maka perempuan akan menghadapi tekanan sosial yang berat, bahkan stigma sebagai "perempuan bekas" atau “tidak suci”.
Dalam konteks hukum negara, posisi perempuan dalam ngadiukeun pun sangat lemah. Karena tanpa pernikahan yang sah, ia tidak memiliki perlindungan hukum dalam urusan waris, status anak, dan hak atas nafkah.
Situasi ini membuat kita perlu meninjau ulang praktik tradisi seperti ngadiukeun, bukan untuk menghapus tradisi, tetapi untuk memperbaikinya agar tidak merugikan satu pihak dan tetap menghormati prinsip-prinsip hukum dan agama.
ADVERTISEMENT
Menuju Harmonisasi: Tradisi yang Disesuaikan
Apakah tradisi seperti ngadiukeun masih bisa dipertahankan? Jawabannya: bisa, dengan penyesuaian.
Salah satu alternatif adalah mendorong pelaksanaan akad nikah sederhana secara agama terlebih dahulu, sebelum acara resepsi atau upacara adat besar-besaran digelar. Dengan begitu, hubungan kedua mempelai sudah sah secara hukum Islam dan negara, sementara nilai adat tetap dijunjung tinggi.
Upaya ini bisa menjadi jembatan antara tradisi dan syariat, antara norma sosial dan ketentuan hukum. Dalam konteks ini, peran tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah desa sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, agar tidak terjebak dalam praktik yang tampak biasa tapi menyimpan risiko besar.
Membangun Etika Hukum yang Kontekstual
Ngadiukeun adalah potret nyata betapa rumitnya hubungan antara hukum adat, hukum Islam, dan hukum negara dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Dalam ruang hidup masyarakat Sunda, tradisi ini lahir sebagai bentuk adaptasi dan solidaritas keluarga. Namun di sisi lain, praktik ini membuka ruang persoalan hukum dan moral jika tidak disikapi secara bijak.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menghapus tradisi, yang perlu kita lakukan adalah membangun kesadaran kritis masyarakat untuk memahami hakikat dari hukum, baik adat maupun agama. Bahwa setiap tindakan, terutama yang menyangkut perempuan dan hubungan suami istri, perlu berada dalam koridor keadilan, perlindungan, dan kepastian hukum.
Hukum adat bukanlah barang usang, tetapi ia harus terus dimodifikasi agar sesuai dengan zaman. Maka dari itu, ngadiukeun pun perlu ditinjau ulang dalam kerangka hukum Islam dan hukum negara, agar tidak menjadi tradisi yang menjerat perempuan, tetapi tetap menjadi kearifan lokal yang memuliakan martabat manusia.