Konten dari Pengguna

Patriarki Di Era Media Sosial: Tantangan dan Peluang

Nur Dea
Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda
5 November 2024 13:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Dea tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto oleh Flavia Jacquier: https://www.pexels.com/id-id/foto/papan-tanda-teks-4003151/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto oleh Flavia Jacquier: https://www.pexels.com/id-id/foto/papan-tanda-teks-4003151/
ADVERTISEMENT
Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi salah satu sarana komunikasi paling ampuh, memungkinkan kita terlibat dan memahami dunia di sekitar kita. Namun selain kemudahan akses terhadap informasi dan koneksi terkait, media sosial juga berfungsi untuk mempercepat penyebaran patriarki. Meskipun fenomena ini membuka peluang bagi perubahan yang lebih positif, namun hal ini juga menimbulkan tantangan serius dalam perjuangan kesetaraan gender. Patriarki sebagai institusi sosial yang menekankan dominasi laki-laki seringkali diperkuat oleh narasi dan representasi yang tersebar di media sosial. Konten yang secara langsung atau tidak langsung menggambarkan stereotip gender lebih besar kemungkinannya untuk menyebar dan melekat di benak masyarakat. Misalnya, meme, video, dan postingan yang merendahkan perempuan atau menggambarkan mereka dalam peran tradisional mendapat lebih banyak perhatian dibandingkan konten yang mendukung kesetaraan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana pemikiran patriarki diterima sebagai sebuah norma, bahkan di kalangan generasi muda yang dianggap lebih terbuka dan progresif. Banyak yang masih tabu, menganggap hanya perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya, padahal pekerjaan tersebut bukan kewajiban perempuan, adapun terkadang perempuan juga ingin di bantu dalam pekerjaan rumah setelah lelah mengurus anak, dengan bantuan suami maka pekerjaan menjadi ringan, dan rumah tangga menjadi lebih harmonis. Kesetaraan gender yang masih belum terpupuk di Indonesia menjadi sebuah catatan penting bagi generasi muda, untuk nantinya menciptakan sebuah keluarga yang mencetak generasi emas tanpa membeda-bedakan tabiat laki-laki maupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya pada zaman sekarang iklan di televisi yang mencerminkan kesetaraan gender masih cukup minim, sehingga masyarakat masih bias dengan gender. Padahal iklan di televisi merupakan hal besar yang mampu menyuarakan kesetaraan gender kepada audiens yang lebih luas.
Berbicara pada topik sebelumnya, media sosial juga menyediakan wadah bagi suara-suara yang mempertanyakan patriarki. Banyak aktivis dan organisasi menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan tentang kesetaraan gender, berbagi pengalaman pribadi mengenai diskriminasi, dan mendidik masyarakat tentang pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Kampanye seperti #MeToo (https://metoomvmt.org/) dan #TimesUp (https://www.instagram.com/timesupnow?igsh=cW9objk0cnRjNnEz) menunjukkan betapa kuatnya media sosial dalam menggalang dukungan dan meningkatkan kesadaran terhadap kekerasan terhadap perempuan. Keberadaan platform ini juga memungkinkan individu untuk berbagi cerita dan membangun komunitas yang saling mendukung. Banyak perempuan menemukan solidaritas dalam kesempatan berdiskusi dan bertukar pengalaman, serta berani mempertanyakan norma-norma patriarki yang mengakar. Media sosial adalah alat pemberdayaan yang dapat memulai percakapan kritis tentang gender dan kekuasaan. Namun tantangan masih tetap ada. Penyebaran informasi yang salah dan konten negatif dapat dengan cepat menggagalkan upaya ini. Perhatian yang lebih besar terhadap suara-suara patriarki dapat menyebabkan kebingungan dan meningkatkan kecaman terhadap gerakan kesetaraan. Oleh karena itu, penting untuk lebih kritis terhadap konsumsi informasi di media sosial dan berpartisipasi aktif dalam diskusi yang mendukung perubahan positif. Untuk mengatasi tantangan patriarki yang semakin marak melalui media sosial, potensi platform ini harus dimanfaatkan secara bijak. Dengan meningkatkan kesadaran, berbagi pengetahuan, dan membangun komunitas inklusif, kita dapat mengubah narasi yang ada dan menciptakan ruang bagi kesetaraan gender. Era digital menawarkan peluang untuk mendobrak batasan patriarki, asalkan kita mau berjuang bersama demi masa depan yang lebih adil bagi semua.
ADVERTISEMENT