Konten dari Pengguna

100 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum: Catatan Kecil Penyandang Disabilitas Netra

Nur Fauzi Ramadhan
Alumni Sekolah Staf Presiden Tahun 2022 Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia Pemerhati Hukum dan Isu Disabilitas
29 Oktober 2024 11:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pribadi Nur Fauzi Ramadhan, Wisuda di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pribadi Nur Fauzi Ramadhan, Wisuda di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024.
ADVERTISEMENT
“Kampus-kampus hukum di zaman Hindia-Belanda selalu dibangun di dekat pusat kekuasaan. Hal ini membuktikan bahwa ilmu hukum sejak zaman dahulu sudah dianggap sebagai ilmu yang bergengsi.” Ucapan tersebut diucapkan oleh Yu Un Oppusunggu saat diwawancarai oleh Prof. Topo Santoso di podcastnya ketika membahas mengenai 100 tahun pendidikan tinggi hukum.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan diperingatinya Hari Sumpah Pemuda di tanggal 28 Oktober 2024, bangsa ini juga merayakan 100 tahun Pendidikan Tinggi Hukum. Sebab, tepat pada tanggal 28 Oktober 1924 merupakan tanggal didirikannya Recht Hoge School, kampus hukum pertama di Hindia-Belanda yang didirikan dengan tujuan guna mempersiapkan para yuris untuk berpraktik di Hindia Belanda pada saat itu. Di kemudian hari, tanggal tersebut diperingati sebagai hari mulai berdirinya Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus tonggak pendidikan hukum di Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang masuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia di penghujung abad pertama, sejujurnya saya tidak mengalami banyak tantangan berarti selama mengikuti perkuliahan, baik dari pertama kali masuk di tahun 2020 hingga dinyatakan lulus pada tahun 2024. Metode dan standar pembelajaran yang diberikan pada saya pun tidak dibedakan dengan mahasiswa lainnya, hanya saja terdapat penyesuaian yang dianggap diperlukan. Sebagai contoh, dalam hal mengerjakan ujian berbasiskan kertas, bagi saya diberikan diskresi dengan menggunakan komputer yang telah dilengkapi dengan pembaca layar.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Generasi Sebelumnya
Memori saya kembali ke sebuah hari di tahun 2015. Kala itu saya menonton sebuah acara di salah satu stasiun TV. Seorang pembicara di sana menceritakan pengalamannya ketika mendaftar ke fakultas hukum. Dirinya yang merupakan seorang tuna netra total menceritakan bahwa untuk bisa berkuliah di fakultas hukum saja perlu mendebat dengan pihak fakultas. Padahal, dirinya sudah membuktikan dengan mampu lulus dari ujian yang diikuti. Dirinya bercerita, untuk bisa berkuliah saja ia harus mendatangi kediaman rektor guna membuktikan bahwa dirinya yang merupakan seorang buta juga dapat mengikuti perkuliahan.
Beliau adalah Saharudin Daming, seorang alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanudin yang berhasil menjadi mahasiswa tunanetra hukum pertama di Indonesia. Ilmu hukum yang beliau pelajari menjadi dasar tatkala dirinya melakukan advokasi dalam rangka pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas. Di kemudian hari, dengan bekal pengalaman dan telah malang melintang di dunia advokasi itulah yang mengantarkan dirinya pernah menduduki sebagai komisioner Komisi Hak Asasi Manusia. Beliau dalam hal ini membuktikan bahwa ternyata apabila penyandang disabilitas pun ketika diberikan kesempatan yang sama, dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat banyak.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, minat penyandang disabilitas utamanya disabilitas netra untuk mengambil kuliah di bidang hukum pasca Saharudin Daming mulai menggeliat. Alasannya pun beragam, ada yang mendasari pada kesempatan untuk mempelajari advokasi terhadap hak-hak penyandang disabilitas, namun ada pula yang mendasari akan peluang karier yang ditawarkan pada lulusan fakultas hukum yang beragam dan variatif. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, hal ini membuktikan bahwa fakultas hukum menjadi pilihan yang cukup diperhitungkan bagi teman-teman penyandang disabilitas, utamanya disabilitas netra.
Di samping itu, terdapat daya tarik bagi penyandang disabilitas netra untuk mengambil kuliah di fakultas hukum, yakni karena sudah semakin inklusifnya pendidikan hukum serta materi hukum yang dinilai tidak terlalu menyulitkan bagi penyandang disabilitas netra. Untuk faktor yang pertama, ini tidak terlepas dari peran senior-senior penyandang disabilitas yang telah terlebih dahulu untuk “menyemplung” di fakultas hukum. Mereka yang merupakan perintis dari beberapa kampus kemudian melakukan self advocacy terhadap lingkungan sekitar. Hal tersebut juga didukung dengan staf pengajar serta pihak-pihak pendukung perkuliahan lainnya yang membuka diri dan bersedia belajar guna melakukan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Untuk faktor yang kedua, tidak terlepas dari materi yang diajarkan di fakultas hukum yang jarang sekali berkaitan dengan gambar ataupun hal lain yang membutuhkan visualisasi yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Harapan Agar Tidak Hanya Sebagai Representasi
Setelah 100 tahun berdiri dan menjadi guide knowledge dalam pembangunan bangsa, pendidikan tinggi hukum dalam perkembangannya bukan lagi terbatas pada fakultas yang ditujukan bagi kalangan ningrat. Perannya pun tidak lagi terbatas untuk menciptakan calon petugas peradilan saja, melainkan dapat mengisi peran-peran tertentu di masyarakat. Fakultas hukum saat ini sudah menjadi primadona di sebagian masyarakat. Hal ini terbukti ketika masa penerimaan mahasiswa baru, fakultas hukum menjadi salah satu fakultas yang favorit bersama dengan kedokteran dan ekonomi.
Demikian pula bagi penyandang disabilitas netra, fakultas hukum pun mulai diminati ketika ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjut. Maka pendidikan hukum pun kiranya mampu menjadi katalisator bagi pemenuhan hak penyandang disabilitas. Selain berkontribusi di bidang keilmuan yang menjadi dasar untuk melakukan advokasi, fakultas hukum diharapkan menjadi inkubator bagi penyandang disabilitas utamanya disabilitas netra untuk mengembangkan dirinya. Caranya, penyandang disabilitas terutama yang mengambil konsentrasi hukum perlu didorong terlibat dalam proses latihan pembuatan kebijakan, sosialisasi disabilitas saat berhadapan dengan hukum, serta didorongnya kesempatan yang sama untuk mengambil profesi di bidang hukum seperti pengacara, hakim, akademisi, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu pula kerjasama antara dunia kampus dan profesional guna memaksimalkan potensi penyandang disabilitas yang mengambil peminatan hukum. Ujung dari semua ini ialah, harapannya dengan semakin maraknya penyandang disabilitas yang mengambil jurusan hukum kedepannya tidak lagi dianggap sebagai representasi saja, melainkan perguruan tinggi hukum mampu mendorong potensi mereka secara lebih optimal dengan harapan mereka dapat berkontribusi nyata dengan peran yang akan diambil di masa depan.