Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ormas Berulah Lagi, Menggodok Kembali Revisi UU Ormas?
6 Mei 2025 12:56 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Persoalan ormas bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Pemerintah pernah membubarkan ormas menggunakan fitur regulasi seperti Surat Keputusan Bersama Menteri (SKB). Memang tidak dapat dipungkiri, masih terdapat ormas yang mengganggu ketertiban masyarakat. Lantas kita bertanya, sebenarnya apa fungsi ormas? Apakah sebagai social control? Atau telah bergeser seperti persoalan yang belakangan ini terjadi?
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, tingkah ormas kembali meresahkan masyarakat. Sebagai contoh, perilaku meresahkan ditunjukan oleh ormas yang mengganggu pembangunan perusahaan otomotif di Subang. Hal ini tentu berdampak pada hilangnya kepercayaan investor, serta memperlambat jalannya investasi. Contoh lainya yang dapat kita refleksikan adalah Ormas di Jawa Barat yang mempertontonkan senjata tajam di ruang publik dan saling berkelahi dengan ormas lainnya. Atau yang lebih baru lagi, tingkah ormas yang melakukan pemalakan terhadap pabrik di Kalimantan Tengah. Jadi, dapat kita katakan, sebenarnya keamanan dan kenyaman masyarakat sedang dipertaruhkan.
Padahal, memasuki era reformasi, keran pendirian ormas menjadi lebih fleksibel dengan salah satu tujuannya ialah sebagai social control di masyarakat. Selain itu, ormas juga dapat membantu negara untuk menampung aspirasi masyarakat di bidang sosial, kebudayaan, keagamaan, dan kedaerahan.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, Kita perlu bertanya apakah ormas sudah bukan lagi menjadi social control? Atau justru menjadi penyakit/patologi di tengah-tengah masyarakat? Bayangkan apabila di negara yang menyandang status sebagai ‘negara hukum’, penegakan hukum tidak benar-benar terjadi, bahkan secara tidak langsung sebenarnya sedang memberikan efek trauma kepada masyarakat.
Jangan sampai, kekuatan ormas melebihi kekuatan fungsi-fungsi negara. Bila negara gagal memberikan jaminan hak dasar kepada masyarakat, lantas kepada siapa rakyat menggantungkan harapannya?
Permasalahan Sistemik
Di sisi lain, ormas yang meresahkan masyarakat bukan datang dengan sendirinya. Namun hal ini merupakan sebuah proses panjang ketika kemiskinan stuktural, ketimpangan ekonomi, minimnya akses pada pekerjaan yang layak, hingga ditungganginya ormas untuk kepentingan pragmatisme dan politis semata.
ADVERTISEMENT
Di sini, dapat ditekankan bahwa persoalan ini merupakan ‘persoalan sistemik’. Bahasa sederhananya, jika saya rangkum dalam pertanyaan: “Emang ada individu yang pengen dimusuhi di tengah masyarakat? emang ada individu yang ingin dijauhi oleh kelompok sosial? Lebih lagi, emang ada yang mau jadi pelaku kejahatan, kalau bukan karena sistem yang sebenarnya tidak adil, tidak inklusif, serta besarnya ketimpangan?”
Tentu secara sosiologis, tidak ada yang ingin melakukan demikian. Artinya, kejahatan tersebut tidak datang secara sendirinya. Hal ini dimulai dari persoalan sistemik yang tidak pernah selesai untuk dibenahi, yang akhirnya membuka jalan pragmatis untuk melanggengkan dan menjustifikasi kejahatan demi bertahan hidup.
Perbaikan Lewat Revisi RUU Ormas?
Baru-baru ini, wacana untuk revisi terhadap undang-undang ormas tengah bergulir. Hal ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam merespon tingkah ormas yang bertindak bak preman yang berkonsekuensi pada terganggunya kepercayaan investor.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum bergulirnya revisi terhadap undang-undang ormas, saya perlu menekankan seharusnya yang direvisi bukan soal pengawasan ormas saja. Apalagi jika ujungnya pengawasan hanya sekadar ‘formalitas dan administratif saja’. Jikalau benar akan terdapat agenda revisi UU Ormas, hal ini perlu menjadi momentum sudah seharusnya untuk membuat regulasi yang memungkinkan menyeleksi ormas mulai dari tahap ‘embrio’. Artinya, mulai tahap pendirian ormas hingga disahkannya, harus benar-benar diawasi, sehingga tidak terjadi lagi ormas-ormas yang meresahkan masyarakat.
Selanjutnya, revisi undang-undang ormas ini tidak hanya menyasar kewenangan dari Kementerian Dalam Negeri, namun lebih jauh lagi juga menyasar pada kewenangan Kementerian Hukum, tempat di mana ‘embrio-embrio’ ormas ini dilahirkan.
Ke depannya, ‘likuidasi’ pembubaran ormas harapannya tidak melulu diputuskan oleh Pengadilan. Namun, dapat dilakukan melalui instrumen eksekutif, sebagaimana asas ‘contrarius actus’ yang berarti, siapa yang membuat, maka dia yang berwenang untuk membatalkan.
ADVERTISEMENT
Bukan untuk meniadakan peran pengadilan, namun mempercepat ‘likuidasi’ terhadap ormas-ormas yang bermasalah. Kendati begitu, di sini perlu saya tegaskan kembali, hal demikian bukan berarti membuat pemerintah menjadi sewenang-wenang untuk membubarkan ormas.
Keputusan pemerintah untuk melakukan pembubaran terhadap ormas bukan berarti tanpa kontrol. Sebagai negara hukum, perlu adanya mekanisme peradilan untuk mengontrol tindakan pemerintah. Artinya, fungsi dan peran Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dijelaskan oleh Julius Stahl sebagai salah satu syarat dari negara hukum, menjadi penting untuk mengoreksi pemerintah yang menjalankan tugas-tugasnya.
Nantinya, keputusan pembubaran ormas tersebut dapat digugat ke PTUN. Dengan catatan, kewenangan eksekutif untuk membubarkan ormas harus diatur secara tegas dan rinci sebagai berikut: terhadap Ormas yang bertentangan dengan konstitusi atau terhadap Ormas yang bertentangan dengan Pancasila, atau juga terhadap Ormas yang mengganggu ketertiban masyarakat yang dibuktikan melalui rekomendasi Institusi Kepolisian.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, menyikapi ormas yang bermasalah tidak cukup hanya dengan pendekatan represif. Negara perlu mengidentifikasi akar sosiologis dan ekonomis dari munculnya jaringan kriminalitas. Namun satu hal yang tidak bisa ditawar adalah negara tidak boleh berkompromi dengan penggunaan kekerasan ilegal baik oleh aparat negara hingga aktor non-negara.
Zero tolerance adalah prinsip mutlak dalam negara hukum. Penegakan hukum tidak boleh selektif. Hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tidak boleh hanya mengayomi dan memberikan rasa aman pada elit dan penguasa, sementara rakyat kecil dibiarkan hidup dalam ketakutan.
Ormas bermasalah adalah bentuk lain dari kriminalitas yang bersumber dari ketimpangan dan kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan. Namun pembenarannya tidak boleh dibiarkan. Negara wajib hadir, tidak hanya sebagai penjaga ‘status quo’, tetapi sebagai pelindung seluruh rakyatnya. Bila tidak, maka gelar ‘negara hukum’, tak lebih dari sekadar retorika kosong yang tidak lagi bermakna di mata rakyat.
ADVERTISEMENT
Tetapi sebelum menutup tulisan ini, kembali saya tegaskan bahwa, dari pada terus menerus melakukan pendekatan hukum terhadap ormas yang bermasalah, kita perlu melihat akar masalahnya. Kita sering lupa bahwa banyak ormas bermasalah karena kurangnya lapangan pekerjaan, tidak adanya pembinaan terhadap ormas, bahkan sampai karena faktor sulitnya mendapatkan keadilan. Jadi, apabila terus melakukan pendekatan hukum terhadap ormas yang bermasalah tanpa melihat akar masalahnya sejatinya di mana, ke depan mungkin ‘arwah’ dari ormas yang bermasalah ini akan tetap menghantui dalam bentuk lain.