Konten dari Pengguna

Paradoks Otonomi Daerah dan Rencana Revisi UU ASN

Nur Fauzi Ramadhan
Co-Founder Asah Kebijakan Indonesia, Civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alumni Sekolah Staf Presiden, Konsultan hukum dan kebijakan.
25 April 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aparatur Sipil Negara. Ilustrasi: Canva (Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Aparatur Sipil Negara. Ilustrasi: Canva (Pribadi)
ADVERTISEMENT
Revisi terhadap Undang-Undang ASN (UU ASN) menjadi salah satu produk undang-undang yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di tahun 2025. Padahal, perubahan terhadap UU ASN baru disahkan pada tahun 2023 melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 (UU 20 Tahun 2023).
ADVERTISEMENT
Berpotensi Mereduksi Desentralisasi
Perubahan UU ASN menimbulkan tanda tanya, terlebih terdapat muatan untuk mengembalikan sentralisasi pada hubungan pusat dan daerah. Otonomi dan desentralisasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam otonomi daerah terdapat roh dari desentralisasi, sebaliknya desentralisasi dapat terejewantahkan dengan cara daerah yang memiliki otonomi untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk pula menciptakan kebijakan sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersifat unik.
Dengan menarik kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan pratama menjadi wewenang Presiden bagi tingkat daerah berpotensi untuk mereduksi semangat desentralisasi. Perlu dicatat, dalam tata laksana jabatan manajerial di Indonesia, yang tergolong sebagai Eselon II di tingkat daerah meliputi: kepala dinas pemerintah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, dan kepala dinas daerah provinsi, kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Apabila ketentuan rancangan undang-undang tersebut disahkan, maka dengan demikian ke depannya Presiden dapat menunjuk, memutasi, dan memberhentikan kepala dinas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Risiko yang terjadi ialah hilangnya akuntabilitas lokal oleh sebab kepala daerah tidak memiliki kendali atas kinerja yang dipaksakan oleh pusat. Di samping itu, menurut Shahmi (2025), ke depannya berpotensi akan terjadi friksi antara daerah dan pusat, terutama apabila pejabat yang dipilih tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat lokal.
Lebih jauh lagi, koordinasi yang panjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka pengisian jabatan dapat memperlambat pengambilan keputusan yang bersifat krusial. Pada akhirnya, yang paling dirugikan dengan inefisiensinya birokrasi ialah terganggunya pelayanan publik.
Bukankah demikian justru kontraproduktif dengan semangat Pasal 18 UUD NRI dan reformasi di sektor birokrasi? Pertanyaan lanjutannya ialah, bukankah hal ini berpotensi menghambat pelayanan publik yang efektif?
ADVERTISEMENT
Masih Ada Utang
Masalahnya, dengan keberlakuan UU 20 Tahun 2023 juga masih terdapat pekerjaan rumah yang belum diselesaikan. Sebagai contoh, belum terdapat aturan yang menjadi dasar pemberlakuan dari manajemen ASN yang menjadi tujuan utama dari revisi UU ASN di tahun 2023. Padahal, dalam Bab Peralihan yakni Pasal 68 UU 20 Tahun 2023 mengamanatkan bahwa aturan pelaksana mengenai UU ASN perlu diselesaikan enam bulan setelah Undang-Undang ASN disahkan.
Kekosongan regulasi tersebut berkonsekuensi pada kesumiran wewenang lembaga yang menaungi aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi. Dengan dihapuskannya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui UU 20 Tahun 2023, praktis saat ini terdapat tiga kementerian/lembaga (K/L) yang membidangi urusan mengenai aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi yakni Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, mengenai pengawasan aparatur sipil negara yang semula berada di KASN kini berada di bawah kewenangan dari BKN. Padahal, hal demikian justru akan menyebabkan konflik kepentingan baru dalam sistem manajemen ASN. BKN dalam hal ini, melaksanakan fungsi manajemen ASN di tingkat pusat dan daerah, sembari memegang fungsi pengawasan yang sebelumnya dipegang oleh KASN.
Kealpaan fungsi pengawasan sistem merit, asas, kode etik, dan kode perilaku ASN di tingkat daerah terbukti dengan terganggunya netralitas pilkada serentak 2024 lalu. Terdapat 24 daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang diputus oleh MK harus melaksanakan Pemilihan Suara Ulang (PSU).
Dari berbagai macam alasan terjadinya PSU tersebut, sebagian besar terjadi ataupun berpangkal dari tidak terjadinya netralitas ASN. Oleh karenanya, bukankah seyogianya pemerintah dan DPR berkoordinasi untuk menyelesaikan urusan yang menjadi prioritas utama untuk memperbaiki manajemen ASN dengan mengeluarkan aturan turunan UU ASN dibanding mengotak-atik urusan baru?
ADVERTISEMENT
Pembentuk undang-undang perlu belajar dari kasus sebelumnya, dengan maksud perampingan kelembagaan, penghapusan KASN justru menimbulkan permasalahan baru. Persoalan tata kelola, termasuk pula reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan jangan sampai mengalami kemunduran dengan adanya perubahan uu ini.
Menjadi pertanyaan apakah dengan menarik seluruh kewenangan pengangkatan, mutasi, dan pemberhentian pejabat tinggi pratama di daerah merupakan cara yang paling tepat untuk menciptakan pemerataan kualitas sumber daya ASN di daerah? Lalu pertanyaan lainnya ialah, apakah dengan penunjukan langsung dari pusat akan serta merta mengatasi persoalan daerah dan pelayanan publik? Atau justru, hal demikian menciptakan permasalahan baru?
Persoalan sistem merit, ataupun persoalan lainnya memang dapat menjadi justifikasi. Termasuk pula untuk mengubah suatu kebijakan dan undang-undang. Sehingga pembentuk undang-undang perlu mempersiapkan argumentasi yang kuat dan matang mengapa diperlukan perubahan undang-undang ASN.
ADVERTISEMENT
Namun pertanyaannya, apakah perubahan tersebut dibutuhkan? Apakah perubahan tersebut dapat menyelesaikan masalah? Dan apakah perubahan tersebut justru menjadi sumber permasalahan baru? Dalam konteks ini, apakah perubahan UU ASN dengan tanpa sadar dan dasar tersebut merupakan upaya sentralisasi namun masih, ‘malu-malu’?