Konten dari Pengguna

Pemenuhan Kuota Kerja Disabilitas: Jangan Sekadar Angka

Nur Fauzi Ramadhan
Co-Founder Asah Kebijakan Indonesia, Civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alumni Sekolah Staf Presiden, Konsultan hukum dan kebijakan.
3 Mei 2025 18:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Fauzi Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi Penyandang Disabilitas. Sumber: Foto Pribadi (Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi Penyandang Disabilitas. Sumber: Foto Pribadi (Canva)
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2016, pemerintah telah mengsahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas). UU Disabilitas ini merupakan tindak lanjut dari pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konfensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
ADVERTISEMENT
CRPD mendorong negara-negara pihak untuk mengambil langkah dalam rangka mempromosikan kesempatan kerja yang setara dan inklusif bagi penyandang disabilitas. Oleh karenanya, pemerintah menindaklanjuti komitmen tersebut dengan menetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk menerima satu persen penyandang disabilitas bagi perusahaan swasta dan dua persen penyandang disabilitas bagi lembaga pemerintah ataupun badan usaha milik negara/daerah.
Ketentuan yang Progresif
Kewajiban perusahaan menyediakan kuota minimal satu persen (swasta) dan dua persen (pemerintah/BUMN/BUMD) bagi penyandang disabilitas merupakan langkah progresif. Undang-undang ini menjadi yang pertama kali secara spesifik mengatur kewajiban kuota tersebut dalam dunia kerja, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (UU Penyandang Cacat) yang tidak mencantumkan ketentuan serupa.
UU Penyandang Cacat hanya mengatur mengenai kaharusan bagi perusahaan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak satu orang dari 100 pekerja. Bedanya, dalam UU Penyandang Cacat 1997 tidak memberikan pembedaan terhadap perusahaan, sementara itu dalam UU Disabilitas 2016 memberikan pembedaan pada klasifikasi perusahaan dan lembaga pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pembedaan tersebut dimaksudkan bahwa dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mewujudkan inklusi sosial dan memberikan pelayanan publik yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas. Sebagai entitas yang dimiliki atau dikelola oleh negara, lembaga dan perusahaan negara diharapkan menjadi contoh dan garda terdepan dalam implementasi kebijakan inklusif.
Upaya Afirmasi
Afirmasi, dalam konteks ini merupakan tindakan korektif yang sengaja dirancang untuk mengatasi ketidaksetaraan historis dan sistemik yang selama ini membatasi partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Bertahun-tahun lamanya, kelompok ini seringkali terpinggirkan, menghadapi diskriminasi dalam proses rekrutmen, dan kurangnya akomodasi yang memadai di lingkungan kerja. Akibatnya, potensi dan kontribusi mereka bagi pembangunan seringkali terabaikan.
ADVERTISEMENT
Klausul mengenai kuota minimal pekerja disabilitas dalam UU Disabilitas bukanlah sekadar angka, melainkan representasi dari komitmen negara untuk menciptakan peluang yang lebih adil. Penetapan kuota ini bertujuan untuk mendobrak siklus diskriminasi dan memberikan jalan bagi penyandang disabilitas untuk membuktikan kemampuan dan meraih kemandirian ekonomi.
Dengan adanya kewajiban bagi perusahaan dan lembaga pemerintah untuk mempekerjakan persentase tertentu dari penyandang disabilitas, undang-undang ini secara aktif mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan beragam.
Jangan Sekadar Angka
Pemenuhan kuota pekerja disabilitas dalam UU Disabilitas bisa jadi sekadar formalitas bagi sebagian perusahaan demi mendapatkan insentif ataupun menghindari sanksi. Hal demikian apabila dilakukan tanpa perubahan budaya inklusif atau penyediaan akomodasi memadai.
Namun, anggapan bahwa semua perusahaan demikian adalah generalisasi. Bagi sebagian lainnya, kuota justru menjadi awal perjalanan inklusi yang lebih dalam, memicu investasi pada lingkungan kerja aksesibel dan pengembangan karir setara, bahkan menjadikan inklusivitas sebagai visi perusahaan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Tantangan implementasi tetap ada, termasuk pemahaman kebutuhan disabilitas dan penyediaan akomodasi. Dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil krusial agar pemenuhan kuota tidak hanya menjadi angka, melainkan mewujudkan inklusi yang bermakna.
Oleh karenanya, perlu ada upaya serius untuk mengatasi permasalahan ‘sekadar angka tersebut’.
Secara teknokratik, pemerintah perlu mengoptimalkan fungsi unit layanan disabilitas di bidang ketenagakerjaan baik di tingkat pusat dan daerah. Hal demikian bertujuan untuk mempersiapkan calon tenaga kerja, menyalurkan tenaga kerja, serta memberikan advokasi yang diperlukan bagi tenaga kerja dengan disabilitas di lingkungan kerja.
Satu hal yang menjadi penting ialah bagaimana pendidikan juga menjadi hulu untuk menciptakan penyandang disabilitas yang siap kerja. Oleh karenanya, butuh adanya upaya yang sinergis antara dunia pendidikan dan dunia kerja terkhusus untuk mempersiapkan tenaga kerja disabilitas yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan muncul, setelah sembilan tahun diundangkan, dapatkah UU Disabilitas mengatasi permasalahan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas?