Konten dari Pengguna

Minimnya Literasi dan Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045

Nur Fitriyanto
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Fakultas Ilmu Agama Islam
29 Oktober 2024 8:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Fitriyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berikut adalah gambar yang mewakili visi masa depan Indonesia pada 2045, dengan generasi yang siap menghadapi tantangan melalui literasi dan pemikiran kritis. sumber foto by AI
zoom-in-whitePerbesar
Berikut adalah gambar yang mewakili visi masa depan Indonesia pada 2045, dengan generasi yang siap menghadapi tantangan melalui literasi dan pemikiran kritis. sumber foto by AI

Minimnya Literasi dan Tantangan Menuju Indonesia Emas 2045: Mungkinkah Generasi Cemas Terjadi?

ADVERTISEMENT

Indonesia memiliki visi besar untuk menjadi negara maju pada tahun 2045, bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan. Dalam rangka mencapai tujuan ini, pembangunan sumber daya manusia menjadi pilar utama yang harus diperkuat. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah rendahnya tingkat literasi masyarakat, terutama generasi muda.

ADVERTISEMENT
Minimnya literasi ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga keterampilan berpikir kritis dan memahami informasi secara menyeluruh, terutama di era digital yang penuh dengan arus informasi dan disinformasi. Apakah kita sedang menuju generasi yang cemas, bingung, dan tidak siap menghadapi masa depan?

1. Rendahnya Literasi Membatasi Potensi Berpikir Kritis

Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan memaknai informasi. Dalam masyarakat yang maju, literasi menjadi landasan untuk berpikir kritis, membangun pengetahuan, dan mengambil keputusan yang tepat. Sayangnya, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut data Programme for International Student Assessment (PISA) dan survei lain, kemampuan literasi Indonesia berada pada peringkat yang kurang memuaskan, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju.
ADVERTISEMENT
Ketiadaan kemampuan literasi yang kuat membuat generasi muda rentan terhadap misinformasi. Di era digital, akses informasi memang sangat mudah, tetapi tanpa kemampuan untuk menyaring dan memahami secara kritis, generasi muda lebih rentan terpengaruh oleh hoaks atau opini tanpa dasar yang valid. Akibatnya, mereka sering tidak mampu mengembangkan wawasan yang mendalam dan cenderung membentuk pola pikir yang dangkal dan reaktif. Ini merupakan ancaman besar bagi generasi yang diharapkan akan membangun masa depan Indonesia, terlebih Indonesia yang sedang menyongsong Generasi Emas 2045 yang gencar digaungkan oleh pemerintah.

2. Literasi Digital yang Rendah Menambah Kecemasan Generasi Muda

Seiring dengan perkembangan teknologi, generasi muda semakin terpapar oleh media digital yang penuh dengan berbagai jenis informasi, mulai dari berita, opini, hingga tren terbaru. Meski memiliki akses luas, banyak dari mereka yang tidak memiliki literasi digital yang baik, sehingga kesulitan memisahkan mana informasi yang benar dan mana yang hanya opini atau bahkan hoaks. Menurut survei We Are Social dan Hootsuite, rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu sekitar 8 jam sehari di dunia maya. Waktu yang panjang ini tidak selalu digunakan untuk hal yang produktif, dan malah berisiko menambah kecemasan jika informasi yang diterima tidak tersaring dengan baik.
ADVERTISEMENT
Fenomena "Fear of Missing Out" (FOMO), misalnya, sering dialami oleh remaja dan pemuda akibat melihat berbagai tren yang terus berubah cepat di media sosial. Mereka merasa harus selalu mengikuti perkembangan tren, yang memicu rasa cemas dan khawatir akan tertinggal dari teman sebaya. Kondisi ini diperburuk oleh minimnya kemampuan literasi digital yang membuat mereka kesulitan memahami bahwa tidak semua informasi di media sosial adalah kenyataan atau harus diikuti. Jika dibiarkan, hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental generasi muda Indonesia.

3. Generasi Cemas: Produk dari Krisis Literasi

Minimnya literasi yang dialami oleh generasi muda tidak hanya berdampak pada aspek pendidikan, tetapi juga menciptakan generasi yang cemas. Dalam menghadapi berbagai tantangan sosial dan ekonomi yang semakin kompleks, generasi ini sering kali merasa tidak siap. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam berpikir kritis, kesulitan memilah informasi, serta terbatasnya kemampuan untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Indonesia, angka gangguan kesehatan mental di kalangan remaja terus meningkat. Krisis literasi menjadi salah satu penyebabnya karena generasi muda sering tidak bisa menghadapi tekanan sosial dengan baik, terutama yang berkaitan dengan informasi yang mereka konsumsi. Kebanyakan dari mereka tidak terbiasa untuk berpikir kritis dalam mengatasi persoalan yang kompleks, sehingga mereka cenderung merasa tidak percaya diri dan cemas. Fenomena ini disebut sebagai "generasi cemas" yang, jika tidak segera ditangani, akan menghambat produktivitas dan kesejahteraan bangsa.

4. Dampak Minimnya Literasi bagi Indonesia 2045

Ketika kemampuan literasi rendah dan budaya berpikir kritis tidak terbentuk, risiko besar menanti Indonesia pada 2045. Negara maju tidak hanya memerlukan individu yang mampu bekerja, tetapi juga generasi yang inovatif, kritis, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang matang. Jika generasi mendatang tidak siap menghadapi tantangan global, Indonesia bisa tertinggal di tengah persaingan yang semakin ketat. Minimnya literasi akan menghambat inovasi, memperlambat perkembangan ekonomi, dan meningkatkan ketergantungan pada negara lain.
ADVERTISEMENT
Generasi yang tumbuh dengan kecemasan dan keterbatasan dalam berpikir kritis juga cenderung menjadi kurang produktif dan lebih rentan terpengaruh oleh opini yang kurang valid. Misalnya, ketergantungan pada berita atau panduan dari media sosial tanpa kemampuan untuk mengidentifikasi informasi yang benar bisa mengarah pada pengambilan keputusan yang salah. Hal ini tentunya berbahaya bagi kemajuan bangsa, terutama di bidang ekonomi dan sosial.

5. Mengatasi Krisis Literasi untuk Indonesia yang Lebih Baik

Untuk mengatasi krisis literasi ini, dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
- Peningkatan Literasi di Sekolah: Sekolah perlu menjadi pusat utama untuk meningkatkan kemampuan literasi, dengan memfokuskan tidak hanya pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga pada berpikir kritis. Kurikulum yang mendorong pemikiran analitis akan membentuk generasi yang lebih siap menghadapi kompleksitas masa depan.
ADVERTISEMENT
- Pelatihan Literasi Digital: Kemampuan literasi digital harus diajarkan sejak dini, sehingga generasi muda tidak hanya mampu menggunakan teknologi tetapi juga bisa menyaring informasi dengan kritis. Literasi digital yang baik akan membuat mereka lebih tahan terhadap hoaks dan misinformasi yang banyak beredar di internet.
- Meningkatkan Minat Baca dan Akses terhadap Buku: Program nasional yang mendukung minat baca bisa ditingkatkan, misalnya dengan menyediakan perpustakaan digital atau perpustakaan keliling di daerah-daerah terpencil. Semakin banyak anak-anak yang terpapar bacaan berkualitas, semakin kuat kemampuan literasi mereka di masa depan.
- Pelatihan Keterampilan Emosi dan Kesehatan Mental: Pemerintah dan institusi pendidikan juga perlu menekankan pentingnya manajemen emosi dan kesehatan mental. Pelatihan keterampilan berpikir kritis dan manajemen emosi akan membantu generasi muda untuk menghadapi tekanan, terutama di era yang dipenuhi oleh informasi digital.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Tantangan literasi menjadi salah satu hal yang krusial untuk dicermati dalam upaya mencapai Indonesia Emas 2045. Minimnya literasi tidak hanya berdampak pada pemahaman informasi, tetapi juga pada kesehatan mental, kesejahteraan, dan produktivitas generasi muda. Jika tidak segera diatasi, Indonesia bisa kehilangan kesempatan untuk memiliki generasi yang kompeten dan berdaya saing di dunia global. Melalui peningkatan literasi dan pendidikan kritis, kita dapat membentuk generasi yang siap menyongsong masa depan, penuh percaya diri, dan optimis dalam menghadapi tantangan. Membentuk generasi literat bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan kerja sama yang baik dari seluruh elemen bangsa, cita-cita Indonesia sebagai negara maju pada 2045 bukan lagi sekadar mimpi.