6 Kejanggalan Praperadilan Novanto Versi ICW

29 September 2017 22:06 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Setya Novanto. (Foto:  Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Setya Novanto. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Keputusan hakim Cepi Iskandar untuk mengabulkan gugatan Setya Novanto atas status tersangkanya menuai reaksi publik, salah satunya ICW. Peneliti ICW, Lalota Easter, mengaku sudah menduga hal ini.
ADVERTISEMENT
"Sesuai perkiraan, praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dikabulkan oleh hakim tunggal Cepi Iskandar," ujar perempuan yang akrab disapa Lola ini dalam keterangan yang diterima kumparan (kumparan.com), Jumat (29/9).
Lola mengatakan, perkiraan ini bukan tanpa dasar. ICW telah mencatat, setidaknya ada 6 kejanggalan dalam proses sidang praperadilan penetapan tersangka Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berikut 6 kejanggalan versi ICW:
1. Hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi e-KTP,
2. Hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK,
3. Hakim menolak eksepsi KPK,
4. Hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara,
5. Hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan,
ADVERTISEMENT
6. Laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti praperadilan
"Keenam kejanggalan tersebut adalah penanda awal akan adanya kemungkinan permohonan praperadilan SN akan dikabulkan oleh hakim Cepi Iskandar, sebelum akhirnya putusan itu dibacakan di hadapan sidang pada Jumat, 29 September 2017," ujar Lola.
Dia mengatakan, salah satu dalil hakim Cepi Iskandar yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan ini adalah, bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak dapat dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.
"Dengan dalil tersebut, artinya Hakim Cepi Iskandar mendelegitimasi Putusan Majelis Hakim yang memutus perkara e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabenenya sudah berkekuatan hukum tetap. Padahal, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan," bebernya.
ADVERTISEMENT
Selain kejanggalan-kejanggalan tersebut, menurut Lola, dikabulkannya permohonan praperadilan ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks yang lebih luas, termasuk dengan proses yang berjalan pada Pansus Angket KPK di DPR. Dia khawatir, putusan praperadilan tersebut akan menjadi dasar bagi Pansus Angket untuk mengeluarkan rekomendasi yang kontra-produktif dengan upaya pemberantasan korupsi, dan juga melemahkan KPK.
"Terlepas dari legalitas perpanjangan masa kerja Pansus Angket KPK, bukan tidak mungkin rekomendasi yang akan dikeluarkan nanti dilakukan juga berdasarkan hasil putusan praperadilan ini," ujarnya.
Lola mengaku sependapat dengan pernyataan Ketua Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia, mengenai dugaan bahwa putusan Novanto sudah dikondisikan sejak sebelum putusan dibacakan hari ini.
"Hal ini dapat dilihat dari pembahasan RUU Jabatan Hakim yang sedang dibahas di Komisi III DPR, dengan Mahkamah Agung sebagai salah satu pihak yang paling berkepentingan dengan hal tersebut, juga dari dugaan pertemuan SN dengan Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali," kata Lola.
ADVERTISEMENT
Lola menduga, putusan praperadilan ini tidak dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang tepat dan sarat akan dugaan adanya intervensi pihak lain yang membuat hakim tidak imparsial dan tidak independen dalam memutus. Untuk itu, ICW mendesak agar:
1. Komisi Yudisial menindaklanjuti laporan-laporan yang sudah masuk terkait dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam proses sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto
2. Mahkamah Agung mengambil langkah konkrit dengan melakukan eksaminasi putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar, dan mengambil langkah tegas manakala ditemukan dugaan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh yang bersangkutan
3. KPK harus kembali menetapkan SN sebagai tersangka dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru. Selain itu, manakala SN sudah kembali ditetapkan sebagai tersangka, KPK harus bergerak lebih cepat dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup.
ADVERTISEMENT