‘Aku 98 Tahun dan Menolak Mengemis’

11 Januari 2017 5:12 WIB
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Engkong Sariah, pengemudi bajaj berusia 98 tahun. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Matahari terasa panas kala itu. Bak berjarak hanya satu jengkal dari ujung kepala. Asap polusi kendaraan yang berlalu-lalang mengepul di pangkalan bajaj Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. 
ADVERTISEMENT
Di sudut pangkalan, Engkong masih setia menanti calon penumpangnya. Menunggu dan menunggu. Sesekali melambaikan tangannya menawarkan tumpangan ke orang-orang yang melintas. Dari kejauhan saya menghampiri sosok renta ini.
"Keliling Jakarta yuk Kong," sahut saya seraya mendekat. 
Wajahnya yang muram langsung tersenyum lebar. Dirinya sontak bersemangat menganggukkan kepala ketika saya hendak menggunakan jasanya. Tanpa berpikir panjang saya pun naik ke dalam bajaj yang menjadi tambatan hidupnya.
Engkong Sariah mengemudi bajaj tanpa lelah. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Nama Engkong rupanya sudah melekat sejak lama dalam diri pria yang sudah memasuki usia senja itu. Saat saya tanya nama aslinya, tak begitu jelas dia menyebutkan, "Sariah, kurang lebih begitulah diejanya," ujarnya. 
Nama Engkong didapatkan dari teman-teman sesama pengemudi bajaj yang kemudian menuakan dirinya yang kini berusia genap 98 tahun. 
ADVERTISEMENT
Tak memiliki siapa-siapa lagi di Jakarta, Engkong hanya menumpang di tempat sang empunya bajaj di daerah Pulogadung, Jakarta Timur. Istrinya telah berpulang enam tahun silam.
Engkong hanya mengharapkan kebaikan sang majikan, pemilik bajaj yang memberikannya tempat berlindung dari panas, hujan, dan sekedar untuk beristirahat usai berkeliling ibu kota seharian penuh.
"Sedih saya, anak udah nggak sayang sama orang tua, saya kalau ingat itu kadang-kadang suka nangis sendiri," ucap Engkong sambil menyeka air mata.
Memasuki usia senja, Engkong hanya tinggal seorang diri. Dia menceritakan, keempat anaknya di kampung tak bersedia mengurus Engkong yang sudah renta. Mereka tak peduli lagi dengan nasib ayahnya.
"Dulu saya ngurusin anak cucu, giliran saya udah tua mereka enggak mau ngurusin," katanya dengan suara bergetar.
ADVERTISEMENT
Saat Engkong sakit, dirinya hanya bisa pulang kampung untuk menemui salah satu dari 12 cucunya yang setia merawatnya.
Engkong Sariah, fokus mengemudikan bajajnya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Bersama Engkong, saya mengelilingi ibukota. Pelan sekali dirinya mengemudi. Tak ayal sesekali kendaraan di belakang kami membunyikan klakson karena bajaj Engkong melaju begitu lambat. Tangan kirinya sudah tak kuat lagi menarik tuas kopling dan persneling. Engkong membutuhkan kedua tangannya hanya untuk menarik satu kopling untuk memindahkan persneling.
Matanya pun terkadang terasa perih. Tak henti-hentinya dia mengusap kedua matanya ketika asap Metro Mini dan Kopaja mengepul di sepanjang jalan yang dilalui. Engkong terpaksa harus bersahabat dengan polusi udara ibukota setiap hari.
Engkong Sariah mengusap peluh di dahinya. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)
Engkong masih ingat betul, semua berawal sejak perantauannya ke Jakarta tahun 1953 dulu. Jakarta masih asri dan sejuk. Dari beternak bebek di kampung hingga pergi ke Jakarta, dirinya mengaku pernah menarik becak saat perantauannya tahun 70-an.
ADVERTISEMENT
"Masih banyak delman dan becak. Beda dengan sekarang, jalanannya semakin macet," ujar pria kelahiran tahun 1919 silam ini. 
Di usia senjanya, Engkong memilih menarik bajaj ketimbang mengemis di pinggir jalan. Sehari dia bisa mendapatkan Rp 50-70 ribu hasil kerja kerasnya mengantarkan penumpang sampai tujuan. Jika dihitung, satu hari Engkong bisa mendapatkan 3-8 penumpang. Kadang kala, Engkong tak mendapatkan pelanggan satu pun. Hanya sedih yang bisa dirasakan saat rezeki enggan mendekat.
Tak terasa kami telah bercakap cakap setengah jam tanpa henti. Mulai dari Stasiun Gambir, Gereja Katedral, Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru, hingga hampir sampailah perjalanan kami ke tujuan awal, Stasiun Gondangdia. 
ADVERTISEMENT
Berangkat dengan semangat untuk mencari penghidupan inilah yang membuat Engkong memilih tetap mengemudikan bajajnya di tengah teriknya ibukota.  "Ya sedih, untuk makan hari itu uangnya nggak ada, kalau nggak narik bagaimana bisa makan?" ucapnya.
Engkong memilih tak mengemis. Tak tega dengan dirinya sendiri bila harus meminta belas kasihan orang lain. Pria yang sebentar lagi memasuki usia 100 tahun itu lebih rela tak mendapatkan satu penumpang pun asal tak mengemis di pinggir jalan. Bisa bertahan hidup dengan jerih payah sendiri, sudah cukup bagi Engkong.
Di usianya yang sudah senja, Engkong tetap memiliki keinginan terpendam. Sesekali dia bernostalgia, ingin kembali ke masa mudanya ketika masih memiliki tenaga yang kuat untuk bekerja sehari-hari. Satu keinginan terbesarnya saat ini, yakni tak ingin merepotkan banyak orang, Engkong masih ingin mengumpulkan uang untuk hidupnya dan biaya saat sewaktu-waktu jatuh sakit.
ADVERTISEMENT
Senyum Engkong Sariah pengemudi bajaj. (Foto: Kevin Kurnianto/kumparan)