Kisah Saya dan Suami Kena Corona Ketika Lonjakan Kasus Sedang Tinggi-tingginya

Nurlaela
second account
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2021 15:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurlaela tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sembari menyerahkan amplop putih berisi hasil pemeriksaan laboratorium, petugas medis mengucapkan kata-kata yang kami takutkan. "Bapak (suami saya) dan ibu (saya) positif," katanya.
ADVERTISEMENT
Kami sedang berada di sebuah klinik kecil di Anyar, Banten, 30 Juni 2021. Di sana ada ruang-ruang perawatan namun tidak ada ruang isolasi bagi pengidap COVID-19. Kami diminta pulang.
Yang kami rasakan adalah demam, sakit kepala, hingga nyeri tulang. Rasa sakit itu bercampur rasa khawatir karena ada orang tua di rumah yang kami tuju. Terpaksa mereka harus bersiap, hidup bersama penyandang COVID-19.
Kabar buruk positif corona ini saya sampaikan ke adik dan kakak ipar yang bersilaturahmi ke rumah dua-tiga hari sebelumnya. Ternyata mereka pun bergejala sama. Benar saja, setelah dicek, mereka pun positif corona.
"Akhirnya pecah telor juga setelah 1,5 tahun berjaga-jaga," kelakar kakak.
Dari kelakar menjadi gentar. Pukul 1 dini hari keesokan harinya, suami membangunkan saya karena sesak napas. Saturasinya di bawah rata-rata. Saya bingung harus berbuat apa. Waktu terasa sangat lama.
ADVERTISEMENT
Pagi hari, saya menceritakan kejadian sesak itu ke petugas puskesmas. Di Anyar ini, yang bisa kami hubungi memang hanya puskesmas setempat. Tapi percuma, tak ada bantuan. Kami terpaksa ke rumah sakit sendirian.
Bagaimana caranya membawa suami ke rumah sakit? Ada mobil, tapi saya tidak bisa menyetir mobil. Saya juga tidak tega bila disetiri orang tua.
Dalam kondisi serba-panik, suami meminta bantuan kawan-kawannya dan alhamdulillah ada seorang kawan yang bersedia mengantarkan kami ke rumah sakit meskipun risikonya terpapar sangat tinggi.
Di rumah sakit, masalah belum langsung teratasi. Tidak ada ruangan isolasi yang tersedia—lonjakan pasien corona sedang tinggi-tingginya sehingga suami terpaksa ditempatkan di Ruang Instalasi Gawat Darurat.
Selama 22 hari sejak saat itu, saya berpisah dengan suami. Saya hanya bisa membawakan makanan untuknya, itu pun hanya bisa diantarkan di depan pintu.
Ruang isolasi suami di RS. Saya hanya bisa mengantarkan makanan di depan pintu.
Makanan yang saya kirimkan untuk suami.
Untunglah gejala yang saya alami tidak parah. Cukup melakukan isolasi mandiri di kamar selama 14 hari, saya sudah kembali pulih. Gejala-gejala seperti flu dan anosmia berangsur hilang.
ADVERTISEMENT
Cobaan terberat justru datang dari "hati", ketika memikirkan kondisi suami yang menceritakan pasien di sebelahnya baru saja meninggal.
tempat isolasi saya selama di rumah. Biasanya saat siang saya tinggal di sana.
Sungguh lega ketika suami dibolehkan pulang untuk isolasi mandiri di rumah. Kondisinya belum 100 persen baik, pernapasannya masih harus ditopang oksigen murni dari tabung yang kami sewa.
Ada kondisi ketika kami down, bahkan suami sempat menyinggung wasiat—naudzubillah min dzaalik—tapi rasa optimistis kami tetap ada. Kini, 31 Agustus 2021, kami kian sehat. Kami harus konsisten menjaga badan supaya imunnya tetap kuat.
Semoga semua yang baca ini tetap sehat walafiat. Aammiin.
Teruntuk Elo dan Ibni, kawan yang mengantarkan kami ke rumah sakit (Elo ikut terpapar corona karena ini), kami sangat berterima kasih.
Suami yang masih dibantu oksigen saat berjemur.
Ilustrasi rumah terdapat pasien corona. Foto: Shutterstock