Konten dari Pengguna

Masihkah Kita Terbelenggu oleh Norma Sosial?

Nur Rizka Laila
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
19 Mei 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Rizka Laila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustri Wanita yang di Belenggu dengan Keadaan (Sumber: Dokumen Pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Ilustri Wanita yang di Belenggu dengan Keadaan (Sumber: Dokumen Pribadi).
ADVERTISEMENT
Di tengah banjir novel populer dan cerita-cerita ringan yang sering kita baca, ada satu karya sastra klasik yang sebenarnya menyimpan pesan mendalam tapi jarang diperbincangkan: Belenggu karya Armijn Pane.
ADVERTISEMENT
Novel ini bukan sekadar cerita cinta segitiga biasa. Lebih dari itu, Belenggu adalah potret konflik batin yang rumit, pergulatan moral, dan tekanan sosial yang membelenggu kehidupan manusia, terutama dalam ranah rumah tangga dan kebebasan pribadi.
Tokoh utama dalam novel ini, Sumartini, Sukartono, dan Rohayah, masing-masing menghadapi permasalahan yang saling terkait namun penuh paradoks. Sumartini, perempuan modern yang mendambakan kebebasan dan cinta sejati, justru merasa terkungkung dalam pernikahan yang penuh ketegangan dan kebohongan. Sukartono, sang suami, merupakan sosok idealis yang ingin hidup bebas dari ikatan sosial, tapi tak luput dari rasa bersalah dan tanggung jawab. Sedangkan Rohayah hadir sebagai representasi tradisi dan norma yang mengikat dan membatasi kebebasan mereka.
Yang membuat Belenggu menarik adalah cara Armijn Pane menggali kedalaman psikologis para tokohnya dengan sangat detail. Bahasa yang dipakai puitis, dialog penuh simbolisme, dan suasana cerita yang penuh ketegangan, mengajak pembaca untuk memahami konflik internal yang tidak hanya personal tapi juga sosial.
ADVERTISEMENT
Novel ini menyoroti bagaimana tekanan budaya dan norma sosial dapat menjadi “belenggu” yang menghambat seseorang untuk hidup bebas dan jujur terhadap dirinya sendiri. Di masa modern seperti sekarang, pesan ini tetap relevan. Kita sering melihat bagaimana banyak orang masih terperangkap oleh ekspektasi sosial, takut mengambil keputusan demi kebahagiaan pribadi, atau menahan diri demi menjaga citra dan tradisi.
Lebih dari sekadar cerita lama, Belenggu mengingatkan kita untuk mengevaluasi seberapa bebas kita sebenarnya dalam menjalani hidup. Apakah kita sudah benar-benar berani jujur pada diri sendiri? Atau justru masih terbelenggu oleh norma dan tekanan dari lingkungan sekitar?
Bagi saya, Belenggu adalah sebuah karya yang membuka mata tentang pentingnya kebebasan batin dan integritas diri. Ia mengajarkan bahwa kebebasan bukan berarti tanpa batas, tapi tentang memilih dengan sadar dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Membaca Belenggu adalah pengalaman yang menantang sekaligus memperkaya. Ia bukan hanya mengajak kita menyelami psikologi tokoh, tetapi juga merefleksikan kondisi masyarakat yang seringkali membatasi ruang gerak individu.
Oleh karena itu, saya percaya Belenggu layak mendapat perhatian lebih luas, terutama di kalangan generasi muda yang sedang mencari jati diri di tengah perubahan zaman. Novel ini bukan hanya literatur lama, tapi sumber pelajaran berharga tentang pergulatan batin yang universal dan abadi.