Konten dari Pengguna

Demokrasi, Anak Muda, dan Suara yang Tak Didengar

Fitriah Nursari Yusuf
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Udayana
30 April 2025 9:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitriah Nursari Yusuf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
WOKANDAPIX/Pixabay  https://pixabay.com/id/photos/kebebasan-demokrasi-amerika-2486201/
zoom-in-whitePerbesar
WOKANDAPIX/Pixabay https://pixabay.com/id/photos/kebebasan-demokrasi-amerika-2486201/

Anak muda diminta peduli politik, tapi sering dibungkam saat bersuara. Demokrasi tak bisa berjalan tanpa mendengar suara generasi muda—bukan hanya menghitungnya saat pemilu.

ADVERTISEMENT
1. Kita Diminta Peduli, Tapi Suara Kita Dianggap Berisik
ADVERTISEMENT
Sejak SMA kita dicekoki pentingnya ikut pemilu dan melek politik. Tapi saat kita bersuara—baik lewat unjuk rasa atau cuitan kritis di Twitter—kita justru dicap sok tahu, ikut-ikutan, atau dianggap "belum waktunya ngomong".
Padahal demokrasi bukan soal umur. Ini soal siapa pun yang punya kepedulian terhadap masa depan. Tapi ketika anak muda diminta peduli, lalu diremehkan saat benar-benar peduli, maka demokrasi terasa seperti permainan yang hanya untuk segelintir orang.
2. Demokrasi Kita Masih Berhenti di Bilik Suara
Pemilu memang penting. Tapi itu bukan segalanya. Demokrasi sejati harus hidup juga di luar bilik suara—di ruang diskusi, media sosial, dan jalanan.
Masalahnya, partisipasi kita sering hanya dihitung lima tahun sekali. Selebihnya, suara kita menguap. Kita boleh memilih, tapi tak benar-benar dilibatkan dalam proses setelahnya. Demokrasi yang seperti ini tak memberi ruang tumbuh bagi warga, hanya ilusi partisipasi.
ADVERTISEMENT
Fakta: Menurut survei CSIS (2022), sekitar 87,8% anak muda Indonesia merasa demokrasi penting, namun hanya 33,3% yang merasa suaranya benar-benar didengar oleh pemerintah. Artinya, ada jarak besar antara semangat partisipasi dan kenyataan di lapangan.
3. Hukum Kadang Jadi Senjata, Bukan Pelindung
Salah satu prinsip penting demokrasi adalah rule of law—hukum yang adil, tak pandang bulu, dan melindungi hak semua warga. Tapi realitanya, anak muda yang bersuara kritis malah sering dijerat hukum. Aktivis ditangkap, pembuat konten dilaporkan, dan unjuk rasa dibubarkan.
Kita jadi bertanya: di mana keadilan saat hukum hanya tajam ke bawah? Demokrasi tanpa hukum yang adil hanyalah topeng kosong. Tanpa perlindungan hukum yang setara, anak muda akan selalu berada di posisi rentan.
ADVERTISEMENT
4. Ruang Publik Menyempit, Demokrasi Ikut Tersekat
Media sosial dulunya jadi ruang terbuka: tempat berbagi opini, menyebar keresahan, dan mengorganisasi perubahan. Tapi kini, ruang itu makin diawasi. Unggahan bisa dipelintir, komentar bisa dijadikan dasar pelaporan, dan opini bisa berujung intimidasi.
Ini membuat banyak anak muda memilih diam. Padahal ruang publik, baik digital maupun fisik, adalah nyawa demokrasi. Ketika kita takut bicara, itu tanda demokrasi sedang sakit.
5. Anak Muda Punya Masa Depan, Tapi Tak Punya Ruang
Kita bukan generasi penonton. Dunia yang sedang dibentuk hari ini adalah dunia yang akan kita huni di masa depan. Tapi ketika suara anak muda terus dipinggirkan, maka demokrasi tak benar-benar inklusif.
Kita butuh ruang untuk didengar, bukan hanya dihitung. Demokrasi yang sehat adalah yang membuka telinga untuk mereka yang belum punya kuasa, tapi punya kepedulian.
ADVERTISEMENT
Anak muda tak butuh panggung besar, hanya butuh ruang yang adil untuk bicara. Saat hukum berdiri untuk semua, dan demokrasi membuka pintu, suara kita bisa jadi kekuatan perubahan.