Konten dari Pengguna

Demokrasi yang Terasa: Mengapa Skandinavia Bisa, Kita Belum?

Fitriah Nursari Yusuf
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Udayana
29 April 2025 23:42 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitriah Nursari Yusuf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Geralt/Pixabay   https://pixabay.com/id/photos/perlindungan-tangan-untuk-melindungi-450595/
zoom-in-whitePerbesar
Geralt/Pixabay https://pixabay.com/id/photos/perlindungan-tangan-untuk-melindungi-450595/

Demokrasi bukan cuma tentang mencoblos lima tahun sekali. Negara-negara Skandinavia menunjukkan bahwa demokrasi juga berarti hidup layak, layanan publik adil, dan suara warga yang benar-benar dihargai.

ADVERTISEMENT
Di Indonesia, demokrasi sering kali dimaknai secara sempit—sebatas soal pemilu lima tahunan. Asal bisa mencoblos, kita merasa sudah cukup demokratis. Padahal, demokrasi yang sejati seharusnya hadir dalam kehidupan sehari-hari: di sekolah, di puskesmas, di tempat kerja, bahkan di kolom komentar media sosial.
Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark bisa menjadi cermin bagaimana demokrasi tidak hanya soal prosedur, tapi juga substansi. Di sana, negara hadir tidak sekadar mengatur, tapi juga menjamin kualitas hidup warga secara setara.
Demokrasi Itu Bukan Sekadar TPS
Demokrasi prosedural menekankan pentingnya pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, dan sistem hukum yang independen. Semua ini penting—tapi belum cukup. Demokrasi substantif menuntut lebih: apakah negara menjamin hak-hak dasar warganya? Apakah semua orang punya akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan hidup layak?
ADVERTISEMENT
Di Skandinavia, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini cenderung "ya." Di Indonesia, jawabannya sering masih "belum."
Negara yang Tidak Absen
Di Swedia, pendidikan tidak hanya gratis, tapi juga berorientasi pada kesetaraan. Layanan kesehatan dijamin tanpa harus jadi orang kaya dulu. Transparansi bukan janji kampanye, tapi kewajiban hukum. Bahkan pajak tinggi diterima warga karena mereka tahu manfaatnya kembali ke publik.
Bandingkan dengan Indonesia: pendidikan masih jadi beban bagi banyak keluarga. Kesehatan bisa jadi mimpi buruk kalau tak punya asuransi. Dan soal transparansi, kita masih sering dibikin bingung mana informasi, mana propaganda.
Demokrasi Harus Membebaskan
Demokrasi yang sehat memberi ruang aman bagi perbedaan pendapat. Sayangnya, kita justru sering melihat kritik dibungkam lewat pasal karet. Mereka yang bersuara lantang bisa dijerat UU ITE, sementara mereka yang korup malah mendapat perlindungan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi bukan tentang siapa yang menang pemilu, tapi bagaimana kekuasaan dipertanggungjawabkan. Bukan tentang suara mayoritas semata, tapi juga perlindungan terhadap yang minoritas.
Kita Butuh Demokrasi yang Menyejahterakan
Belajar dari Skandinavia bukan berarti menyalin mentah-mentah. Tapi semangatnya bisa ditiru: membangun negara yang berpihak pada warganya, bukan pada elit. Di mana demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, tapi juga hak untuk hidup layak.
Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang terasa—bukan hanya di bilik suara, tapi juga di meja makan, di ruang kelas, dan di layanan publik yang adil.