Cak Nur, Muslim Inklusif, dan Pluralisme Agama.

Nur Setiawan
Alumnus jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Mahasiswa Program Master Rural Sociology, Faculty of Human Ecology, IPB University
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2020 9:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbicara mengenai Cak Nur tentu teringat akan gagasannya yang segar yaitu Muslim inklusif. Muslim inklusif artinya adalah Muslim yang terbuka dan membuka diri terhadap perbedaan dan perubahan zaman. Ini tentu berbeda dengan eksklusifisme, yang diartikan sebagai paham yang cenderung menutup diri dan tak mau mengakui perbedaan serta kebenaran yang terdapat dalam kelompok atau agama lain sehingga tak jarang paham eksklusif ini dapat menimbulkan salah paham antar pemeluk agama yang pada akhirnya berujung pada konflik dan kekerasan antar agama. Paham eksklusif ini bahkan menjadi bibit permusuhan antar pemeluk agama, dan tak diragukan lagi sikap ini juga yang melatarbelakangi terjadinya pemaksaan atas keyakinan orang lain.
ADVERTISEMENT
Eksklusifisme agama sepatutnya ditolak sebagai biang keladi berbagai konflik atas nama agama. Cak Nur menawarkan gagasan yang segar sebagai pengganti eksklusifisme Islam yaitu Islam yang inklusif dan terbuka. Islam yang tak lagi menganggap bahwa tak ada kebenaran di luar Islam.
Sebenarnya ada kaitan erat antara sikap inklusif ini dengan sikap pluralis dalam agama. Bahkan ada kaitan erat keduanya dengan tema-tema dalam filsafat perennial yaitu hubungan antara aspek esoteris dan eksoteris dalam agama. Aspek esoteris yaitu aspek inti atau hakekat agama-agama, dan aspek eksoteris yaitu aspek lahiriah yang bersifat historically organized (dibentuk oleh sejarah). Dua tema filsafat perennial ini yang menjadi pondasi epistemologis dari paham pluralisme agama.
Dalam realitasnya agama yang berbeda-beda kerap dilihat dari dimensi eksoterisnya. Padahal agama yang berbeda-beda itu sama pada dimensi esoterisnya. Artinya setiap agama atau bentuk kepercayaan apapun akan bermuara pada satu kebenaran hakiki yaitu Kebenaran Absolut (dengan ‘B’ besar), yang menciptakan kebenaran-kebenaran (dengan ‘b’ kecil). Itu artinya hanya Kebenaran Absolut yang menjadi tujuan akhir dari semua agama, bukan kebenaran-kebenaran semu yang jamak itu.
ADVERTISEMENT
Disinilah paham pluralisme agama mendapatkan landasan ontolologis dan epistemologisnya. Bahwa agama-agama akan bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu Kebenaran Absolut yang mengatasi kebenaran-kebenaran semu. Jadi dalam memahami perbedaan agama sebaiknya melepas pandangan semu kita dan masuk ke dalam inti spiritualitas agama-agama yang hakiki dan sejati.
Kaitannya dengan inklusifisme Islam adalah bahwa perbedaan agama sebaiknya disikapi dengan arif dan bijaksana dengan berlandaskan pada pluralitas kebenaran semu dan juga pada dimensi esoteris agama-agama yang hakiki. Tidak bijak jika kita berteriak-teriak di ruang publik bahwa agama kita sendiri sebagai benar sementara di luar itu sebagai sesat atau kafir. Sikap ini dapat menyuburkan bibit permusuhan antar agama yang kemudian akan berkembang menjadi konflik antar agama. Sikap keberagamaan inklusif juga harus berdasarkan pada relativisme kebenaran. Relativisme bukan berarti nihilisme tetapi tetap mengakui kebenaran hakiki dari kebenaran-kebenaran semu.
ADVERTISEMENT
Jika perbedaan agama yang ada di Indonesia tidak didukung oleh pandangan atau sikap keberagamaan yang inklusif, terbuka, dan plural, maka kemungkinan besar perbedaan itu akan menjadi momok yang menakutkan bagi kelangsungan kehidupan beragama di Indonesia apalagi di wilayah-wilayah yang memang persentase penganut masing-masing agama tak seimbang sehingga yang mayoritas dapat menekan yang minoritas. Oleh sebab itu gagasan inklusifisme Islam yang diajarkan Cak Nur diperlukan dalam membangun kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Kasus-kasus seperti kerusuhan Ambon dan Poso seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat multikultur dan multi agama di Indonesia. Kasus-kasus tersebut menunjukan bahwa perbedaan agama rawan konflik kekerasan atas nama agama. Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi seandainya masing-masing penganut agama bersikap inklusif, terbuka, toleran, dan plural. Kita tak bisa membiarkan kekerasan atas nama agama dan tak ada alasan untuk menyingkirkan perbedaan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menumbuhkan sikap inklusif dalam diri masing-masing pemeluk agama. Menghormati dan menghargai perbedaan memang menjadi tema penting gagasan inklusifisme Islam Cak Nur.
ADVERTISEMENT
Perbedaan bukan harus dihilangkan kemudian dibuat seragam. Tetapi perbedaan harus di hormati dan dihargai sebagai yang-beda. Yang-beda memiliki jalan dan caranya sendiri dalam menuju Kebenaran Hakiki. Begitu juga setiap agama punya cara dan metodenya sendiri dalam mendekati Kebenaran Hakiki. Tak bijak jika satu agama menggeneralisir cara dan metodenya pada agama-agama yang lain. Jika hal ini terjadi jangan heran suatu hari nanti terjadi pemaksaan keyakinan dan kepercayaan beragama. Jelas pemaksaan ini akan berakibat fatal yaitu pelanggaran atas kebebasan beragama dan mengabaikan hak-hak warga negara untuk memeluk agama yang dijamin oleh konstitusi kita.
Dalam sebuah masyarakat yang muktikultur sepatutnya menjunjung tinggi komunikasi yang bebas dari dominasi dan paksaan agar tercipta masyarakat yang demokratis. Masyarakat komunikatif seperti ini juga sepatutnya menjadi tujuan jangka panjang dari sikap inklusif dalam beragama. Dalam masyarakat multikultur diperlukan sikap inklusif agar terjalin komunikasi tanpa distorsi antar individu di dalamnya. Konflik terjadi jika dalam masyarakat multikultur komunikasi terhenti akibat dari dominasi satu kelompok dan individu atas yang lain sehingga terjadi pemaksaan keyakinan beragama dan akhirnya menciptakan kondisi ketidakbebasan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang tertata secara demokratis memang menuntut sikap terbuka dari individu-individu di dalamnya. Kenyataan seperti ini mengandaikan suatu kerjasama sosial yang baik antar individu. Kerjasama sosial tak mungkin terlaksana tanpa kesadaran untuk menghargai perbedaan dan mengembangkan sikap inklusif. Kerjasama sosial bukan hanya pada wilayah sosial, politik, dan ekonomi tetapi juga pada kehidupan beragama. Kerjasama sosial dalam kehidupan beragama harus dilandasi sikap menerima dan menghargai perbedaan. Menghargai dan menghormati perbedaan menjadi penting dalam suatu kerjasama sosial karena menjadi dasar untuk saling membantu dan menolong sesama pemeluk agama.
Demikianlah, pentingnya gagasan inklusifisme Islam Cak Nur dalam kehidupan beragama. Apalagi gagasan ini akan sangat diperlukan dalam masyarakat yang multikultur dan plural seperti di Indonesia. Cak Nur sendiri sangat menjunjung tinggi demokrasi karena erat kaitannya dengan sikap keterbukaan (inklusifisme).
ADVERTISEMENT
Gagasan inklusifisme Islam Cak Nur juga mampu merubah pemahaman keberagamaan umat Islam di Indonesia lantaran selama ini umat Islam kerap menutup diri dengan sikap ekslusifisme yang kaku. Dari sini Cak Nur kerap disebut sebagai tokoh pembaharu Islam dimana gagasan-gagasannya sangat diperlukan dalam membina kerukuan antar umat beragama dan menciptakan saling pemahaman yang baik antar pemeluk agama.
Tangerang Selatan
Nur Setiawan
Sumber Foto: https://herstory.co.id/read6686/cak-nur-dan-ceritanya-soal-perjuangan-kesetaraan-gender