Penulis, Teks, dan Pembaca

Nur Setiawan
Alumnus jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Mahasiswa Program Master Rural Sociology, Faculty of Human Ecology, IPB University
Konten dari Pengguna
16 Juni 2022 12:05 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita menulis. Foto: mentatdgt/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita menulis. Foto: mentatdgt/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menulis menjadi kegiatan yang membosankan bagi banyak orang. Tetapi menjadi amat mengasyikkan bagi segelintir yang lain. Ia kerap dianggap sebagai pekerjaan akademisi dan sastrawan belaka. Sedikit yang berminat menulis secara serius atau paling tidak sekedar mengekspresikan pikiran dalam selembar kertas. Menulis memang perlu ketekunan yang tinggi, tidak mudah menyerah, teliti, detail, dan punya perbendaharaan kata yang banyak. Mungkin juga harus mempunyai kemampuan seni “mengolah kata” yang baik. Tetapi bukan berarti menulis adalah pekerjaan yang sulit. Menulis hanya perlu belajar dan melatih diri terus-menerus. Jika sudah terbiasa dan kemampuannya terus dipertajam maka menulis menjadi kegiatan yang amat mengasyikkan. Bukan saja mengasyikkan tetapi juga sebagai kegiatan pelepas lelah, menajamkan ingatan dan imajinasi, serta melatih konsentrasi.
ADVERTISEMENT
Seseorang memang tak bisa langsung menulis dengan baik. Namun itu dapat dimulai dengan membuat tulisan sederhana di selembar kertas tentang pengalaman hidup sehari-hari. Bisa juga menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Tulislah dalam bentuk narasi atau seperti orang bercerita. Bayangkan bahwa kita sedang menceritakan pengalaman kita kepada orang banyak. Tuliskan latar ruang dan waktu saat menulis seperti keadaan cuaca, keadaan lingkungan, atau keadaan hati. Jangan lupa, perhatikan juga penggunaan bahasa. Dalam hal ini kita perlu mempelajari sintaksis atau tata-kata dalam kalimat.
Melalui kajian sintaksis maka urutan kata dalam kalimat tidak bisa bertukar tempat semaunya. Ia harus mengikuti kaidah bahasa yang baik. Kalimat “Budi memetik buah apel di kebun tadi sore” tak bisa ditukar posisinya menjadi “memetik kebun di buah Budi tadi apel sore”. Tentu pelanggaran terhadap kaidah ini akan mengakibatkan bukan saja maksud kalimat menjadi absurd tetapi kalimat menjadi tak bermakna. Bahkan mungkin akan disebut “aneh” karena dianggap tak lazim dalam berbahasa. Oleh karena itu saat menulis kita mesti mempelajari teknik menulis yang baik dan mengasyikkan sehingga menulis bukan saja menjadi kegiatan menyenangkan tetapi tulisan yang dihasilkan mampu memuaskan para pembaca.
ADVERTISEMENT
Menulis tentu berbeda dengan tuturan (bahasa lisan). Salah satu perbedaannya adalah pada proses pemaknaan. Dalam tuturan, misalnya saat memberi ceramah atau memerintah, makna tak bisa lain kecuali sudah ditentukan oleh si penutur. Oleh karena itu jika terjadi perbedaan makna maka pendengar dapat melakukan konfirmasi secara langsung kepada si penutur mengenai maksudnya. Sedangkan proses pemaknaan dalam teks tertulis selalu subjektif. Dengan kata lain menulis – dan tentunya teks – selalu menimbulkan tafsir dan makna yang beragam dari pembacanya.
Saat seseorang menulis sesungguhnya ia sedang melakukan penerjemahan konteks ke dalam teks. Ini bukan hendak mereduksi konteks yang kaya ke dalam teks melainkan mengkomunikasikan konteks tersebut kepada orang lain melalui teks. Apakah upaya tekstualisasi tersebut akhirnya mereduksi konteks adalah persoalan lain. Tapi yang pasti adalah tanpa tekstualisasi maka konteks hanya bersifat subjektif bahkan cenderung terjadi homogenisasi makna.
ADVERTISEMENT
Menuangkan pikiran-pikiran dan pengalaman-pengalaman yang kaya ke dalam teks tertulis tentu bukan upaya yang mudah. Seseorang harus memilih dan memilah kosakata yang sesuai dan mudah dipahami pembaca. Menghindari reduksi makna adalah upaya yang mesti dilakukan demi menjaga kekayaan pengalaman dan imajinasi penulis agar pembaca ikut merasakan apa yang penulis alami dan pikirkan. Di titik inilah menulis menjadi pekerjaan yang mengasyikkan, karena secara tak langsung mengajak pembaca menyelami kekayaan pengalaman si penulis. Oleh karena itu sesuangguhnya menulis dapat memperluas sense of humanity dan – meminjam istilah dari Richard Rorty – “solidaritas kemanusiaan” kita sebagai manusia.
Menulis juga adalah upaya memindahkan realitas ke dalam struktur bahasa tertulis. Upaya ini tidak bertujuan untuk menempatkan tulisan sebagai representasi atas realitas sehingga mengabaikan penggunaan bahasa yang unik di tiap-tiap budaya melainkan bahwa melalui teks realitas hendak ditransmisikan kepada para pembaca. Jadi, menulis adalah pengalaman yang holistik. Dengan kata lain, menulis adalah keterampilan memposisikan diri pada – dan menjadi bagian dari – jejaring realitas yang kait mengkait dalam ruang dan waktu yang tak terbatas lalu menyampaikannya kepada khalayak pembaca. Karena pengalaman holistik tersebut maka menulis tak bisa dilakukan setengah hati. Ia mesti dilakukan sepenuh hati.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari semua itu, menulis sesungguhnya punya banyak manfaat. Diantara manfaat tersebut adalah memotivasi si penulis untuk mengeksplorasi wawasan lebih banyak melalui membaca dan terlibat dalam pergaulan sosial yang lebih luas. Selain itu menulis juga membuat si penulis berpikir lebih bijaksana, sistematis, dan koheren. Perbedaan mencolok antara penulis dan bukan penulis adalah kemampuan berpikir sistematis dan bijaksana. Seorang penulis akan terlatih berpikir sistematis dan bijaksana sehingga ia akan mengurutkan setiap peristiwa dalam tata urutan yang logis serta menggunakan bahasa secara efektif dan efesien tanpa mengurangi arti dan makna yang hendak disampaikan.
Akhirnya, saya teringat pada sebuah adagium terkenal dari Pramoedya Ananta Toer, “menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Adagium ini kerap saya dengar dulu saat masih kuliah sarjana di UIN Syarif Hidayatullah jakarta. Menulis bukanlah coretan yang tak bermakna tetapi ia adalah proses-diri dalam memaknai kehidupan di panggung sejarah. Menulis tak hanya mengekspresikan pikiran-pikiran dan imajinasi kita tetapi juga menjejakkan jiwa pada ruang dan waktu yang tak terbatas. Menulis bukan saja menjelaskan tentang masa kini tetapi juga merupakan pemahaman dan pemaknaan tentang masa lalu, dan membangun dialog dengan masa depan. Tetapi saat selesai ditulis maka tulisan atau teks tak lagi berdialog dengan masa lalu, tetapi dengan masa kini, dan masa depan.
ADVERTISEMENT
Tulisan atau teks akan berdialog dengan pembaca-pembacanya yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di situlah kemudian terjadi – meminjam konsep Gadamer – fusion of horizons antara penulis dan pembacanya. Dengan demikian mesti dipahami bahwa teks tak lagi milik si penulis. Ia sudah menjadi milik pembaca dengan setting sosial dan budaya yang unik. Pembaca tak lagi menggantungkan makna teks tulisan pada makna awal dari penulisnya. Makna – seperti diungkapkan Derrida – ‘menyebar’ melintasi sejarah. Makna tak lagi direproduksi dan direkonstruksi tetapi selalu diproduksi dan dikonstruksi terus-menerus dengan latar sosial dan budaya yang beragam.
Maka dari itu walaupun si penulis sudah tiada namun pikiran-pikirannya tetap hidup melintasi sejarah. Dengan kata lain, mengulang Adagium Bung Pram diatas, “menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
ADVERTISEMENT