Konten dari Pengguna

China Menjadi Penguasa Photovoltaik Dunia? Apakah Indonesia Bisa Menyusulnya?

Nur Setyo Widodo
Saya merupakan Mahasiswa dari jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada yang fokus di bidang energi dan instrumentasi
4 Maret 2022 21:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Setyo Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa negara di dunia termasuk China sudah mulai melakukan kebijakan transisi energi dari energi konvensional menjadi energi terbarukan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya telah menjadi pembangkit listrik favorit di dunia yang semakin lama akan menjadi pembangkit listrik yang mendominasi di dunia. Berikut merupakan Grafik Global PV Production tahun 1997 – 2019,
Sumber : BP Statistical, International Energy  Agency Photovoltaics Power Systems Programme, HIS Markit, ISE Fraunhofer, and further processed
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : BP Statistical, International Energy Agency Photovoltaics Power Systems Programme, HIS Markit, ISE Fraunhofer, and further processed
Bahkan dari tahun 1997 beberapa negara di dunia sudah melakukan Reseach and Development terhadap sistem photovoltaic diantaranya adalah Jepang, China, Taiwan, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa dan negara lainnya. Dalam retang tahun 1997 hingga 2006 , peringkat 3 besar produksi photovoltaic di dunia dipimpin oleh Jepang, dilanjutkan dengan Amerika, dan Eropa.
ADVERTISEMENT
Namun Amerika mengalami penurunan produksi seiring bertambahnya tahun karena adanya masalah perdagangan photovoltaic dengan China. Amerika Serikat mengatakan bahwa negaranya akan menyubsidi perusahaan energi terbarukan da mengenakan bea masuk pada produk impor. Menurut kementrian perdagangan China, “Pelanggaran AS sangat mengganggu perdagangan dunia untuk produk seperti photovoltaic dan sangat mengganggu kepentingan perdagangan China, keputusan China menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa WTO adalah langkah yang diperlukan untuk menjaga haknya dan mempertahankan aturan perdagangan multilateral.” Sehingga Amerika Serikat harus mengurangi jumlah produksi photovoltaic di negaranya. Jepang juga mengalami penurunan setelah tahun 2006, disusul oleh Eropa di tahun 2009. Berkebalikan dengan China, di tahun 2004 China mulai bangkit hingga akhirnya di tahun 2019 China menguasai pasar produksi PV global 60-70%.
Sumber : BP Statistical, International Energy Agency Photovoltaics Power Systems Programme, HIS Markit, ISE Fraunhofer, and further processed
Grafik di atas merupakan data Global PV kumulatif yang terpasang. Berdasarkan grafik di atas China, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikan mengalami peningkatan pemasangan PV dari tahun 1996 hingga 2019. Pada tahun 1997 Amerika Serikat menguasai pasar produksi photovoltaic terbesar, namun kapasitas pemasangan di negaranya bisa dibilang cukup rendah. China menguasai market PV terbesar sekarang sekaligun menjadi negara dengan kapasitas pemasangan sistem photovoltaic terbesar di banding 3 negara tadi.
ADVERTISEMENT
Dari total 115 GW kapasitas photovoltaic yang terpasang di dunia pada tahun 2019, China memimpin dengan presentase 71%. Bisa di bilang China adalah negara penguasa marketing photovoltaic di dunia, jika implikasi dari penjualan market photovoltaic China semakin turun, tentunya akan berdampak buruk terhadap penjualan photovoltaic dunia. Bahan baku panel photovoltaic itu sendiri adalah kristal silicon, dimana itu bisa digunakan untuk barang elektronik juga. China sangat mengerti skenario pasar ini akan kemana saja, sehingga keunggulan China dalam hal ini menyebabkan pasar photovoltaic China akan semakin besar, dan demand-nya masih sangat tinggi dan akan terus bertambah, sehingga sulit untuk diprediksi kapan global photovoltaic market akan turun.
Sumber : Thesis Iqbal Ramli, Analisis Pengukuran Smiling Curves pada Pengembangan Industri Panel Surya di Indonesia, TSE FTUI 2021
Gambar di atas merupakan teori smile curve yang prinsipnya dipegang oleh banyak negara untuk menunjukkan bahwa keberhasilan produk terkait erat dengan konsep, penelitian, penyebaran merek, dan pemasaran. Faktor – faktor tersebut mengharuskan perusahaan – perusahaan untuk memperkerjakan dan mempertahankan professional yang sangat terampil dan cerdas. Berikut ini merupakan penjelasan dari kurva tersebut,
ADVERTISEMENT
- Sisi vertikal (value adding effect) merupakan nilai lebih dari sebuah produk dari harga produk itu dikurangi dengan biaya produksi
- R&D product development merupakan negara dengan research yang bisa menghasilkan paten maka negara tsb akan memiliki value adding paling tinggi. kalau di PV, research and development, raw material, dan wafer processing.
- Component manufacturing (membuat komponen) adalah dengan mengubah raw material menjadi cell
- Component integration (assembling cell) adalah dengan merakit komponen. value addingnya rendah, karena harga panel sudah murah.
- Selling atau menjual, dari situlah mulai tumbuh perusahaan EPC (Engineering procurement construction). EPC hanya memberi barang jadi, kemudian mendesain sebuah sistem PLTS untuk costumers.
- After service yaitu maintenance system secara berkala
ADVERTISEMENT
Negara yang bisa memiliki kelimanya, maka value adding effectnya tinggi. Indonesia masih di tahap component integration, selling, meskipun memiliki raw material seperti pasir silika yang mumpuni. Tapi, belum punya research and development (bentuk paten), sehingga R&D product developmentnya belum jalan. Yang mungkin dilakukan Indonesia adalah dengan mencari inovasi model bisnis baru untuk PV, karena sulit menyusul pasar China yang sudah tinggi. China bisa disebut sebagai juragan photovoltaic karena kebijakan pemerintah yang sangat mensupport perkembangan teknologinya dan mempromosikan. Bahkan bukan hanya sebagai perakit, namun komponen – komponen dari photovoltaic itu sendiri dikuasai oleh pasar China, mulai dari inverter, kristal silikon, dan lainya.
Apakah Indonesia bisa menyusul China? Jawabannya tentu bisa, sumber daya manusia Indonesia merupakan orang – orang yang sangat pintar, bahkan riset penelitian dan ide-ide yang dihasilkan oleh mahasiswa Indonesia. Namun hanya dengan akal yang sangat pintar tentu belum bisa menyaingi Negara China. Tentunya harus diikuti oleh dukungan pemerintah, masyarakat, dan lingkungan yang mendukung. Bisa dimulai dengan penyediaan dana yang cukup dalam pengembangan riset mahasiswa, fasilitas yang mendukung yang didesain untu mendukung industri, sehingga tidak jarang kita temui riset – riset bagus dari mahasiswa hanya berhenti sampai tahap research paper.
ADVERTISEMENT