Konten dari Pengguna

Menghilangkan Pandangan Toxic Masculinity dalam Rumah Tangga

Nura Defriani
Mahasiswi Universitas Pamulang
19 Oktober 2022 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nura Defriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
by pixabay
zoom-in-whitePerbesar
by pixabay
ADVERTISEMENT
Telah umum di masyarakat kita bahwa pemikiran pria lebih kuat daripada wanita.
ADVERTISEMENT
Banyak anak laki-laki dibesarkan untuk menjadi pria tangguh dan kuat. Mereka percaya bahwa kegiatan "rumahan" seperti memasak dan mengasuh anak hanya dilakukan oleh perempuan.
Salah satu yang biasa kita temui dan sudah lumrah di masyarakat yaitu anggapan anggapan masyarakat bahwa hanya anak perempuan yang disuruh membantu ibu mereka melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, dan mencuci piring.
Anggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh mengekspresikan emosinya, seperti menangis, dan harus tampil lebih kuat daripada wanita, merupakan respons yang lebih ekstrem terhadap toxic masculinity yang telah ditanamkan di masyarakat sejak kecil. Padahal mengekspresikan emosi, seperti menangis, adalah sifat manusia yang diberikan Tuhan.
Orang-orang, terutama anak-anak, telah terpapar dengan kata-kata orang dewasa yang secara tidak sadar membentuk kepercayaan tentang toxic masculinity di usia muda, seperti "Anak laki-laki tidak boleh menangis, mereka akan sama dengan anak perempuan." Akibatnya, asumsi ini telah diterima dan dipertahankan sebagai identitas yang membedakan kedua jenis kelamin pada kesempatan tertentu. Hingga saat ini, perilaku tersebut telah membentuk budaya yang berakar pada konstruksi sosial masyarakat yang patriarki.
ADVERTISEMENT
Sejak 1980-an dan 1990-an, istilah toxic masculinity telah ada. Menurut penulis Emily C.A. Dalam tulisan di situs nytimes.com, istilah toxic masculinity diciptakan untuk membedakan sifat negatif laki-laki dengan sifat positif laki-laki. Toxic masculinity didefinisikan sebagai perilaku yang hanya berfokus pada peran gender dan karakteristik pria.
Dalam toxic masculinity, definisi maskulinitas yang melekat sebagai sifat laki-laki identik dengan agresi seksual, penolakan untuk menunjukkan emosi, dan kekerasan. Definisi serupa diberikan dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Psychology. Studi ini mendefinisikan toxic masculinity sebagai kumpulan sifat maskulin dalam konstruksi sosial yang mendorong dominasi, kekerasan, homophobia, dan penghinaan terhadap perempuan.
Toxic masculinity dapat ditemukan dihampir setiap aspek kehidupan, termasuk dalam pernikahan. Orang terbiasa dengan anggapan bahwa laki-laki bekerja dan perempuan mengurus rumah.
ADVERTISEMENT
Masyarakat yang memiliki pandangan terbatas tentang maskulinitas percaya bahwa kegiatan seperti memasak, membersihkan rumah, dan membesarkan anak secara eksklusif adalah tanggung jawab perempuan. Akibatnya, laki-laki akan menolak untuk melakukannya.
Antipati seorang suami terhadap pekerjaan istrinya berasal dari pandangan terbatas tentang maskulinitas. Kehadiran maskulinitas beracun sebenarnya ditakuti akibat persepsi publik seperti itu.
Masyarakat mengharapkan laki-laki melahirkan jiwa maskulin dalam arti kuat, tanpa emosi, dan pencari nafkah. Tuntutan sosial ini adalah tantangan yang signifikan bagi laki-laki karena tidak mampu memenuhinya.
Laki-laki juga enggan untuk berkontribusi di ranah domestik rumah tangga akibat tuntutan sosial tersebut. Padahal, dengan partisipasi laki-laki di ranah domestik, keluarga memperoleh manfaat seperti dekat dengan keluarga, terutama dengan anak-anak, dan dapat memantau tumbuh kembang mereka.
ADVERTISEMENT
Keyakinan masyarakat bahwa toxic masculinity adalah pembeda gender telah mempengaruhi Indonesia, yang menempati peringkat ketiga fatherless country di dunia .
Menurut warta Ekonomi.co.id, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa maraknya kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini harus dilihat sebagai peringatan bagi semua pihak, terutama orang tua, mengingat Indonesia saat ini menempati urutan ketiga negara tanpa ayah terbanyak di dunia.
Qori Zuroida, perwakilan tim proyek kemanusiaan yang terdiri dari sepuluh mahasiswa Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta angkatan 2019, juga menjelaskan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal negara tanpa ayah per Maret 2021.
“Salah satunya karena peran gender tradisional yang masih melekat di masyarakat Indonesia. Budaya atau adanya pandangan di mana merawat anak adalah sepenuhnya hal yang dilakukan oleh seorang ibu saja. Sehingga edukasi ini juga bertujuan untuk meminimalisir budaya patriarki yang ada di Indonesia,” ungkap Qori, Sabtu (2/10/2021).
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, peran pria dalam urusan rumah tangga sangatlah penting. Penting bagi seorang pria untuk memainkan peran seorang ayah tidak hanya untuk pekerjaan "berbasis rumah", tetapi juga untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa kehadiran toxic masculinity adalah karena tuntutan masyarakat pada laki-laki tentang perbedaan gender, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi untuk menciptakan budaya. Ini harus dihapus secara bertahap karena mempersempit persepsi orang tentang peran gender laki-laki.
Laki-laki tidak hanya bertanggung jawab untuk mencari nafkah dan melakukan tugas yang membutuhkan jenis energi lain. Laki-laki juga dapat membantu mengurus rumah tangga dan mendidik anak, dengan bantuan perempuan, untuk mencapai keseimbangan kehidupan yang baik dalam keluarga.
ADVERTISEMENT