Konten dari Pengguna

Memandang Korban Revenge Porn: Seperti Burung Dalam Sangkar

Nuratika Situmorang
Mahasiswa Fakultas Hukum USU
9 Oktober 2024 13:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuratika Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: (Dokumen Saya)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: (Dokumen Saya)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dewasa ini Pengguna media internet semakin banyak di Indonesia, Penggunaan media internet tidak hanya memberikan keuntungan, akan tetapi juga kerugian akibat penyalahgunaan media internet sebagai sarana melakukan kejahatan, termasuk pornografi. Kejahatan yang terjadi di internet terutama kekerasan yang bersifat nonkonseksual ini biasanya berawal dari persetujuan korban sebagai salah satu pihak yang berkontribusi dalam pembuatan pornografi sebagai kepentingan diri. Persetujuan korban dalam hal ini dimungkinkan mengingat pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri dikecualikan dari larangan pornografi berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Pengecualian tersebut memposisikan pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri diperbolehkan sepanjang tidak disebarluaskan. Pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri pada dasarnya dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, terkait dengan substansi informasi yang dibuat maupun tujuan pembuatan informasi tersebut. Kedua belah pihak menempatkan diri sebagai pembuat informasi bermuatan pornografi tersebut. Kedua belah pihak juga menyetujui pembuatan tersebut untuk dokumentasi pribadi, bukan untuk disebarluaskan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus revenge porn, penyebarluasan informasi bermuatan pornografi tersebut dilakukan oleh salah satu pasangan dengan tujuan membalas dendam atas sakit hati yang dilakukan oleh pasangannya. Revenge porn ini biasanya dilakukan melalui postingan gambar atau video yang senonoh secara seksual tentang korbannya. Revenge porn berbeda dengan bentuk pelecehan dunia maya lainnya karena korban turut ikut serta dan pada akhirnya mereka menjadi korban karena mereka melakukannya dengan adanya rasa suka sama suka, atau dengan persetujuan korban sendiri.
Pada kajian teori viktimologi, pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri walaupun disetujui oleh kedua belah pihak tetap terdapat korban. Ezzat A. Fattah menjelaskan keterkaitan korban dengan kejahatan yang terjadi dalam 5 (lima) bentuk, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Non participating victims yaitu korban yang menggangap bahwa kejahatan tidak ada dan dirinya tidak akan terkena kejahatan.
2. Latent or Predisposed Victims yaitu seorang yang karakternya memudahkan dirinya menjadi korban kejahatan.
3. Provocative Victims yaitu orang karena kondisi atau tingkah lakunya memicu terjadinya kejahatan.
4. Participating Victims yaitu orang yang menjadi korban karena tingkah lakunya sendiri.
5. False Victims yaitu orang yang menjadi korban karena kehendaknya sendiri
Korban revenge porn biasanya akan mengalami penderitaan mental psikologis, keuangan, dan penderitaan fisik maupun diskriminasi berupa pelecehan seksual melalui media sosial akibat tersebarnya informasi bermuatan pornografi didukung persepsi pornografi selalu melibatkan tubuh dan persepsi seksualitas.
Kondisi yang membuat korban mengalami trauma yang mendalam adalah karena sulitnya melakukan penghapusan informasi bermuatan pornografi dari media internet yang semakin tersebar luas. Pihak penyedia jasa layanan internet pun tidak akan menghapus informasi bermuatan pornografi secara otomatis. Pihak korban yang merasa dirugikan akibat suatu informasi harus mengupayakan permohonan penghapusan informasi tersebut dengan alasan yang dapat diterima. Proses penghapusan informasi juga membutuhkan waktu yang lama padahal informasi bermuatan pornografi tersebut telah tersebar luas di internet.
ADVERTISEMENT
Posisi Korban
Persetujuan memang diberikan untuk membuat gambar diri dan/atau pasangan dalam keadaan telanjang. Sebuah penelitian menarik dari Hald dan Å tulhofer23 menegaskan kecenderungan pornografi lebih besar pada laki-laki heteroseksual daripada perempuan heterseksual, sehingga pembuatan pornografi pun sering terjadi. Akan tetapi tidak dapat dipahami juga bahwa korban tidak memberikan persetujuan bahwa gambar tersebut di kemudian hari akan disebarluaskan. Perubahan kondisi dari sisi persetujuan korban, semula menyetujui pembuatan pornografi, tetapi di kemudian hari secara sepihak pelaku tanpa persetujuan korban lalu menyebarluaskan pornogarfi tersebut.
Pelaku dan korban umunya merupakan pasangan kekasih yang menghendaki dibuatnya informasi yang isinya diketahui pula melanggar kesusilaan. Artinya, baik pelaku dan korban memiliki pengetahuan bahwa informasi yang dibuat memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, demikian pula keduanya menyetujui pembuatan informasi tersebut. Perihal bentuk dan muatan informasi yang melanggar kesusilaan pada dasarnya sangat beragam dapat berupa gambar, kartun, animasi, teks, rekaman suara ataupun rekaman video. Tujuan membalaskan dendam atau sakit hati pelaku atas perbuatan korban menjadi tujuan disebarluaskannya informasi yang memuat pelanggaran kesusilaan. Penyebarluasan informasi yang mengandung muatan melanggar kesusilaan tidak semata-mata ditujukan supaya orang lain mengetahui informasi asusila. Penyebarluasan informasi memiliki motif yang jelas supaya korban merasa malu atau rusak kehormatannya menjadi model pornografi.
ADVERTISEMENT
Perihal pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri memang dikecualikan dari larangan pornografi sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Artinya, ia tidak dapat dimasukkan dalam kategori korban perbuatan pornografi secara yurudis normatif. Walaupun demikian, seseorang menjadi model atau pemeran adegan dipandang dari sisi teori viktimologi.
Pemikiran akan pentingnya melibatkan korban dalam pemahaman kejahatan tidak dapat dilepaskan dari Deklarasi PBB tahun 1985 Nomor 40/34 tanggal 29 November 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Berdasarkan deklarasi tersebut peran serta korban dalam kejahatan terkait erat dengan viktimisasi, baik karena keadaan maupun perbuatan pelaku kejahatan. Artinya, korban tetap dipandang penting diperhatikan peran dan kedudukannya atas kejahatan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Seseorang baru menjadi korban revenge porn pada saat informasi yang memuat pelanggaran kesusilaan disebarluaskan tanpa persetujuan dirinya. Korban dalam situasi demikian diciderai janjinya tentang tujuan pembuatan informasi yang memiliki muatan melanggar kesusilaan untuk kepentingan sendiri. Akibat penyebarluasan informasi yang melanggar kesusilaan korban mengalami tekanan secara mental dengan adanya nama baik yang dicemarkan, stigma negatif dari masyarakat karena ikut serta dalam pembuatan pornografi dan materi informasi yang terus beredar luas di media internet (victim blamming).
Posisi Korban pada dasarnya memiliki pengetahuan akan dirinya menjadi model pornografi atas dasar relasi cinta dengan pelaku. Kondisi tersebut menunjukkan korban mempermudah diri untuk difoto atau direkam menjadi model pornografi. Kemudahan yang diberikan korban revenge porn tampak dengan jelas dari persetujuan yang diberikan, bahkan tanpa penolakan atau perlawanan atas perbuatan mendokumentasikan pornografi.
ADVERTISEMENT
Jika diperhatikan korban justru karena perbuatannya menjadi korban revenge porn sendiri (Participating Victims). Berdasarkan pemahaman tersebut korban memang memiliki kontribusi atas kejahatan revenge porn. Hanya saja pemahaman akan peran korban, baik dalam bentuk Predisposed Victims dan Participating Victims tidak sejalan dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Secara yuridis normatif, pembuatan pornografi untuk kepentingan sendiri dikecualikan atas larangan pornografi. UU Pornografi jelas mengabaikan kedudukan dan peran serta korban dalam revenge porn dan hanya berfokus pada pelaku yang membuat pornografi.