Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Saat Pajak Jadi Urusan Negara Kaya, Negara Miskin Gigit Jari
7 Mei 2025 17:26 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari nurbaityjannah04 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Dalam dunia yang saling terhubung, pergerakan modal dan bisnis lintas negara menjadi semakin masif. Di tengah arus ini, instrumen tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) menjadi pondasi penting dalam mengatur siapa yang berhak mengenakan pajak atas penghasilan lintas batas. Namun, di balik niat baik untuk menghindari pajak berganda, tax treaty juga menyimpan potensi besar menciptakan ketimpangan terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
ADVERTISEMENT
tax treaty adalah perjanjian bilateral antara dua negara untuk menentukan pembagian hak pemajakan atas penghasilan lintas yurisdiksi misalnya Dividen, Bunga, Royalti, atau penghasilan dari jasa. Tujuannya adalah mencegah pajak ganda, memberikan kepastian hukum bagi Investor, dan mendorong iklim investasi. Indonesia sendiri saat ini memiliki lebih dari 70 tax treaty aktif dengan berbagai negara mitra, mulai dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, hingga yurisdiksi pajak rendah seperti Belanda, Swiss, dan Uni Emirat Arab. Namun, seiring waktu, banyak kalangan mulai mempertanyakan: apakah tax treaty benar-benar memberikan manfaat seimbang bagi kedua pihak?
Dalam banyak kasus, tax treaty justru membuat negara sumber yaitu negara tempat aktivitas ekonomi terjadi dan keuntungan dihasilkan kehilangan hak pemajakannya. Misalnya, tarif pajak atas royalti atau bunga yang semula 15% bisa dipangkas menjadi hanya 5% atau bahkan 0% dalam tax treaty.
ADVERTISEMENT
Bagi negara berkembang yang sangat bergantung pada penerimaan pajak, ini menjadi masalah serius. Celah ini juga dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk melakukan praktik "Treaty Shopping" yaitu mendirikan perusahaan cangkang di negara mitra tax treaty hanya demi mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah.
Contoh nyata adalah kasus perusahaan digital asing yang menjual jasa ke Indonesia namun menagihkan pembayaran melalui entitas di negara seperti Singapura atau Belanda agar dapat menikmati perlakuan pajak lebih ringan berdasarkan P3B. Akibatnya, penerimaan pajak Indonesia bocor, dan keadilan fiskal pun tercederai.
Saatnya Revisi dan Reposisi, Indonesia perlu bersikap lebih selektif dan strategis dalam menyusun, meninjau ulang, dan bahkan merevisi tax treaty yang merugikan. Langkah seperti yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk renegosiasi tax treaty dengan Swiss dan Belanda patut diapresiasi, karena menunjukkan keberanian diplomatik untuk melindungi hak pemajakan nasional.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Indonesia perlu memperkuat klausul anti-abuse, seperti Principal Purpose Test (PPT) atau Limitation on Benefits (LOB) dalam setiap tax treaty. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan dan praktik treaty shopping yang merugikan.
Selain itu, kerja sama multilateral melalui inisiatif seperti Multilateral Instrument (MLI) dari OECD memungkinkan negara-negara menyesuaikan tax treaty secara lebih cepat dan terkoordinasi. Indonesia sudah menjadi bagian dari MLI namun implementasi efektif di lapangan tetap menjadi tantangan tersendiri.
Diplomasi Fiskal yang Adil, Tax treaty bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah alat diplomasi ekonomi. Dan seperti halnya diplomasi, perjanjian ini harus mencerminkan keseimbangan kekuasaan dan kepentingan kedua negara.
Sayangnya, dalam praktiknya, negara-negara berkembang kerap berada di posisi tawar yang lebih lemah. Tax treaty menjadi instrumen untuk menarik investasi asing, namun dengan harga yang mahal yaitu hilangnya potensi penerimaan pajak jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Indonesia harus memperkuat kapasitas negosiator pajak internasionalnya, memastikan setiap perjanjian disusun dengan mempertimbangkan aspek pembangunan nasional dan kedaulatan fiskal. Kita juga harus lebih transparan kepada publik tentang isi dan dampak setiap tax treaty yang kita tandatangani.
Tax treaty bukanlah alat yang salah. Tapi tanpa prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hak negara sumber, ia bisa menjadi bumerang. Di tengah meningkatnya kesadaran global tentang keadilan pajak, Indonesia punya momentum untuk mereformasi pendekatan terhadap tax treaty bukan hanya sebagai alat penghindaran pajak berganda, tapi juga sebagai sarana untuk memperjuangkan keadilan fiskal lintas negara.
Nur Baity Jannah, mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Pamulang.