Konten dari Pengguna

Menyikapi Perma RI No.1 Tahun 2023 Tentang Mengadili Perkara Lingkungan Hidup

Nur Muhammad Fadhil
Mahasiswa program studi Perbandingan Madzhab dan anggota KPA Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19 Agustus 2024 10:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Muhammad Fadhil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto bersama kegiatan maharipal environment talk mengenai "implementasi peraturan mahkamah agung RI No.1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup"
zoom-in-whitePerbesar
foto bersama kegiatan maharipal environment talk mengenai "implementasi peraturan mahkamah agung RI No.1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup"
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena mengenai rusaknya lingkungan hidup masih marak terjadi, para aktivis lingkungan dan kelompok pecinta alam sering kali terkendala pada jenjang advokasi dan selalu terjadi pembungkaman
ADVERTISEMENT
terhadap para aktivis lingkungan.
SLAPP, pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Geerge W. Pring dan Dr. Penelope Canan pada tahun 1996 dalam buku mereka yang berjudul “SLAPP’s: Getting Sued For Speaking Out”. SLAPP menggunakan mekanisme peradilan untuk menyerang target/korban dengan maksud untuk membungkam atau mengintimidasi Masyarakat atau aktivis lingkungan hidup yang melaksanakan partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak asasi manusia.
Pengembangan kebijakan anti SLAPP selalu dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang mengaktualisasikan hak warga negara maupun kelompok masyarakat untuk berperan serta dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun perlindungan terhadap korban/pemerhati lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 66 UU PPLH namun gugatan maupun laporan polisi terus terjadi. Pada hukum acara pidana maupun perdata belum ada aturan terkait anti SLAPP (perlindungan terhadap partisipasi masyarakat).
ADVERTISEMENT
Pasal 66 UU PPLH adalah anti SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Againts Public Participation) yang merupakan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Pengaturan tentang anti SLAPP disuarakan pertama kali dalam RDPU DPR RI dengan beberapa organisasi lingkungan hidup pada saat pembahasan RUU PPLH, karena banyaknya gugatan perdata/laporan pidana terhadap para pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Usulan tersebut disetujui yang kemudian diimplementasikan dalam Pasal 66 UU PPLH.
Modus yang dilakukan oleh SLAPP untuk melawan korban/penggiat lingkungan hidup, yaitu dengan membungkam partisipasi masyarakat dan menimbulkan rasa takut agar masyarakat tidak lagi menyatakan keberatan /mengkritisi/membuat pengaduan atas kegiatan usaha mereka yang diduga/telah menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada September 2022, Jaksa Agung telah menetapkan pedoman jaksa agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang penanganan perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bab VI pedoman tersebut memuat ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup (Anti-SLAPP).
ADVERTISEMENT
Dengan adanya PERMA NO.1 TAHUN 2023, memberikan angin segar kepada para aktivis lingkungan hidup dan kelompok pecinta alam yang turut ikut serta dalam menyuarakan terkait perkara-perkara lingkungan hidup. Peraturan tersebut memberikan perlindungan kepada mereka yang menyuarakan hak-hak yang dirampas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada pasal 1 no.6 dikatakan bahwa “Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, yang terdiri atas satu orang atau lebih yang mengajukan gugatan untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud”, lalu pada pasal 1 no.7 juga disebutkan “Gugatan organisasi lingkungan hidup adalah suatu tata cara pengajuan gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diajukan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan lagi bagi para aktivis lingkungan hidup jika menghadapi perkara-perkara yang dihadapi, karena telah dilindungi oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, terkhusus bagi kelompok pecinta alam yang ikut bergerak di bidang lingkungan hidup memiliki legal standing untuk mengajukan perkara mengenai perusakan lingkungan hidup. Namun, tentu nantinya akan ada tantangan yang akan dihadapi selama berkegiatan dan solusi dalam menghadapi tantangan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan konsolidasi dan kajian-kajian akademis terkait lingkunan hidup.