Konten dari Pengguna

Algoritma Media Sosial: Mempengaruhi Independensi Pers dan Kualitas Berita

Putri Nurhasanah
Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7 Oktober 2024 8:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Nurhasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Cottonbro Studio dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Cottonbro Studio dari Pexels
ADVERTISEMENT
Dalam era digital saat ini, media sosial seperti TikTok, Instagram, X, dan yang lainnya merupakan salah satu platform utama untuk penyebaran informasi. Dengan jutaan pengguna yang aktif setiap harinya, media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber berita dan informasi. Namun, perkembangan pesat ini membawa tantangan tersendiri bagi industri pers yang semakin bergantung pada algoritma media sosial untuk menjangkau audiens mereka.
ADVERTISEMENT
Ketergantungan ini muncul dari kebutuhan untuk bersaing dalam dunia informasi yang sangat dinamis. Hal ini menyebabkan pers harus beradaptasi pada cara mereka dalam memproduksi dan mendistribusikan berita. Mereka cenderung menciptakan konten yang "menarik" dan "berita viral" demi mendapatkan perhatian lebih, yang sering kali berujung pada pelanggaran prinsip jurnalisme yang objektif dan faktual.
Selain itu, ketergantungan ini menciptakan siklus di mana berita yang lebih menarik secara emosional atau kontroversial cenderung mendapatkan lebih banyak audiens. Hal ini memicu terjadinya fenomena "clickbait" dan berita palsu, di mana kualitas informasi sering kali terpinggirkan demi mendapatkan klik dan tayangan.
Tidak hanya itu, terdapat pengaruh lain yang diakibatkan oleh ketergantungan pers pada algoritma media sosial, diantaranya:
ADVERTISEMENT
1. Ketergantungan pada Engagement: Untuk menjangkau audiens yang lebih luas, jurnalis sering kali merasa perlu membuat konten yang menarik dan mengundang interaksi, yang kadang mengarah pada penyajian berita yang lebih sensasional daripada substantif.
2. Bias Algoritma: Algoritma dapat memperkuat bias, mempromosikan berita yang sesuai dengan preferensi pengguna, dan mengabaikan isu-isu penting yang mungkin kurang populer. Ini dapat mengarah pada "echo chamber," di mana audiens hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan mereka.
3. Pengaruh Komersial: Dalam upaya untuk meningkatkan visibilitas dan pendapatan iklan, media mungkin merasa terpaksa mengkompromikan nilai-nilai jurnalistik. Ini bisa berisiko mengorbankan investigasi mendalam demi konten yang lebih mudah dicerna.
4. Kualitas Berita: Ketika fokus beralih ke format yang lebih mudah dikonsumsi atau viral, ada kemungkinan bahwa kompleksitas dan kedalaman informasi yang disampaikan menjadi berkurang. Berita yang lebih rumit mungkin tidak mendapatkan perhatian yang layak.
ADVERTISEMENT
5. Interaksi dengan Audiens: Media sosial memberikan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan audiens, yang bisa memperkuat kehadiran dan relevansi. Namun, interaksi ini juga bisa mendorong jurnalis untuk lebih mendengarkan suara populis daripada mempertahankan integritas editorial.
Oleh karena itu, penting bagi pers untuk tidak hanya mengejar klik semata tetapi juga bertanggung jawab dalam menyajikan informasi karena itu merupakan kunci untuk menjaga kepercayaan publik. Jika kepercayaan ini hilang, media akan kehilangan posisi pentingnya di masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu sangat berhati-hati dalam menentukan judul dan konten berita, memastikan bahwa informasi yang mereka sajikan akurat dan tidak menyesatkan pembaca.
Secara keseluruhan, meskipun algoritma media sosial menawarkan peluang baru untuk distribusi berita, mereka juga menantang independensi dan kualitas pers. Penting bagi jurnalis untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk menjangkau audiens dengan tanggung jawab untuk menyampaikan berita yang akurat dan berkualitas sesuai dengan kode etik jurnalistik yang ada.
ADVERTISEMENT