Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagaimana membangun sistem pemerintahan yang tidak korup
31 Juli 2019 10:44 WIB
Tulisan dari Nurhastuty K Wardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Telah usai pesta demokrasi di Indonesia dan telah terpilih Presiden baru untuk lima tahun ke depan. Ada harapan dan ada kekecewaan tergantung dari sudut pandang mana yang hendak dipilih, atau dari aspek bidang apa dan dari kubu mana. Terlepas dari saya memilih kubu siapa dan capres siapa sebelumnya, harapan terbesar saya sebagai seorang akademisi adalah semoga Indonesia memiliki sistem pemerintahan yang jauh lebih bersih, pejabat eksekutif dan legislatif yang berintegritas dan keadilan yang jauh merata.
ADVERTISEMENT
Ada kecenderungan pemerintahan yang baru tetapi dipimpin oleh rezim sebelumnya biasanya "agak loyo" performanya karena merasa sudah di atas angin, di posisi aman dan tidak perlu menaikkan kinerja karena tahu di lima tahun berikutnya sudah tidak bisa menjabat kembali. Dan, mungkin sedikit banyak tahu bagi seorang yang pernah menjabat presiden dan wapres RI, tentunya mendapat dana pensiun yang besar dari negara sekitar 25-30 milyar kalau tidak salah. Di satu sisi, lima tahun sebelumnya, kita merasa ada optimisme di kabinet Jokowi, karena Jokowi cukup perduli dengan social safety net di lapisan paling bawah seperti kartu sehat dan kartu pintar dan saya menyaksikan lapisan bawah benar-benar merasakan manfaat tersebut. Meskipun, tidak dapat dipungkiri masih ada saja oknum yang menyalahgunakan kartu2 tersebut seperti memberikan kepada keluarganya sendiri atau di pihak sekolah masih ada yang memotong dana dari kartu pintar dan masuk ke kantong Bapak/Ibu guru.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada optimisme pembangunan, kita merasakan pembangunan riil di jalan besar, jalan tol di berbagai wilayah, bandara dan wilayah-wilayah terpencil seperti Papua. Inilah yang sudah lama dinanti untuk negara besar seperti kita pembangunan fisik yang merata ke berbagai wilayah, meski masih banyak yang harus dibangun. Namun, di sisi lain, pendanaan untuk pembangunan masih bersifat utang. Masalah wajar atau tidak wajar rasio utang terhadap GDP menjadi perdebatan, namun akan jauh lebih bijaksana jika negara tidak hanya sekedar membuat utang mesti dengan menerbitkan obligasi syariah tetapi memikirkan bagaimana membayar utang tersebut ke depannya. Negara ini adalah rumah tangga yang besar dan rumah tangga yang besar tidak mungkin berhasil dalam jangka panjang dengan sistem gali lubang dan tutup lubang. Saya pribadi tidak percaya kalau kebijakan ekonomi kita apa-apa harus berkiblat dengan negara maju yang memang rata-rata rasio utangnya sangat besar. Lalu, siapa yang akan membayar utang-utang tersebut di masa 15-20 tahun ke depan? Tetapi, kalau memang tidak bisa dihindari pembiayaan negara dengan utang, hal antisipasi lainnya adalah meminimalisir korupsi. Dan, kita tidak bisa menutup mata meski lima tahun yang lalu banyak optimisme di kabinet Jokowi tetapi satu per satu menteri pun telah terlibat kasus pidana karena k0rupsi. Padahal, menteri-menteri di era kabinet Jokowi sebelumnya adalah orang-orang yang sangat berkualifikasi dan sangat kompeten. Mengapa koruptor hanya datang silih berganti?
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang harus dirubah dari pola pikir masyarakat kita dan pejabat kita. Oleh karena itu, amat baik Jokowi mempertahankan sikap revolusi mental yang dijanjikan sebelumnya dan pembangunan sumber daya manusia yang merata. Dan, saya pribadi mengharapkan hanya demi mendamaikan dua kubu partai, Jokowi tidak mengkompromisikan integritas pemerintah. Bangunlah pemerintah yang benar-benar bersih dan anti korup. Bangunlah pemerintah yang tidak terkait dengan kekuatan politik lama dan kroni-kroninya yang jelas-jelas menjadi mafia di banyak sektor di Indonesia. Revolusi mental dan pendidikan anti korupsi perlu dibangun sejak dini baik secara formal dan anti formal. Kita perlu akui meski kita negara Muslim dengan jumlah penduduk terbesar tetapi kehidupan kita terkadang masih jauh dari mencerminkan nilai-nilai Islam khususnya integritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara yang mungkin bukan Muslim penduduknya seperti Belanda malah dianggap mencerminkan nilai-nilai Islam. Dan, kita masih mendikotomikan nilai-nilai religius hanya di aspek ibadah saja bukan muamalah seperti berbisnis, bernegara dan berpolitik. Akan baiknya Indonesia berbenah diri untuk menjadi negara Muslim yang maju yang mencerminkan nilai-nilai Islam di saat negara-negara Islam lainnya masih terbelenggu oleh kepemimpinan yang diktator. Wallahu alam bishawab.
ADVERTISEMENT
Nurhastuty k. Wardhani
Penulis adalah doktoral kandidat di keuangan di University of Queensland.