Paytren Ustadz Yusuf Mansur: Berkah atau Musibah

Nurhastuty K Wardhani
Pendidik generasi milenial dan faculty member Universitas Trisakti. Kandidat doktoral keuangan di University of Queensland. Peminat keuangan syariah.
Konten dari Pengguna
5 Maret 2018 10:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurhastuty K Wardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia membekukan layanan isi ulang (top-up) uang elektronik Paytren milik Ustadz Yusuf Mansur menyusul pembekuan terhadap tiga e-commerce lainnya seperti Tokopedia, Shoppee dan Bukalapak (Kontan, 6 Oktober 2017). Hal yang menjadi pertimbangan dari Direktur Program Elektronifikasi BI adalah keamanan IT dan ketersediaan tim audit independen. Namun, apakah sebenarnya manfaat dan mudarat yang ditawarkan oleh bisnis investasi Paytren Ustadz Yusuf Mansur dan lainnya? Seberapa jauhkah kita bisa menggunakan logika sehat untuk menelaah tawaran menggiurkan dari trend Fintech saat ini?
ADVERTISEMENT
Definisi Fintech
Fintech didefinisikan sebagai inovasi teknologi di sektor keuangan seperti literasi keuangan dan edukasi, perbankan dan investasi. Beberapa tahun ini, Fintech Indonesia diwarnai oleh berbagai jenis start up mulai dari pembayaran, pembiayaan, serta perencanaan keuangan. Fintech bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses produk keuangan atau financial inclusion yang masih belum terjangkau oleh bank-bank besar di pelosok, serta mempermudah transaksi. Hanya saja yang perlu kita cermati, setiap bisnis yang melibatkan unsur moneter atau uang, maka akan timbul moral hazard yang besar bisa berupa pengelolaan bisnis yang tidak memadai atau pihak manajemen mengambil keputusan yang terlalu berisiko yang merugikan konsumen atau nasabah. Oleh karena itu, regulator seperti Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan telah memainkan perannya untuk memonitor para pelaku Fintech dan non perbankan demi perlindungan konsumen.
ADVERTISEMENT
Paytren: Fintech Pembayaran sekaligus MLM
Paytren Ustad Yusuf Mansur kini tengah menjadi sorotan media. Paytren yang merupakan bisnis dari Pt. Veritra Sentosa Internasional ini baru dikenalkan konsepnya 3-4 tahun terakhir tetapi sudah mampu menyerap konsumen lebih dari 1.4 juta orang. Paytren menerapkan Fintech untuk pembayaran apapun hanya saja untuk menikmati layanannya, masyarakat harus bergabung dalam komunitas tersebut dengan membayar harga keanggotan yang bervariasi antara 350 ribu hingga 10,1 juta rupiah dengan tawaran keuntungan bisnis yang besar seperti motor atau umroh. Dan, ini belum termasuk deposit untuk pembayaran tagihan listrik dll. Sebagai salah satu tokoh agama, Ustadz Yusuf Mansur mengajukan permohonan sertifikasi halal dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyetujuinya. Tetapi, meskipun MUI telah memberikan sertifikasi halal apakah bisnis Ustadz Yusuf Mansur dapat dicerna dengan logika akal sehat mengenai baik atau mudarat dari bisnis tersebut?
ADVERTISEMENT
Pro Kontra MLM dari Perspektif Syariah
Ustadz Yusuf Mansur mendapatkan sertifikasi halal dari MUI menurut keputusan Dewan Nasional Syariah Majelis Ulama Indonesia Nomer 75. Dalam keputusan tersebut, Fatwa MUI menyatakan bahwa penjualan barang dan jasa dengan system Multi Level Marketing dapat berpotensi merugikan masyarakat karena mengandung unsur ighra atau daya tarik luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya, money game atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dari hasil perekrutan mitra usaha yang baru bukan dari hasil penjualan produk, strategi perekrutan keanggotaan baru yang dilakukan anggota terdaftar sebelumnya sehingga jika ada MLM yang telah mendapatkan sertifikasi halal dari MUI maka MLM tersebut tidak boleh melakukan hal-hal yang disebutkan di atas. Karena area abu-abu dari bisnis MLM itu, tidak semua negara muslim menghalalkan MLM termasuk Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Kejanggalan Paytren
Ustadz Yusuf Mansur menggunakan system akad Jualah sesuai dengan fatwa MUI tetapi dari model bisnisnya ada beberapa kejanggalan dibandingkan system online pembayaran lainnya. Pertama, mengapa dalam bisnis model Ustadz Yusuf Mansur, member tidak dikenakan biaya transaksi untuk setiap pembayaran yang dilakukan melainkan diberi insentif untuk mencari member baru? Jika A telah menjadi member dengan membayar Rp 350 ribu dan kemudian A berhasil menarik 10 anggota baru untuk melakukan pembayaran yang serupa sehingga total pemasukan yang diperoleh adalah 3.5 juta. Lalu, keuntungan ini apakah benar milik A seorang? Tentunya tidak, karena keuntungan ini milik kolektif. Jelas MUI melihat bisnis model Ustadz Yusuf Mansur merupakan MLM yang merekomendasikan member lama untuk merekrut anggota baru yang bertentangan dengan point MUI sendiri tentang mudharatnya MLM.
ADVERTISEMENT
Kemiripan Paytren dan First Travel
Di sisi lain, dalam aspek Fintech, Paytren Yusuf Mansur mensyaratkan dalam pembayaran tagihan maka member harus deposit terlebih dahulu dengan tujuan untuk menampung kas sebanyak-banyaknya dari member. Lalu, kas ini akan digunakan untuk apa? Dana inilah yang akan diputar entah untuk investasi atau sedekah. Di sinilah moral hazard itu terjadi bagaimana kalau dana sementara itu disalahgunakan dan hilang seperti kasus First Travel. First Travel menjanjikan harga di bawah pasar kepada masyarakat dengan persyaratan masyarakat harus menaruh uangnya secara bertahap di First Travel mulai dari 5 juta dan seterusnya dan kemudian baru bisa berangkat umroh paling cepat 6 bulan atau satu tahun berikutnya. Lalu, selama enam bulan dana itu diapakan oleh First Travel? Dana itu diputar ke dalam aset-aset yang menggunakan nama pihak ketiga dan ketika dana itu hilang maka masyarakat tidak bisa memperoleh kembali uang mereka. Seharusnya, masyarakat kita belajar dan mengerti bahwa investasi yang menawarkan keuntungan di luar harga pasar adalah “palsu” dan kemungkinan berisiko besar. Untuk bisnis seperti First Travel, dalam waktu sebulan atau dua bulan saja harga tiket pesawat bisa melambung naik, jika First Travel menahan uang yang sama untuk harga di satu tahun berikutnya maka apakah bisa menutupi biaya umroh orang tersebut? Tentu tidak, kecuali First Travel mendapatkan calon konsumen baru yang langsung menaruh uangnya di First Travel.
ADVERTISEMENT
Bisnis online seperti Fintech memang bertujuan untuk memudahkan hidup masyarakat modern tetapi tidak berarti tanpa risiko. Bisnis ini memiliki moral hazard yang sama besarnya seperti bisnis perbankan karena menyangkut dana masyarakat dan kemampuan dari manajemen dalam mengelola uang tersebut. Janji yang muluk-muluk dalam pemberian keuntungan menandakan si pengelola bisnis akan bertindak yang gegabah dalam pengambilan risiko dan pengelolaan aset. Oleh karena itu, kita harus menggunakan akal sehat kita untuk mencermati tawaran-tawaran yang tidak masuk akal meski menggunakan label agama. Mengapa? Karena seperti yang Einstein katakan, ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Nurhastuty k. Wardhani
Faculty member Universitas Trisakti yang sedang menempuh studi S3 di jurusan keuangan di University of Queensland, Australia dan pernah mengenyam S2 keuangan syariah di Malaysia.
ADVERTISEMENT