Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Seperti apa sistem pendidikan perguruan tinggi yang baik itu?
9 Oktober 2018 6:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Nurhastuty K Wardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Knowledge is power. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan bukanlah sekedar jargon atau peribahasa. Kita bisa melihat secara riil bagaimana negara-negara maju adalah negara yang tidak hanya peduli tetapi telah berinvestasi di dunia pendidikan setidaknya dalam seratus tahun terakhir ini. Sistem pendidikan yang baik menghasilkan tokoh-tokoh ternama di berbagai bidang dan kemajuan peradaban dan teknologi.
ADVERTISEMENT
Namun, beberapa dekade ini khususnya sejak era globalisasi, tampaknya perguruan tinggi seperti tidak mampu mengendalikan dampak buruk dari kemajuan teknologi. Contohnya, krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008, juga sejumlah perang di negara negara timur tengah, fraud di industry perbankan, perusakan lingkungan oleh sejumlah perusahaan. Sepertinya kita mengalami era paradoks yang semakin maju pengetahuan dan teknologi, tidak membawa manfaat atau faedah yang semestinya. Padahal, setiap tahun kita melihat universitas-universitas saling berkompetisi baik untuk mempertahankan atau menaikkan rankingnya seperti di Times Higher Education.
Hal ini terjadi karena universitas-universitas di dunia merupakan bagian dari system komersil dunia pendidikan atau liberalisasi pendidikan. Universitas seperti pabrik yang harus mencetak output manusia yang unggul, yang cepat beradaptasi dan bisa dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan global. Ini dapat dilihat dari biaya pendidikan yang sangat mahal baik untuk mahasiswa local apalagi untuk mahasiswa internasional, system kontrak untuk tenaga pengajar yang relative sangat singkat setahun maksimum tiga tahun dan untuk professor yang sudah memiliki nama mungkin lima tahun.
ADVERTISEMENT
Secara kasat mata sistem komersil dunia pendidikan ini sangat menguntungkan bagi universitas, efektif dan professional tetapi esensinya melahirkan hubungan antara pengajar dan mahasiswa hanya sebatas transaksional. Seorang dosen hanya sekedar mengajar bukan mendidik mahasiswanya. Mahasiswa bisa tahu dan terampil tetapi mungkin tidak ada transfer nilai atau kebijaksanaan. Dan, bagaimana mungkin mengharapkan dosen bisa menjadi seorang pendidik jika mahasiswa yang harus diajar berjumlah 400-500 orang untuk satu kelas. Selain itu, dosen juga tidak akan ingat mahasiswanya satu per satu. Hal ini terjadi di beberapa universitas besar di Australia dan mungkin di negara maju seperti Inggris dan Amerika.
Idealnya, hubungan dosen dengan mahasiswa adalah hubungan transformasional. Bagaimana dosen tidak hanya memotivasi mahasiswa untuk menjadi lebih baik (tut wuri handayani), tetapi juga menginspirasi dan mengubah perilaku mahasiswa yang mungkin kurang baik menjadi lebih baik. Hanya saja, idealita ini tidak menjadi perhatian universitas saat ini baik di Indonesia maupun di negara-negara maju. Universitas hanya diharapkan bisa memperoleh mahasiswa sebanyak-banyaknya untuk bertahan di kompetisi dunia pendidikan dan bisa dapat proyek baik dari pemerintahan maupun dari perusahaan atau lembaga internasional. Jadi, tidaklah heran meski kita hidup di era modern tetapi permasalahan yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan atau wisdom, etika menjadi isu di berbagai bidang mulai dari perbankan, kesehatan atau farmasi, keuangan, lingkungan. Karena universitas menghasilkan manusia-manusia yang pintar dan cepat belajar tetapi krisis integritas.
ADVERTISEMENT
Meski kita hidup di era komersil dunia pendidikan, tidak semua universitas memiliki mekanisme seperti pabrik manusia. Namun, ini bisa dikatakan sangat sedikit seperti universitas di Jerman timur yang biaya pendidikannya sangat terjangkau. Lalu, apa yang kita bisa harapkan dari universitas di Indonesia yang harus bersaing dengan universitas dunia?
Pertama, universitas-universitas kita harus tahu bagaimana memposisikan mereka setidaknya di pasar Asia tenggara. Apakah universitas-universitas di Indonesia berkomitmen untuk menjadi universitas riset atau universitas yang berorientasi industri. Kedua, universitas sebaiknya tidak terjebak dengan liberalisasi dunia pendidikan yang membuat harga pendidikan hanya terjangkau untuk anak-anak orang kaya padahal kita tahu masyarakat kita masih didominasi kalangan menengah ke bawah. Idealnya, universitas mempunyai beberapa program untuk anak pintar tetapi kurang mampu dan anak pintar tetapi mampu sehingga ada subsidi silang. Ketiga, kearifan local dan nilai-nilai ketimuran dan agama selayaknya dipertahankan di tingkat universitas. Jangan sampai universitas menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang krisis identitas di era dunia maju. Keempat, universitas sebaiknya menjadi bagian dari kemajuan masyarakat dengan tetap mempertahankan tradisi pengabdian kepada masyarakat. Menjadi universitas ternama tidaklah selalu baik tetapi menjadi universitas yang memajukan masyarakat lokal itu jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Nurhastuty K. Wardhani
Pendidik generasi milenial yang merupakan faculty member Universitas Trisakti.
Kandidat doktoral keuangan di University of Queensland, Australia.
Pencinta keuangan syariah dan Chairman INSPIRE.