Runtuhnya KPK dan Patah Hatinya Rakyat Indonesia: Buntut Intervensi DPR?

Nuriat Adzariat
Awardee LPDP 2022 - FIA Universitas Indonesia - ASN Kementerian Luar Negeri
Konten dari Pengguna
30 Oktober 2023 7:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuriat Adzariat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto diambil oleh penulis ketika menghadiri acara ACFFEST 2023 di Gedung Merah Putih KPK
zoom-in-whitePerbesar
Foto diambil oleh penulis ketika menghadiri acara ACFFEST 2023 di Gedung Merah Putih KPK
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nama yang menjadi angin segar pasca reformasi. Berdirinya KPK disambut positif oleh masyarakat buntut dari krisis kepercayaan akan entitas penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang sarat dengan KKN.
ADVERTISEMENT
KPK merupakan lembaga independen yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ide pembentukan KPK ini muncul dalam masa peralihan Orde Baru ke masa Reformasi ketika Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Sejak awal berdiri, fungsi KPK berjalan baik dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani dari masa ke masa walaupun pada masa kepemimpinan Antasari Azhar diguncang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Banyak kontroversi yang berkembang kala itu termasuk adanya pihak yang berusaha mengerdilkan KPK dengan menjatuhkan Antasari dari kepemimpinan. Bukan tanpa sebab, saat itu KPK tengah gencar-gencarnya memberantas berbagai kasus korupsi. Buntut dari kisruh tersebut, Antasari divonis 18 tahun penjara, meskipun hingga kini, Antasari tetap menuding dirinya dijebak.
ADVERTISEMENT
Semenjak kasus tersebut, fungsi pengawasan DPR sebagai lembaga legislatif dirasa mulai kebablasan dengan melakukan intervensi terhadap pemilihan calon Ketua KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) saat itu menolak dengan tegas intervensi politik DPR karena dapat mengganggu stabilitas dan independensi KPK. Terlebih kita ketahui bersama KPK banyak menyasar kasus korupsi di DPR.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango jadi saksi untuk sidang etik Johanis Tanak, Kamis (27/7/2023). Foto: Hedi/kumparan
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, pernah menyampaikan dalam kanal Youtube KPK bahwa terhitung sejak tahun 2004-Mei 2020, terdapat 274 anggota DPR maupun DPRD yang terjerat kasus korupsi hingga menyandang status tersangka. Dalam pernyataan pers bersama ICW pada 6 Oktober 2006, pernah juga disinggung mengenai adanya upaya pengerdilan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi dengan kencangnya intervensi DPR.
Efek yang ditimbulkan lambat laun terbukti dengan tidak berkurangnya kasus korupsi di Indonesia sampai saat ini dan justru makin banyak dilakukan oleh pimpinan-pimpinan lembaga. Kasus yang paling baru yaitu mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL) terjerat kasus pemerasan, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang.
ADVERTISEMENT
Seakan belum cukup plot twist, nama Ketua KPK Firli Bahuri ikut terseret dengan beredarnya rumor pemerasan yang dilakukannya. Walaupun belum terbukti bersalah, namun Polda Metro Jaya telah bergerak melakukan penyelidikan, yang juga merupakan buntut dari beredarnya foto Firli bersama tersangka SYL.
Terkait hal ini, Dewan Pengawas KPK juga sudah dalam tahap penyidikan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua KPK. Sebelumnya, Firli telah berkali-kali lolos dari dugaan pelanggaran kode etik yang menjeratnya sejak tahun 2018.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyampaikan paparannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR, Komnas HAM, dan LPSK di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/8). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Pada April 2023, Ketua KPK juga diterpa rumor tidak sedap yang mencoreng nama KPK dan masyarakat mulai mempertanyakan arah gerak KPK, yaitu pada saat Firli mencopot Direktur Penyelidikan KPK, Brigjen Endar Priantoro.
ADVERTISEMENT
Walaupun akhirnya kembali lagi bertugas 2 bulan kemudian, keputusan ini dinilai tidak wajar dan banyak dikritisi oleh para pakar, di antaranya Feri Amsari, Kepala Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas yang lantang menyuarakan kritik terhadap KPK.
Kekacauan dan pertaruhan kredibilitas nama KPK di mata masyarakat saat ini merupakan hasil dari dilucutinya independensi entitas pengawas ini dengan banyaknya intervensi politik. Salah satunya adalah pelaksanaan Fit and Proper Test bagi calon Pimpinan KPK oleh DPR. Pemilihan calon Ketua KPK sama halnya dengan calon anggota BPK RI, yang merupakan entitas pengawas dan sebaiknya pemilihan calon pimpinannya dilakukan oleh gabungan beberapa lembaga independen.
Dalam konteks akademis, banyaknya intervensi politik di pemerintahan dijelaskan dalam konsep Policy-Administration Dichotomy, yaitu tentang pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif. Dikotomi ini adalah buah pemikiran dari Frank Goodnow (1859-1939), seorang pakar hukum, politik, dan ilmu administrasi negara di mana buku-bukunya menjadi bacaan wajib banyak Universitas di seluruh dunia. Goodnow menjelaskan jika muncul berbagai usaha dari politisi untuk ikut campur dalam keseharian pengelolaan pemerintahan yang disebutnya dengan model Mixture in Administration.
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua KPK, M. Busyro Muqoddas, pernah menyampaikan bahwa “dalam rangkaian ketatanegaraan yang kontemporer, KPK sebagai lembaga independen kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif,”. Oleh karena itu pelaksanaan Fit and Proper Test bagi calon Ketua KPK oleh lembaga legislatif sudah tentu mengerdilkan posisi KPK itu sendiri.

Akankah Terjadi Lagi Ketua KPK Jadi Tersangka?

Ilustrasi KPK. Foto: Hedi/kumparan
Berbeda dengan kasus Antasari Azhar yang dinilai penuh kebetulan dan kejanggalan di mana saat itu masyarakat masih menaruh harapan besar kepada KPK. Paling tidak isu pengerdilan KPK ketika sedang ganas-ganasnya memberantas korupsi kian membakar semangat masyarakat dan menunjukkan bahwa KPK itu bersih.
Namun kali ini, jika Ketua KPK menjadi tersangka kasus korupsi, kepercayaan masyarakat yang sudah tipis ini akan menjadi kian hancur. Semangat UU Nomor 28 Tahun 1999 yang digaungkan tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN hanya menjadi kenangan semata. Bukan lagi kecewa, rakyat telanjur patah hati.
ADVERTISEMENT
Tanpa campur tangan legislatif dalam pemilihan calon Ketua KPK, dapatkah independensi KPK terjaga lebih baik? Yang jelas, institusi tersebut dinilai dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional, sesuai kode etik serta dapat berkontribusi untuk memastikan terciptanya good governance atau minimal good enough governance.