Konten dari Pengguna

Pengesahan RUU TNI dan Keresahan Publik

Nurjuliani Rahmiati
saya adalah mahasiswa Hukum Tata Negara Uin Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Mei 2025 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurjuliani Rahmiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto : Ambil Sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto : Ambil Sendiri
ADVERTISEMENT
Publik kembali dibuat gelisah. Bukan karena cuaca panas atau harga sembako yang naik. Baru juga sembuh dari stres akibat harga beras dan TikTok Shop yang tutup-buka kayak hubungan toxic, kini kita disuguhi menu baru: revisi Undang-Undang TNI.Serangkaian pasal dalam RUU ini datang bak tamu tak diundang. TNI yang katanya profesional kini malah ingin multitasking—biar fleksibel, katanya. Tapi bukankah yang terlalu fleksibel justru rawan disalahgunakan?
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba muncul pasal-pasal ajaib yang membuka peluang TNI ikut ngurus pemilu, pengamanan unjuk rasa, sampai urusan warga negara di luar negeri. Niatnya sih bantu, tapi kok lama-lama terasa ingin ikut ngatur? Seragamnya loreng, tapi ambisinya mirip jas birokrat.
Dua pasal yang paling jadi sorotan: Pasal 7 dan Pasal 47.
Pasal 7 memperluas peran TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Jadi TNI sekarang nggak cuma lawan musuh negara, tapi juga bisa berperang melawan hoaks, hacker, bahkan mungkin haters di medsos. Serba bisa, serba tanggap. Kurang dikit jadi influencer.
Yang paling bikin merinding: Pasal 47. Pasal ini kasih karpet merah buat prajurit aktif duduk manis di jabatan sipil. Nggak perlu pensiun, nggak usah lepas dinas. Seragam boleh hijau, tapi bisa duduk nyaman di kursi kementerian. “Keterlibatan militer dalam urusan nonpertahanan harus dibatasi secara ketat. Kalau tidak, kita kembali ke masa lalu.” — Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara.
ADVERTISEMENT
Publik mulai gelisah. Bukan semata trauma masa lalu, tapi karena ini seperti undangan balik ke era Dwifungsi ABRI. Masa ketika tentara bukan cuma jaga tapal batas, tapi juga jaga kantor camat. Kita sudah capek-capek reformasi sejak 1998, sekarang malah ada yang ingin main gigi mundur.
Tentu saja, pemerintah bilang ini demi menghadapi tantangan modern: ancaman siber, terorisme, dan krisis global. Tapi kenapa solusinya selalu militerisasi? Kapan giliran guru, ilmuwan, atau LSM diberi kepercayaan mengelola negara?
Demokrasi yang sehat bukan yang bebas dari ancaman, tapi yang bebas dari ketakutan. Kalau tentara mulai masuk ke semua sektor, siapa yang masih bisa mengkritik tanpa deg-degan? Apalagi kalau mereka hadir di unjuk rasa bukan sebagai pengaman, tapi sebagai pengamat bersenjata.
ADVERTISEMENT
Kita bukan anti-TNI. Kita hanya cinta demokrasi. Dan cinta, sayang, butuh batas. Kalau semua bisa dipegang tentara, lalu sipil kerjaannya apa? Tepuk tangan sambil menunduk?
RUU TNI: Antara Profesionalisme dan Ambisi Kekuasaan
Alih-alih memperkuat profesionalisme prajurit, revisi ini justru membuka jalan keterlibatan militer dalam jabatan sipil dan memperluas kewenangannya di luar pertahanan. Bagi banyak pihak, ini adalah ancaman bagi demokrasi dan prinsip supremasi sipil.
Revisi UU TNI bukan wacana teknis belaka. Ia menyimpan potensi perubahan fundamental atas relasi sipil dan militer. Beberapa pasal membuka celah keterlibatan TNI dalam urusan nonmiliter tanpa pengawasan sipil yang ketat: pengamanan demonstrasi, penanganan bencana, hingga urusan pemilu.
Salah satu pasal kontroversial adalah perluasan OMSP. Jika sebelumnya hanya membantu pemerintah dalam hal terbatas, kini keterlibatan militer merambah urusan sipil yang sejatinya adalah ranah Polri dan lembaga sipil lainnya.
ADVERTISEMENT
Tak kalah menuai kritik, masa dinas prajurit aktif diperpanjang hingga usia 60 tahun. Kekhawatirannya: dominasi militer akan makin lama di ruang strategis, mempersempit regenerasi dan memperlambat reformasi internal TNI.
Keresahan Publik: Menuju Supremasi Militer?
Publik bertanya: apakah reformasi 1998 sedang dilupakan? Apakah militer kembali tergoda meninggalkan barak demi ruang dingin kantor sipil?
Penolakan terhadap RUU ini bukan tanpa dasar. Banyak kalangan—akademisi, masyarakat sipil, hingga LSM—menilai revisi ini bertentangan dengan semangat reformasi. Keterlibatan TNI dalam urusan sipil, apalagi tanpa kontrol akuntabel, bisa menciptakan iklim ketakutan dan membungkam kritik.
Dualisme peran dengan Polri pun berpotensi menimbulkan kekacauan koordinasi. Bukannya mempercepat penanganan, malah membuka konflik dan penyalahgunaan kewenangan. Di sistem demokrasi yang sehat, peran lembaga harus jelas, bukan tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Butuh Batas, Bukan Bayang-Bayang Seragam
Revisi UU TNI seharusnya memperkuat profesionalisme, bukan menjadi celah militer masuk ke ruang sipil. Demokrasi lahir bukan dari senyapnya kritik di bawah bayang senapan, tapi dari keberanian menjaga jarak antara militer dan kekuasaan sipil.
Publik tidak anti-TNI. Publik hanya menuntut batas yang jelas. Dalam negara hukum, kekuatan harus dikendalikan oleh hukum, bukan sebaliknya.
Kalau semua bisa diurus tentara, untuk apa kita capek-capek punya sipil, reformasi, dan DPR? Untuk tepuk tangan?