Konten dari Pengguna

Demokrasi Mati Suri?

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
8 November 2023 22:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sistem Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat/Sumber: DOkumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sistem Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat/Sumber: DOkumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk peristiwa menjelang Pemilu 2024 akhir-akhir ini, mengingatkan saya pada sebuah buku dengan judul How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka adalah Profesor perbandingan politik Harvard University. Buku ini membahas kemunduran demokrasi dalam milenium ketiga di Amerika Serikat dan negara demokrasi yang lain.
ADVERTISEMENT
Buku ini hadir untuk menilai kepemimpinan Presiden Donald Trump yang terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat sejak tahun 2017 hingga 2021. Buku ini membahas kepemimpinan seseorang yang lahir karena popularitas, seperti Donald Trump.
Ia dikenal di media masa dan media sosial, namun tidak lahir dari proses di partai politik atau kalangan aktivis pro-demokrasi. Mereka adalah orang populis yang tidak cukup fasih memahami demokrasi.
Presiden Trump pernah menyerukan pemberontakan sipil untuk menolak hasil Pemilu 2020. Parlemen AS juga pernah melakukan pemakzulan terhadap Trump pada tahun 2019 dan 2021.
Dua Profesor tersebut menyebutkan jika apa yang dilakukan Trump adalah model kepemimpinan otoriter, sedangkan model kepemimpinan otoriter bisa menjadi penyebab demokrasi mundur, bahkan mati. Model ini lah yang kemudian cukup banyak diduplikasi oleh pemimpin-pemimpin negara lain.
ADVERTISEMENT

Tiga gaya otoriter Trump

Ilustrasi Donald Trump/Sumber: https://unsplash.com/photos/man-in-black-suit-jacket-and-black-pants-graffiti-rTItxpU5Jk4
Pertama, Trump telah turut serta mengajak pemberontakan sipil untuk melakukan pengepungan terhadap Capitol Hill, yaitu gedung parlemen AS. Meskipun para pemberontak tidak berhasil melakukan gerakan bersenjata, namun apa yang dilakukan Trump merupakan sikap yang abai terhadap konstitusi.
Kedua, Trump tidak memberikan teladan yang baik dalam menyikapi lawan politik. Ia cenderung mengambil sikap konfrontasi dan suka mengeluarkan argumen yang insinuatif atau menuduh secara tidak langsung/satir. Di atas podium Trump lebih terlihat sebagai seorang propagandis dari pada penyambung aspirasi rakyat.
Ketiga, presiden Trump mampu membangun konsolidasi media untuk menciptakan sugesti-positif tentang pemerintahan yang ia pimpin. Hal ini sejalan dengan analisis Naom Chomsky dalam buku Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda.
ADVERTISEMENT
Chomsky menjelaskan, melalui media penguasa bisa menciptakan ilusi menakutkan, kemudian menjadikan ilusi tersebut sebagai musuh bersama sehingga penguasa itu mampu menggerakkan masa yang cemas dan takut akan bahaya yang sebenarnya hanya ilusi. Kemudian penguasa itu akan bersolek menjadi manusia bijak dan keluar sebagai pahlawan.
Dalam contoh yang lebih sederhana, Trump pernah secara terbuka menyatakan argumen konfrontasi terhadap negara China, bahkan Trump pernah menuduh Tiongkok melakukan manipulasi mata uang, hingga memasang tarif tinggi untuk produk-produk China di AS agar produk-produk China tidak laku.
Apa yang dilakukan Trump adalah untuk menarik simpati masyarakat dan menciptakan opini publik bahwa Trump adalah pahlawan yang sedang melawan negara China yang memiliki ideologi anti-demokrasi.

Refleksi Demokrasi Indonesia

Ilustrasi Demokrasi/Sumber: https://pixabay.com/id/illustrations/demokrasi-kediktatoran-2161890/
Melihat gaya kepemimpinan otoriter Trump pada masa itu sedikit mengingatkan saya pada gaya kepemimpinan pemimpin Indonesia masa kini. Pertama, Trump secara terbuka mendorong rakyat untuk melakukan pengepungan di gedung parlemen secara fisik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia, ada diplomasi bawah meja untuk mengepung lawan politik di parlemen. Bahkan, membangun kekuatan politik melalui suprastruktur politik negara dalam menghadapi lawan politik.
Kedua, Trump tidak memberi contoh yang baik sebagai negarawan. Sedangkan di Indonesia publik melihat seorang pemimpin negara namun tidak memiliki sikap sebagai negarawan. Hal ini karena kedua pemimpin ini sama-sama tidak menghormati konstitusi.
Ketiga, Trump mampu melakukan konsolidasi media masa untuk membangun citra kepemimpinan positif. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sebagai contoh angka kepuasan publik terhadap kerja-kerja Presiden Jokowi hampir menyentuh 70%. Hal ini karena pemberitaan media terhadap Presiden Jokowi cenderung positif.
Tidak ada yang salah dengan hal ini, namun menjadi salah apabila menggunakan infrastruktur kekuasaan untuk melakukan kontrol media demi menutupi kesalahan yang ada dengan pemberitaan positif sehingga masyarakat menjadi buta akan realitas kebenaran.
ADVERTISEMENT
Melalui argumentasi di atas, kita bisa menilai jika demokrasi akan rusak jika kaum otokrat menjadi satu dengan kaum oportunis. Kolaborasi kelompok ini menurut Levitsky dan Ziblatt akan melemahkan hukum, mengambil untung secara ekonomi dengan model oligarki, dan melakukan monopoli kekuasaan hingga menjauhkan nilai-nilai demokrasi dari kesejahteraan.

Demokrasi Mati Suri

Entah kebetulan atau tidak, argumentasi dan analisis Levitsky dan Ziblatt hampir mirip dengan kondisi pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Benar, Jokowi bukan Raja dalam sistem monarki.
Namun putusan MK NO 90/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu mampu menempatkan Presiden Jokowi sebagai seorang ‘Otokrat’ dalam sistem demokrasi. Gerak, langkah, dan konsolidasi presiden, rekan, serta para kerabat mampu merancang orkestrasi politik di negara ini.
Frasa ‘kecuali berpengalaman sebagai kepala daerah’ telah membuat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017 lemah tidak berdaya. Tentu kita bisa membaca, orang yang paling untung dari putusan ini adalah Gibran putra Jokowi yang maju sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Tidak salah jika seorang warga negara dengan usia di bawah 40 tahun menjadi pemimpin seperti di negara Polandia atau Meksiko. Namun menjadi salah jika menggunakan cara yang curang dan culas hanya untuk sebuah jabatan.
Meskipun putusan itu cacat dan Anwar Usman sebagai ketua MK (Paman Gibran) telah mendapat sanksi, namun publik telah melihat bagaimana proses-proses ini sudah mengkhianati demokrasi. Sistem demokrasi di sini tidak lain seperti Singa yang sedang sakit bahkan hampir mati.
Sebagai penutup, mari kita ingat sebuah kata dari Winston Churchill ‘Dalam perang anda hanya mati satu kali, dalam politik anda bisa mati berkali-kali’. Oleh sebab itu kita tidak boleh abai terhadap situasi demokrasi hari ini. Salah satu ciri demokrasi mati yaitu ketika seorang penguasa berani mengkhianati konstitusi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita harus turut melibatkan diri untuk menyelamatkan demokrasi melalui Pemilu pada 14 Februari nanti dengan memilih pemimpin yang tidak memiliki rekam jejak mengkhianati konstitusi.