Demokrasi Sesat Pikir

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
16 November 2022 8:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Secara bahasa demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang artinya rakyat dan Kratos yang artinya pemerintahan. Sedangkan demokrasi yang berfungsi sebagai sistem pemerintahan memegang prinsip kebebasan dan pemberian hak kepada warga negara untuk berpendapat serta terlibat dalam mengambil keputusan di pemerintahan. Tujuan demokrasi secara umum untuk menyejahterakan rakyat yaitu adil dan makmur dengan mengedepankan kejujuran dan keterbukaan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut John L. Esposito, demokrasi merupakan sistem yang membuka partisipasi dan kontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah oleh masyarakat umum. Selain itu, dalam lembaga pemerintah ada pemisahan kekuasaan yang jelas, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pada abad ke-6 sistem pemerintahan demokrasi digunakan di wilayah Yunani pada tahun 508 SM, tokoh yang menjadi pelopor sistem ini yaitu Cleisthenes. Karena hal itu Cleisthenes disebut bapak demokrasi.
Demokrasi pada masa itu memungkinkan masyarakat untuk memilih wakil-wakil secara langsung untuk mengisi jabatan administratif karena jumlah masyarakat yang ada belum banyak. Hal itu karena Yunani pada masa itu terbagi menjadi negara-negara kecil, jika menggunakan analogi sekarang ukuran itu seperti kota/kabupaten.
Menurut Walter A. Mcdougall dalam buku berjudul “Throes of Democracy” menyebutkan, fungsi sistem demokrasi yaitu untuk membuka peluang bagi masyarakat bahwa urusan kenegaraan harus melibatkan rakyat. Negara-negara di wilayah eropa yang menjadi pewaris peradaban Yunani dan Romawi baru menerapkan demokrasi sekitar abad ke-13 M.
ADVERTISEMENT
Hal itu sering disebut bibit demokrasi karena ditandai dengan pembatasan kekuasaan raja John yang terjadi di kerajaan Inggris melalui perjanjian Magna Charta pada tanggal 12 Juli 1215 M. Selanjutnya demokrasi berkembang di Prancis, Amerika Serikat dan kemudian berkembang di beberapa negara Eropa Barat.
Quo Vadis Demokrasi
Setelah perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berakhir, Amerika Serikat mulai ekspansi menyebarkan paham demokrasi ke pelbagai wilayah seperti Timur Tengah, Asia, Afrika dan Eropa Timur. Proyek penyebaran demokrasi yang paling fenomenal terjadi di wilayah Timur Tengah dan Afrika, proyek itu kemudian disebut “Arab Spring/Musim Semi Arab”.
Proses demokrasi bermula di Tunisia pada tahun 2011, meskipun negara itu masuk wilayah Afrika namun dalam kajian timur tengah, Tunisia sering masuk kategori “Arab Spring”. Seperti yang sudah disebut di atas, negara-negara muslim di Timur Tengah dan Afrika sedang bergulat dengan proyek demokrasi, dan Tunisia dianggap negara yang berhasil menjadi pemenang dalam pergulatan tersebut. Hal ini ditandai dengan keberhasilan proses pemilu dengan partisipasi rakyat secara langsung.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Tunisia dengan segera menyebar ke negara-negara muslim lain, seperti Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah. Demonstrasi muncul di negara-negara tersebut untuk menumbangkan pemerintahan otoriter yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun sayang, jauh panggang dari api. Peristiwa Arab Spring justru menyisakan konflik dan perang saudara bukan kedamaian dan kemajuan.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah tepat demokrasi diterapkan pada seluruh negara di dunia?
Samuel S. Huntington, pakar politik Amerika Serikat berkata demokrasi hanya akan tumbuh di negara yang menerapkan budaya dan nilai-nilai Barat. Boleh jadi tesis Huntington ini yang menjadi dasar pemikiran negara barat untuk membuat proyek demokratisasi di negara-negara yang dianggap tidak demokrasi.
Jika kita melihat argumentasi Huntington dengan jeli, ia juga mengungkapkan jika demokrasi tidak selalu menjadi pilihan terbaik. Hal itu karena dalam proses demokratisasi, tidak semua negara memiliki karakter untuk mendukung proses tersebut. Dengan kata lain, proses demokrasi membutuhkan karakter masyarakat yang ingin merdeka dan siap bersaing bukan hanya provokasi yang melahirkan demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, tidak sedikit negara yang gagal menerapkan demokrasi sehingga ekonomi dan kesejahteraan rakyat menurun. Selain itu Huntington juga mendefinisikan demokrasi secara umum sebagai proses mengembalikan kekuasaan menuju otoritarian baru.
Bagi saya demokrasi tidak harus mengikuti budaya dan nilai barat, yang lebih penting dari itu adalah nilai demokrasi yang membuat masyarakat terlibat dalam aktivitas pemerintahan sehingga memberi dampak bagi rakyat berupa kesejahteraan. Terutama di bidang ekonomi dan pendidikan.
Lee Kuan Yow mantan perdana menteri Singapura mengungkapkan dengan nada yang sama terkait demokrasi, yaitu demokrasi tidak selalu menjadi pilihan terbaik, selain itu ia memiliki pandangan jika penguasa diktator lebih mampu memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyat.
Pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping pada November 1978 berkunjung ke Singapura, ia disambut langsung oleh Lee Kuan Yew di bandara. Ketika itu Deng Xiaoping mengatakan jika Tiongkok harus belajar dari Singapura, hal itu karena Deng Xiaoping kagum dengan kemajuan Singapura.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, dengan sistem otoriter Xiaoping minta resep rahasia agar Tiongkok bisa menjadi negara maju seperti Singapura. Menurut Lee Kuan Yew poin dari keberhasilan negara bukan hanya pada sistem pemerintahan namun pengendalian hukum dan korupsi. Dengan kata lain, Lee ingin menyampaikan jika pemimpin otoriter tidak selalu buruk, karena kunci keberhasilan tidak mutlak terletak pada sistem kepemimpinan.
Xiaoping tidak main-main ketika menggunakan resep itu, pada Desember 1978 Xiaoping langsung membentuk komite untuk membangun Tiongkok dalam 30 tahun ke depan. Ia mengikuti saran Lee Kwan Yew dalam pembangunan ekonomi, termasuk ketegasan hukum dan pemberantasan korupsi. Salah satu yang terkenal yaitu menghukum mati koruptor. Hal ini kemudian menjadi warisan bagi pemimpin Tiongkok sesudah Deng Xiaoping.
ADVERTISEMENT
Zhu Rongji pada tahun 1998 ketika dilantik menjadi perdana menteri Tiongkok memberikan pidato “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya berikan untuk koruptor. 1 peti untuk saya jika saya melakukan korupsi”. Ketegasan Zhu menjadi bukti otentik jika Deng Xiaoping mampu mewariskan resep dari Lee Kwan Yew dengan baik. Dengan resep itu kita bisa melihat keberhasilan Tiongkok hari ini.
Sebagai penutup, hari ini kita harus lebih jernih dalam melihat demokrasi. Kalau kata Xi Jinping, Tiongkok menerapkan demokrasi sesuai versi mereka sendiri. Tentu hal itu sah-sah saja karena setiap negara bebas melakukan modifikasi demokrasi sesuai kebutuhan masing-masing.
Jangan sampai kita terprovokasi dengan demokrasi ala barat yang “kadang-kadang” hanya mengambil isu kebebasan sehingga melahirkan generasi yang suka demonstrasi namun tidak mengerti substansi masalah.
ADVERTISEMENT
Kita harus terus berikhtiar untuk menemukan demokrasi versi Indonesia, minimal ada ketegasan untuk mengatasi korupsi, memperbaiki penegakan hukum, keterbukaan, dan partisipasi di bidang pemerintahan. Jangan sampai kita menelan mentah-mentah demokrasi versi barat seperti negara-negara korban Arab Spring.