Konten dari Pengguna

'Meja Hijau' di Media Sosial

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
4 Mei 2023 10:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sosial media. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sosial media. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Meja Hijau sering digunakan sebagai bahasa komunikasi ketika seseorang terlibat dalam sebuah sengketa atau pertikaian yang berarti memilih menyelesaikan suatu pertikaian dengan jalur pengadilan. Namun, fakta di lapangan cukup berbeda, terkadang penyelesaian sengketa atau pertikaian sudah mandek dan tak berlanjut.
ADVERTISEMENT
Lain cerita ketika suatu kasus melibatkan keluarga kaya, pejabat negara, atau anak orang berpengaruh. Penyelesaian kasus terlihat mulus. Lebih parah lagi jika rakyat biasa terlibat kasus dengan pejabat atau keluarga orang berpengaruh.
Seperti yang terjadi pada kasus penganiayaan mahasiswa bernama Ken Admiral oleh anak AKBP Achiruddin Hasibuan bernama Aditya Gunawan. Miris memang, karena penganiayaan tersebut dilihat oleh AKBP Achiruddin sendiri. Kasus ini sudah dilaporkan ke polisi sejak Desember 2022 lalu, namun penanganan kasus ini lambat.
Pada 2021 lalu juga pernah terjadi kasus mahasiswi bunuh diri asal Mojokerto, kasus ini melibatkan anggota polisi bernama Bripda Randy. Kemudian ada kasus Ferdy Sambo dengan kemasan polisi tembak polisi yang belum hilang dari ingatan kita.
ADVERTISEMENT
Tiga contoh kasus ini menunjukkan, tidak semua persoalan selalu mulus ketika dibawa ke meja hijau. Tidak semua masyarakat mendapat keadilan ketika membawa kasus ke meja hijau. Bahkan, penanganan tiga kasus tersebut sangat lambat, dan baru berubah menjadi serba cepat setelah viral di media sosial.

Mengapa Harus Viral Dulu Baru Kerja?

Ilustrasi Facebook dan Twitter. Foto: Thomas White/Reuters
Viral merupakan senjata pamungkas milik media sosial, hal ini karena peran dan fungsi media sosial turut berkembang sesuai kebutuhan masyarakat.
Menurut McGraw Hill Dictionary, media sosial merupakan sarana untuk saling interaksi satu dengan yang lain dengan cara menciptakan gagasan, saling tukar informasi, dan berbagi dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual.
Dulu pada awal-awal kemunculan, tujuan orang bermain media sosial adalah untuk menunjukkan eksistensi diri, seperti apa yang sedang dia lakukan atau menunjukkan dengan siapa dia bergaul. Sekarang media sosial tidak hanya sebagai platform untuk pamer diri, media sosial telah berkembang menjadi anjing penjaga, bahkan kadang-kadang bisa berubah menjadi meja hijau.
Ilustrasi Hukuman di Media Sosial/Sumber: (https://pixabay.com/id/photos/palu-lelang-hukum-simbol-hakim-2492011/)
Media sosial kian hari kian efektif untuk menyuarakan kritik, baik kritik sarkasme maupun kritik berat dengan dukungan data dan fakta. Sebagai anjing penjaga, kini media sosial berhasil menumbuhkan rasa takut bagi kelompok, individu, atau pejabat negara yang mendengar gonggongan tersebut. Sebagai meja hijau, media sosial mampu membuat penegak hukum ciut nyali ketika mau menunda kasus yang melibatkan golongan elit.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, meja hijau media sosial mampu menyelesaikan kasus penganiayaan mahasiswa bernama Ken Admiral, dengan segera Adiya Gunawan menjadi tersangka dan AKBP Achiruddin dipecat dengan tidak hormat dari anggota Polri.
Gonggongan media sosial mampu melindungi pemuda asal Lampung yang mengkritik kinerja Pemerintah Daerah, bahkan Presiden Jokowi sampai melakukan kunjungan kerja ke Lampung.

Bagus namun Salah

Ilustrasi media sosial. Foto: Shutterstock
Gebuk-gebuk di media sosial hampir sama-sama menusuk seperti pers melalui produk jurnalistik. Artinya media sosial membawa dampak bagus bagi masyarakat. Sejalan dengan itu, pemerintah juga semakin dewasa karena cepat dan tanggap ketika menghadapi kritik dari media sosial.
Tapi, bukan kah lebih bagus jika persoalan-persoalan di atas sudah selesai dan tidak menunggu viral? Tentu seluruh pihak harus melakukan evaluasi diri.
ADVERTISEMENT
Responsif terhadap kasus-kasus di media sosial memang bagus, namun penegak hukum tidak boleh abai terhadap tanggung jawab yang ada.
Jangan sampai logika masyarakat terbaik, viral dulu baru beres, namun beres dulu baru viral. Jadi penegak hukum viral karena prestasi bukan karena pilih kasih ketika menyelesaikan kasus atau karena korupsi.